"Nduk, tolong ambilkan tepung sagu di atas bangku."
Perintah Simbahku kala itu. Segera kuambil sebungkus lalu kuserahkan meski dahi menggerutu. Apa yang hendak dilakukan Simbah pada tepung sagu? Belum tau.
Dengan cekatan jemari yang menyimpan banyak memori mengurai tali yang melilit rapi. Nampan berisi tepung beras sudah disiapkan, namun belum tertuang air dari tempayan. Masih menunggu tepung sagu. Bersabarlah, agar mereka tercampur rata dulu.
Kuikuti jemari tua itu menari. Satu per satu bahan terkumpul lalu diuleni. Nah, saatnya memberi air secara perlahan. Tak lupa sedikit garam. Sedikit saja, hanya untuk membuat rasa lebih nyaman.
Kembali air dituang, sedikit demi sedikit lalu tahan. Diulen pelan, tak cepat, tak jua lambat. Jemari membalik adonan dengan cermat. Agar tercampur secara tepat.
Air daun suji diraih lalu dituang dalam adonan setengah jadi. Cukup. Asal bisa merubah rupa. Tak perlu banyak warna. Yang penting terlihat cantik, hijau pun menarik.
"Kelapa sudah diparut?"
"Sampun."
Aku menuruti meski belum sepenuhnya mengerti. Simbah memanaskan panci yang sudah diisi air lalu ditutup sarangan. Dimasukan parutan kelapa, tak muda, tua pun tidak. Sedang.
Ditaburi garam, tak banyak, yang penting terasa gurih dan lezat. Tunggu hingga panci terlihat menguap. Pertanda sudah matang dan siap diangkat. Sisihkan.
Gula merah sisir di atas meja, menanti. Adonan yang telah diuleni siap dieksekusi. Diambil satu bagian kecil. Dipipih lalu diselipi gula merah sisir, secukupnya.
Tutup! Bentuk bulat rata di berbagai sisi. Hingga tak terlihat lagi isi. Ulangi, sampai adonan usai dieksekusi. Mangkuk kecil telah berisi bulatan-bulatan rapi, siap dimasukkan ke dalam air mendidih.
Klepon. Ya, beragam tanya akhirnya terjawab, bermuara pada panci. Terlihat bulatan-bulatan hijau mengapung dan menepi. Mereka seolah ingin menyampaikan pesan, jikalau siap disajikan.
Simbah segera mengemas ke dalam piring datar, mengurai dengan sabar. Kelapa parut yang sudah dikukus bersiap menerima bulatan-bulatan hijau agar terbalut sempurna.
"Panggil adik-adikmu."
Baru sempat kucium arom harum daun suji. Belum sempat kucicipi. Bergegas kupanggil dua adikku. Lalu duduk dalam satu meja. Kebiasaan sederhana, terasa istimewa. Dengan hadirnya sosok penuh warna berbeda, klepon.
Tak lama dua tangan mungil berebut meraih bulatan hijau yang tentu saja masih hangat. Aku tak kalah ikut memungut. Menyambut beberapa di antara mereka, sebab hangat lebih nikmat. Seru karena saling berebut. Mencari yang paling banyak isi.
"Yaaah, gulanya kok cuma dikit Mbah."
"Yeeaa, aku dapat banyak."
"Aku malah gak ada gula."
"Kok isinya beda-beda Mbah?"
Beragam celoteh teruntai. Simbah tersenyum dengan santai. Menghela nafas perlahan lanjut menjelaskan. Kami terdiam.
"Simbah itu cuma membuat saja, wajar kalo hasilnya beda-beda. Manusia juga diciptakan beda-beda. Sabar kalau dapat yang sedikit gula. Yang penting nama tetap sama. Tanyakan pada klepon. Buat apa dipermasalahkan. Asal bisa dimakan dan perut kenyang. Iya kan?"
Betul juga kata Simbah. Jika sudah jadi klepon mana mungkin bisa terlihat isi di dalamnya. Kalau kita tak mencoba dan memakannya, tak akan tau reaksinya.
Apakah muncrat karena terlalu banyak gula. Atau tak ada reaksi karena sedikit isi. Apapun itu, nama tetap sama. Klepon.
Ternyata meski nama sama, menuai isi yang beraneka. Saat itu, dalam satu meja. Reaksi kami pun berbeda-beda. Dan Simbah tak pernah mempermasalahkan. Yang penting klepon sudah matang dan siap dimakan.
Klepon memang disajikan untuk menyatukan keluarga bukan menghadirkan keributan di atas meja. Tak percaya, tanyakan pada klepon. Dan tunggu bagaimana reaksi selanjutnya?
Niek~
Jogjakarta, 23 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H