Hari itu memang tak terjadi apa-apa. Si anak yang sempat menuai sumpah serapah sang Bunda tumbuh menjadi lelaki dewasa nan sehat lagi saleh.
Namun perlahan mulai terlihat kejanggalan pada diri anak. Kala semua adik-adiknya meraih kesuksesan bahkan bergelimang kemewahan, namun tak begitu dengan lelaki ini.
Hidupnya selalu saja didera oleh kepayahan dan himpitan perekonomian yang kian sulit. Adik-adiknya bahu membahu membantu kakak mereka.Â
Bahkan silih berganti memodali setiap usaha yang berusaha dirintis oleh si kakak. Namun tak ada perubahan.
Bukannya membaik keadaan sang kakak, malahan yang terjadi sebaliknya. Tak hanya kondisi perekonomian si kakak yang kian sulit. Namun keluarga kecil yang dibangunnya jauh dari kata baik-baik saja.
Anak-anaknya dibelenggu berbagai problematika remaja. Mirisnya, tak ada yang menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi seperti anak adik-adiknya.
Salah satu diantara anaknya memutuskan menikah ketika belum lama duduk di bangku SMA. Yang lainnya putus sekolah entah apa sebabnya.
Menyaksikan kondisi ini, si Ibu mulai menangis pilu. Kenapa anak yang akhlaknya paling baik selalu dirundung peliknya persoalan hidup. Doa-doa pun dilangitkan. Ribuan maaf diberikan pada putra tercinta. Namun tetap saja tak ada perubahan.
Lambat laun kondisi kesehatan putra tercinta menurun. Berbagai penyakit menggerogoti tubuhnya. Berbagai pengobatan tak menampakkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Keluar masuk rumah sakit dan dirawat dalam waktu yang cukup lama seolah menjadi menu rutin lelaki ini. Hingga ia tutup napas dengan kondisi tubuh yang sangat memprihatinkan. Ini disaksikan oleh Bunda tercinta.
Deraian air mata si Ibu saat itu tak mampu melerai duka dan derita dari diri anak. Ketika kematian menjemput sang anak, desis bisik-bisik tetangga terdengar mendesis.