Saya mendapat informasi langsung dari pemandu museum Buya Hamka di Maninjau. Bahkan terdapat tulisan asli goresan tangan beliau di sana.Â
Dari sana saya dapat informasi, Buya Hamka belajar secara otodidak. Mencari sumber-sumber informasi dari berbagai ilmu Agama Islam.
Tak ada kuliah khusus kepenulisan. Tiada pelatihan, seminar dan webinar. Tak ada kelas khusus menulis. Namun karyanya membanjir.
Bahkan lebih istimewanya lagi. Kala dirinya dibui oleh penguasa. Tiada sempat bermuram durja sepanjang masa. Malahan itu ia syukuri dan memanfaatkan waktu yang tersedia di dalam penjara untuk kembali menghasilkan karya.Â
Serangkaian tafsir pun tuntas dari balik tembok derita. Hingga usia tak terbuang sia-sia walau raga terkurung di balik jeruji besi.
Perlahan saya telusuri satu persatu benda-benda berharga milik beliau yang berjejer rapi di sana. Mata saya tertuju pada sebuah mesin tik tua. Saya mendekat dan merapat ke kotak kaca berisi alat ketik manual itu.
Saya mencoba bertanya dalam kesunyian.Â
"Apakah kau yang menemani dan membersamai beliau dalam menghasilkan karya-karya spektakuler ini?"
Secara bergantian saya memandangi mesin tik itu lalu beralih pada lukisan sosok Buya Hamka serta deretan koleksi karya tulis beliau.
Sejenak saya merenung dalam sendu. Memandang diri sendiri yang membayang pada kotak kaca lukisan sosok Buya Hamka.
Kesempatan belajar terbuka lebar. Fasilitas cukuplah lengkap dan canggih ketimbang yang dimiliki Buya Hamka. Bahkan merdeka dari tekanan penguasa. Tapi apa yang bisa saya hasilkan?