"Yakinlah dengan kemampuan Anda mengajar dan kemampuan siswa Anda belajar, maka akan terjadi hal-hal menakjubkan." (Quantum Teaching)
Angka covid-19 di daerah tempat saya bertugas sebagai guru tak segarang di ibu kota. Ini patut disyukuri. Walau begitu, aktivitas belajar mengajar tetap tak efektif.Â
Mau tak mau, suka tidak suka kita harus mematuhi aturan pemerintah demi kebaikan bersama. Maka sistem pembelajaran jarak jauh pun berlaku di sini.
Namun apa daya, karena kami dari desa, pembelajaran daring tak bisa berjalan optimal seperti di kota-kota besar.
Jangankan paket intenet, gadget pun orangtua siswa kami kadang tak punya. Tak sedikit siswa kami tinggal di tengah hutan belantara tanpa fasilitas listrik dan tiada tetangga.
Sebagian besar dari mereka berangkat sekolah dengan melewati jalan setapak. Apabila hujan turun mengguyur bumi, maka mereka tak bisa berangkat ke sekolah.Â
Sebab, jalan yang mereka lewati mencair laksana bubur. Hingga tak bisa dilewati. Jika memaksakan diri, kaki-kaki mereka akan ditelan lumpur hingga sulit bergerak.
Bisa dibayangkan bagaimana dilemanya kami dengan suasana PJJ. Dengan pertimbangan kondisi siswa, kami tak menggunakan metoda daring.Â
Sistem jemput antar tugas menjadi pilihan. Minimal dua kali dalam sepekan, siswa bertemu dengan kami gurunya di sekolah. Transaksi tugas pun terjadi. Siswa mengantar tugas sebelumnya serta menngambil tugas baru dari guru.
Walau bertemu dengan siswa, namun kami tak dibenarkan banyak interkasi. Terjalin komunikasi singkat dengan jarak tak sedekat biasanya. Hal seperti ini terus berlangsung hingga tahun ajaran baru tiba.
Mengawali tahun ajaran baru, tanggung jawab kelas satu kembali mendarat dipundak saya. Menurut pimpinan dan rekan sejawat, saya sangat cocok berada di sana karena memiliki naruni keibuan yang sangat tajam.Â
Disinilah dilema yang dihadapi kian meningkat. Saya diserahi tanggung jawab sebagai wali kelas satu sekolah dasar. Bukan kelas satu SMP atau pun SMA.Â
Saya menghadapi siswa-siswi yang baru akan memulai mengecap pendidikan di sekolah formal. Jika ada diantara mereka yang sempat memasuki taman kanak-kanak, itu pun hanya sekadar singgah. Karena pandemi covid-19 mempersingkat jadwal tatap muka mereka di taman kanak-kanak.
Jadilah semuanya seolah diawali dari nol. Laksana praktik pengisian BBM di pertamina. Angka covid menurun. Kami diizinkan bertemu siswa dalam waktu yang lebih lama. Dengan jadwal tetap dua kali sepekan.Â
Kami diizinkan menemui siswa untuk dibimbing secara bergantian. Mirip tempat praktik dokter dengan sistem antri.
Yang mengundang gelak tawa di sini, tak hanya siswa yang dibimbing. Namun Ayah Bunda yang mengeluhkan anak-anak mereka pun harus kami ayomi. Keluhan Ayah Bunda seolah tak pernah reda.Â
Bahkan tanpa sungkan memarahi buah hati di hadapan guru. Meluapkan kesedihan dan kekecewaan terhadap ananda yang menolak bimbingan belajar ala orangtua di rumah.
Salah satu dari sekian banyak orangtua siswa kelas satu mulai angkat tangan. Menyampaikan keluh kesah terkait ananda yang sama sekali tak mau belajar. Bahkan beliau marah dan membanding-bandingkan anaknya dengan siswa lain.
