Untuk senam yang dipercaya bisa menyehatkan tubuh pun ia harus pilih-pilih berdasarkan rekomendasi dokter.
Kondisi seperti ini mulai mengganggu pikirannya. Dalam kondisi bedrest, ia masih saja tersenyum hangat dan tertawa renyah pada setiap orang yang datang menjenguk.
Bahkan kalimat penuh motivasi masih saja meluncur deras dari lisannya. Hingga terlontar sebuah kalimat singkat dari yang menjenguk.
 "Sepertinya yang sedang sakit kami, bukan kamu."
Suasana penuh canda tawa begitu memenuhi ruangan mungil tempat gadis ini berbaring. Bisa ditebak, sumber tawa dan kehebohan itu dari si sakit yang sedang dijenguk. Bukan sebaliknya. Mereka berdecak kagum.
Namun berbeda halnya ketika gadis ini berada dalam kesendirian. Ia mulai menangis pilu menolak kenyataan. Melepaskan rasa yang membuncah. Benci dengan kondisi yang harus menerima uluran tangan orang lain.
Semasa sehat ia membenci situasi saat harus minta tolong pada orang lain. Takut terluka dengan penolakan. Enggan kecewa dengan respon yang tak sesuai harapan. Hingga ia memilih mengerjakan semuanya sendiri.
Karena hal itulah, di masa bedrest ia memilih menahan rasa lapar dari pada minta tolong mengambilkan makanan pada keluarga.Â
Memilih berjalan merangkak ke kamar mandi dari pada menyuarakan mohon bantuan.
Menyaksikan hal ini, keluarga, kerabat serta para sahabat mulai menyadari, bahwa gadis ini enggan diperlakukan berbeda. Ia keberatan diperlakukan sebagai seorang pasien. Â
Tak ada dari teman sebaya yang berani memberi nasihat. Mereka takut salah memilih kalimat. Lain halnya dengan Ibu. Tangis beliau pecah.
"Jangan seperti ini Uni. Ibu dan adik-adik tak keberatan melayani Uni. Apa salahnya Uni minta tolong jika butuh sesuatu?"