Sebuah keputusan dari kepala daerah seolah merubah segalanya. Semester satu hampir usai. Kami diinstruksikan belajar tatap muka normal seperti sedia kala.
Pandangan saya tertuju pada seorang siswa yang selalu dikeluhkan oleh Bundanya. Beberapa kali pertemuan tatap muka berlangsung, dia enggan melakukan apa pun yang saya minta. Bahkan kerap mengeluarkan suara tinggi dan memperlihatkan emosinya.
Berbagai trik telah dicoba. Nyaris tak mempan. Usut punya usut, ternyata ia anak bungsu yang semua keinginannya selalu dituruti oleh orangtua.
Saya berusaha menata hati dan mengendalikan diri agar tak menebar kemarahan yang akan merusak jiwanya. Perlahan saya mengikuti permainannya.Â
Saya sebut permainan, karena sikap yang ditampilkan seolah disengaja. Ketika saya memasang sikap cuek, dia berusaha mencari perhatian.
Dia selalu mengaku tak memiliki buku dan pensil. Dengan sigap saya bantu mengeluarkan buku dan pensilnya dari tas.
"Yes, aku menemukan buku dan pensilmu. Keren kan." Saya berteriak kegirangan mengangkat peralatan belajar yang ditemukan dari tasnya.
Ia pun merespon dengan gelak tawa yang diikuti oleh teman-temannya. Ketika dia menolak diberi tugas menulis di buku latihan, saya beri opsi dia menulis di papan tulis.Â
Perlahan ia melunak. Alhamdulillah, dia mulai bersedia dibimbing mengenal huruf-huruf. Berkenan diarahkan membaca kata-kata pendek pada media baca yang saya sodorkan.
Walau setiap kali bersedia belajar membaca, pergerakan tangannya membuat alas meja yang rapi perlahan kusut dan mengkerut. Saya berusaha tersenyum sembari mengacak-ngacak rambutnya.
Hari ini, dengan sedikit manyun saya menawarkan dia membantu teman-temannya membersihkan kelas jelang pulang. Ia menolak seperti biasa dan berlari meninggalkan kelas.Â