Sebagai guru, saya mencoba menjadi penengah. Serta menyampaikan, semua siswa dalam area sekolah dan di waktu kegiatan sekolah berlangsung merupakan anak guru. Mereka berada dalam tanggung jawab penuh gurunya. Ayah Bunda tak diizinkan memarahi mereka saat itu.
Bahkan saya menyampaikan luka yang hadir dalam jiwa. Melihat siswa menerima kemarahan di hadapan mata. Walau kemarahan itu datang dari orangtua.Â
Tak lupa kami sampiakan pada orangtua, kunci utama sukses dalam mendidik buah hati adalah kekuatan doa. Saya hadiahi beliau buku Parents Smart untuk Ananda Hebat karya saya sendiri. Berharap itu bermanfaat untuk beliau.
Sebuah keputusan dari kepala daerah seolah merubah segalanya. Semester satu hampir usai. Kami diinstruksikan belajar tatap muka normal seperti sedia kala.
Pandangan saya tertuju pada seorang siswa yang selalu dikeluhkan oleh Bundanya. Beberapa kali pertemuan tatap muka berlangsung, dia enggan melakukan apa pun yang saya minta. Bahkan kerap mengeluarkan suara tinggi dan memperlihatkan emosinya.
Berbagai trik telah dicoba. Nyaris tak mempan. Usut punya usut, ternyata ia anak bungsu yang semua keinginannya selalu dituruti oleh orangtua.
Saya berusaha menata hati dan mengendalikan diri agar tak menebar kemarahan yang akan merusak jiwanya. Perlahan saya mengikuti permainannya.Â
Saya sebut permainan, karena sikap yang ditampilkan seolah disengaja. Ketika saya memasang sikap cuek, dia berusaha mencari perhatian.
Dia selalu mengaku tak memiliki buku dan pensil. Dengan sigap saya bantu mengeluarkan buku dan pensilnya dari tas.
"Yes, aku menemukan buku dan pensilmu. Keren kan." Saya berteriak kegirangan mengangkat peralatan belajar yang ditemukan dari tasnya.
Ia pun merespon dengan gelak tawa yang diikuti oleh teman-temannya. Ketika dia menolak diberi tugas menulis di buku latihan, saya beri opsi dia menulis di papan tulis.Â
Perlahan ia melunak. Alhamdulillah, dia mulai bersedia dibimbing mengenal huruf-huruf. Berkenan diarahkan membaca kata-kata pendek pada media baca yang saya sodorkan.
Walau setiap kali bersedia belajar membaca, pergerakan tangannya membuat alas meja yang rapi perlahan kusut dan mengkerut. Saya berusaha tersenyum sembari mengacak-ngacak rambutnya.
Hari ini, dengan sedikit manyun saya menawarkan dia membantu teman-temannya membersihkan kelas jelang pulang. Ia menolak seperti biasa dan berlari meninggalkan kelas.Â
Tak lama kemudian ia kembali untuk melihat mimik saya. Raut muka sedih dengan mata berkaca-kaca saya pamerkan padanya.
"Saya tak bisa menyapu. Apa yang bisa saya bantu." Ia mendekat dengan sedikit menggerutu. Melihat sikapnya, saya sedikit akting. Berpaling darinya.
"Angkat bangku boleh?" Tanyanya sembari menatap saya. Saya hanya mengangguk. Dengan sigap seluruh bangku di kelas diangkat ke atas meja dan segera berlari kembali keluar kelas.
"Selesai ya, aku pulang." Ia berteriak lalu menghilang. Saya menyaksikan tingkahnya sembari tertawa dan geleng-geleng kepala.
Inilah warna-warni belajar tatap muka di zona nyaman. Nyaman artinya bukan hijau, kuning, oren atau merah. Melainkan sebuah langkah menghadirkan suasana belajar menyenangkan dan bersahabat dengan siswa dalam kondisi apa pun.
Ruang Mimpi, 30 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H