Brak. "Aaaakkkk..."
Suara pekikkan dari penumpang oplet menyaksikan sebuah motor matic berwarna putih tiba-tiba salto di sebuah ruas jalan lintas Sumatra.
Pengemudi motor slim itu terpental. Terhempas ke jalan raya lalu berguling-guling. Teriakan histeris meningkahi drama pagi menjelang siang itu.
Terlihat sebuah kendaraan umum melaju beberapa senti meter menuju motor yang terpental. Atas kehendak Tuhan, laju minibus itu mendadak terhenti. Hingga motor dan pengemudinya yang baru saja mengudara tak tersentuh sama sekali.
***
Kejadian di atas bukan sebuah ilustrasi. Melainkan kejadian nyata yang dialami oleh seorang gadis Minang beberapa tahun silam. Sebuah peristiwa yang tak direncanakan itu merubah perjalanan hidupnya.
Biasanya ia bergerak dengan sangat lincah. Tak mengenal waktu. Tak pernah terpancar kelelahan di wajahnya. Selalu energik. Mandiri. Tak suka bergantung pada orang lain
Tak hanya energinya yang ekstra. Keberanian dalam mengambil langkah-langkah baru dalam mewujudkan mimpinya membuat permasalahan enggan mendekat.
Gurat kesedihan seolah tak pernah singgah di wajahnya. Hanya senyuman, keceriaan dan tawa renyah yang terlihat setiap kali berpapasan dengan orang lain.
Istimewa. Begitu guman orang yang melihat. Hanya saja, ia kerap mendapat nasihat, agar tak lupa istirahat.
"Insya Allah nanti di surga." Selalu begitu jawaban yang diberikan tiap kali nasihat itu datang.
Namun, pasca kecelakaan tunggal beberapa tahun silam, perlahan kondisi mulai berubah. Pergerakannya mulai terbatas.
Kali ini ia benar-benar harus beristirahat. Walau hati dan pikirannya menolak perintah untuk istirahat panjang. Namun tubuhnya meminta hal sebaliknya.
Raganya enggan diajak bergerak bebas. Membungkuk tak boleh, mengangkat beban berat tak boleh. Bahkan sekadar senam pagi yang biasa dilakukannya pun tak boleh.Â
Untuk senam yang dipercaya bisa menyehatkan tubuh pun ia harus pilih-pilih berdasarkan rekomendasi dokter.
Kondisi seperti ini mulai mengganggu pikirannya. Dalam kondisi bedrest, ia masih saja tersenyum hangat dan tertawa renyah pada setiap orang yang datang menjenguk.
Bahkan kalimat penuh motivasi masih saja meluncur deras dari lisannya. Hingga terlontar sebuah kalimat singkat dari yang menjenguk.
 "Sepertinya yang sedang sakit kami, bukan kamu."
Suasana penuh canda tawa begitu memenuhi ruangan mungil tempat gadis ini berbaring. Bisa ditebak, sumber tawa dan kehebohan itu dari si sakit yang sedang dijenguk. Bukan sebaliknya. Mereka berdecak kagum.
Namun berbeda halnya ketika gadis ini berada dalam kesendirian. Ia mulai menangis pilu menolak kenyataan. Melepaskan rasa yang membuncah. Benci dengan kondisi yang harus menerima uluran tangan orang lain.
Semasa sehat ia membenci situasi saat harus minta tolong pada orang lain. Takut terluka dengan penolakan. Enggan kecewa dengan respon yang tak sesuai harapan. Hingga ia memilih mengerjakan semuanya sendiri.
Karena hal itulah, di masa bedrest ia memilih menahan rasa lapar dari pada minta tolong mengambilkan makanan pada keluarga.Â
Memilih berjalan merangkak ke kamar mandi dari pada menyuarakan mohon bantuan.
Menyaksikan hal ini, keluarga, kerabat serta para sahabat mulai menyadari, bahwa gadis ini enggan diperlakukan berbeda. Ia keberatan diperlakukan sebagai seorang pasien. Â
Tak ada dari teman sebaya yang berani memberi nasihat. Mereka takut salah memilih kalimat. Lain halnya dengan Ibu. Tangis beliau pecah.
"Jangan seperti ini Uni. Ibu dan adik-adik tak keberatan melayani Uni. Apa salahnya Uni minta tolong jika butuh sesuatu?"
Begitu ratap beliau kala itu. Gadis ini termenung. Berat rasanya harus minta tolong ini dan itu pada beliau.
Gadis ini sangat menyadari, sang ibulah yang paling berususah hati melihat si sulung terbaring lemah di tempat tidur. Kesedihan mendalam terpancar dari mata beliau.
Tak ingin melukai hati sang ibu, gadis ini hanya mengangguk lemah. Mulai berlatih menakhlukkan diri sendiri. Membisikan pada diri sendiri.Â
"Kau manusia biasa. Kau butuh uluran tangan orang lain. Menolak semua bantuan menunjukkan kepongahan. Bukan kekuatan."
Dia mulai melunak. Tapi hanya pada ibu semata. Kadang mulai merengek manja pada perempuan paruh baya itu. Diluar dugaan, binar-binar kebahagiaan berpendar di mata beliau.
"Uni telah kembali." Kira-kira begitu gumannya saat itu.
Bedrest selama tiga bulan untuk seseorang yang selalu aktif berkegiatan itu bukan hal mudah.
Itu terasa cukup menyiksa. Namun, dilain sisi, Tuhan memperlihatkan sesuatu yang selama ini tak terlihat oleh gadis ini. Begitu banyak kerabat dan sahabat yang begitu menyayangi dan merindukannya.Â
Sesekali si sulung dari tiga bersaudara ini bercanda.
"Rupanya harapan kalian yang membuatku terbaring seperti ini?"
Candaan itu disambut dengan gelak tawa oleh sahabat-sahabatnya. Tak hanya itu saja. Ia baru menyadari, walau usianya masih sangat muda, namun jumlah anak yang dimiliki sudah tak terhitung. Tersebar hampir diseluruh penjuru nusantara.Â
Perlakuan layaknya seorang ibu kandung selalu didapat setiap detik. Walau sejatinya ia belum pernah melahirkan. Terkadang ini menuai kecemburuan orang-orang di sekitarnya.
"Enak banget ya kamu. Belum merasakan ujian hamil dan melahirkan, tapi kamu sudah menuai hasil."Â
Kalimat ini kerap didengar langsung maupun tak langsung oleh gadis ini.
Tanpa sadar, gadis Minang itu mulai mensyukuri rasa sakit yang Allah izinkan singgah pada raganya. Karena hikmah tiada terhingga telah direguknya.Â
Sampai detik ini, kesembuhan total belum diperoleh. Namun itu tetap disyukuri dan dinikmati. Sembari terus berdoa dan berusaha. Agar kesembuhan itu kembali didapat.Â
Yang pasti, ia telah menyadari, bahwa tak ada bencana dalam hidup seorang anak manusia. Hanya ada sentuhan cinta Illahi dalam wujud yang begitu variatif pada kita. Semua tergantung bagaimana diri kita memaknai dan menikmatinya.
Wallahualam
Ruang Mimpi Penulis, 29 Oktober 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI