Duhai Ayah Bunda juara. Sadarkah Ayah Bunda, bahwasanya setiap ucapan yang terlontar untuk ananda merupakan bahasa doa tak berhijab.
Tak butuh waktu lama untuk membuat lisan terhadap ananda menjelma menjadi sebuah kenyataan. Apalagi jika itu dilontarkan dengan sepenuh hati.Â
Oleh sebab itu, sudah semestinya Ayah Bunda berhati-hati. Dalam melontarkan untaian kata untuk buah hati. Syukur-syukur yang terucap itu kalimat positif. Insya Allah hal itu akan menjadi doa bernutrisi tinggi untuk ananda.
Namun bagaimana jika yang diucapkan itu kalimat bernada negatif. Dilontarkan dengan full energi kemarahan membahana. Walau itu disadari atau tidak.Â
Kalimat tak baik yang dialamatkan pada ananda akan membuatnya celaka. Mungkin tak akan langsung terlihat dampaknya saat itu juga. Naasnya, lisan kemarahan Ayah Bunda terwujud kala rasa sayang tumbuh subur pada ananda tercinta.
Seperti yang sempat terjadi beberapa tahun silam di salah satu daerah di Ranah Minang. Di masa kecilnya, seorang anak laki-laki dari pasangan suami istri petani sederhana ini berprilaku nakal layaknya anak-anak seusianya.Â
Ibu yang didera kelelahan karena baru saja pulang dari kebun menatap nanar pada anak sulungnya. Beberapa kali nasehat yang diberikan si ibu, kenakalan anak ini tak juga berhenti.
Detik berikutnya, kemarahan perempuan paruh baya itu memuncak. Suaranya menggelegar bak petir di siang bolong. Hingga terlontar sebuah kalimat mengerikan.
"Ndeh nak, sabana mada waang. Cilakolah iduik ang. Kateh indak bapucuak, ka bawah ndak baurek, ditangah digiriak kumbang."
Si anak terlihat pucat pasi dan lari terbirit-birit menyaksikan amukan kemarahan sang Bunda.
Bukan kalimat dari lisan sang ibu yang ditakutinya. Karena ia tak paham maknanya. Melainkan suara perempuan paruh baya itu begitu menggelegar hingga terdengar ke ujung jalan setapak dusun tempat tinggalnya.
Hari itu memang tak terjadi apa-apa. Si anak yang sempat menuai sumpah serapah sang Bunda tumbuh menjadi lelaki dewasa nan sehat lagi saleh.
Namun perlahan mulai terlihat kejanggalan pada diri anak. Kala semua adik-adiknya meraih kesuksesan bahkan bergelimang kemewahan, namun tak begitu dengan lelaki ini.
Hidupnya selalu saja didera oleh kepayahan dan himpitan perekonomian yang kian sulit. Adik-adiknya bahu membahu membantu kakak mereka.Â
Bahkan silih berganti memodali setiap usaha yang berusaha dirintis oleh si kakak. Namun tak ada perubahan.
Bukannya membaik keadaan sang kakak, malahan yang terjadi sebaliknya. Tak hanya kondisi perekonomian si kakak yang kian sulit. Namun keluarga kecil yang dibangunnya jauh dari kata baik-baik saja.
Anak-anaknya dibelenggu berbagai problematika remaja. Mirisnya, tak ada yang menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi seperti anak adik-adiknya.
Salah satu diantara anaknya memutuskan menikah ketika belum lama duduk di bangku SMA. Yang lainnya putus sekolah entah apa sebabnya.
Menyaksikan kondisi ini, si Ibu mulai menangis pilu. Kenapa anak yang akhlaknya paling baik selalu dirundung peliknya persoalan hidup. Doa-doa pun dilangitkan. Ribuan maaf diberikan pada putra tercinta. Namun tetap saja tak ada perubahan.
Lambat laun kondisi kesehatan putra tercinta menurun. Berbagai penyakit menggerogoti tubuhnya. Berbagai pengobatan tak menampakkan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Keluar masuk rumah sakit dan dirawat dalam waktu yang cukup lama seolah menjadi menu rutin lelaki ini. Hingga ia tutup napas dengan kondisi tubuh yang sangat memprihatinkan. Ini disaksikan oleh Bunda tercinta.
Deraian air mata si Ibu saat itu tak mampu melerai duka dan derita dari diri anak. Ketika kematian menjemput sang anak, desis bisik-bisik tetangga terdengar mendesis.
"Penderitaannya yang dialaminya buah sumpah serapah ibunya di masa kecil dulu." Begitu kira-kira penafsiran para tetangga.
Ya, sebuah kalimat mengerikan yang pernah dilontarkan oleh seorang ibu yang dikuasai oleh kemarahan kala itu.
"Ndeh nak, sabana mada waang. Cilakolah iduik ang. Kateh indak bapucuak, ka bawah ndak baurek, ditangah digiriak kumbang."
Pembaca tau apa artinya kalimat mengerikan itu? Baik, penulis coba terjemahkan.
"Duhai nak. Betapa nakalnya engkau. Celakalah hidupmu. Ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar. Di tengah dihabisi hama."
Tampaklah betapa besarnya pengaruh setiap perkataan orang tua pada buah hatinya.
Oleh sebab itu Ayah Bunda, hendaklah berhati-hati dalam memilih kalimat yang akan dialamatkan pada buah hati. Jika sedang dikuasai kemarahan dan tak dapat menahan diri, menjauhlah sejenak dari ananda.Â
Tarik napas perlahan, tenangkan pikiran. Jauhkan segala pikiran buruk, bisikan hati atau lisan tak baik pada ananda. Hindari sama sekalu mengucapkan sesuatu buruk untuknya. Agar kelak tak celaka hidupnya.
Menorehkan coretan sederhana sembari ditemani semburat senja,
Solok, 3 November 2020
Bahan Bacaan
Buku Parents Smart untuk Ananda Hebat (Bab Omelan bergizi buruk)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H