Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Coretan Dinding Anak dalam Sebuah Ruang Kebebasan

15 Januari 2020   20:31 Diperbarui: 16 Januari 2020   05:25 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu kulakukan aktivitas seperti biasa. Pagi mempersiapkan si sulung berangkat sekolah. Lanjut mengurus dua balita, pasukan kecil yang super usil. Aha, tinggal dua namun berasa seperti menghadapi bala pasukan tentara.

Sebelum mereka bangun pun aku sudah memikirkan, tingkah apalagi yang akan mereka lakukan? Setiap hari rasanya tak pernah kehabisan ide permainan. Berputar-putar pun membongkar seisi rumah adalah hal paling membahagiakan.

Membuat sang emak kewalahan sepertinya sudah menjadi bagian dari kebiasaan. Hingga ruang tak tersisa tuk sandaran badan. Barulah mereka berpindah ke hal lain yang lebih menantang. Wow.

Kalau tiba-tiba ada yang datang. Ibarat mempersilahkan duduk pun harus kelimpungan. Di kursi banyak mainan. Di karpet pun sudah tak ada ruang lengang. Untunglah tetangga maupun kerabat dekat sudah terbiasa. Melihat pemandangan aduhai menjadi adegan yang luar biasa. Indah kata mereka. Ada ada saja.

Tetiba anak kedua melayangkan permintaan, "Bu mana pensil?" rajuknya padaku.

"Untuk apa, Mas?" tanyaku sebelum mencari barang yang dia pesan.

"Aku bosan, mau buat mainan lain," raut wajah pun dibuat sedemikian rupa agar aku tak menolak rayuannya. Meski dalam pikiranku berkecamuk tanya, untuk apa pensil yang dia pinta? Ahay.

Baik, akhirnya aku ambil pensil yang ada di meja belajar milik sang kakak pertama.

"Ini, jangan lupa nanti dikembalikan pada tempatnya ya," pintaku sebelum memberikan.

"Ashiiaap," guraunya membuat hati tak kuasa mengelak setiap permintaan yang diajukan. Pastilah ada hal yang mengejutkan kemudian. Itu yang kerap membuatku penasaran.

Benar seperti dugaan. Awalnya pensil itu memang digunakan untuk menulis. Hmm bagus. Lalu dia mengajak sang adik merangkai berbagai bentuk di kertas yang sengaja disediakan untuk bahan mainan. Anak pintar.

Dia memang belum pandai menulis dengan baik dan benar. Hanya berusaha untuk memperbaiki cara penulisan. Tak mengapa. Kubebaskan. Satu garis, dua garis. Hingga melukis beberapa baris. Menarik.

Tetiba tangannya terhenti di ujung kertas. Rupanya yang tersisa hanya tinggal beberapa ruang terbatas. Matanya mulai ke kiri dan kanan. Ahay sesaat kemudian dia pun membalik badan. Bergerak menyingkir dari kertas yang sudah terbatas. Ke manakah?

Wah, rupanya tangan tak pernah kehilangan pemikiran. Dindinglah yang jadi sasaran kemudian. Cerdas. Ini tentu akan menambah pekerjaan. Mengecat, pun membersihkan. Kugelengkan kepalaku sembari kusapu kedua bola mata. Tak percaya. Dalam sekejap seluruh ruang terisi beragam coretan.

"Ibuuuu," teriakan itu sungguh memekakan telinga.

"Aku sudah membuat karya lo," anakku menghampiriku dengan bangga.

"Apa itu?" pertanyaanku seakan sudah terjawab oleh gerak badan yang dilakukan. Dia memang tak pernah buat kerapian pun kebersihan. Aku sudah berangan apa yang dilakukan.

Benar saja. Hasil karya yang luar biasa istimewa. Hingga seluruh dinding dari ruang tamu, kamar, dan tengah sudah berganti warna pun rupa. Garis lurus, miring, bergelombang, bahkan lengkungan tak beraturan, telah berhasil terpampang dengan gamblang.

Gerak yang sungguh cekatan. Dalam waktu sekejap ruangan telah terganti karya nan rupawan. Saat itu hanya mata yang berbicara. Aku tak tau harus berbuat apa. Dua pasukan kecil hanya tertawa. Seakan puas dengan hasil yang tercipta.

Sejenak aku duduk dan berpikir. Kalau mainan berantakan masih bisa kubereskan. Nah, kalau coretan dinding macam begini mana bisa aku bersihkan dalam waktu bersamaan? Mustahil kulakukan. Aku hanya bisa mengurai senyuman. Rupanya inilah yang dinamakan ruang kebebasan.

Jika ada yang kembali bertandang, lalu berpikir demikian, "Ini emaknya gak pernah ngajari aturan." Hmmm. Benarkah demikian? Haruskah aku mencari pembenaran? Apakah ini adalah sebuah kesalahan yang harus dibenarkan?

Aku rasa semua pertanyaan itu hanya ada satu jawaban. Bukan soal aturan yang tak diberlakukan. Hanya saja anak-anak butuh sebuah "ruang kebebasan". Ya, kebebasan untuk mengaktualisasikan keinginan. Orangtua hanya sebagai pengamat dan pengawas agar kebebasan tak melampaui batas aturan. Bagaimana?

Menurut Wikipedia, "Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan mengenali kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya."

Jadi benar, kebebasan rupanya hidup berdampingan dengan keinginan. Di mana seseorang butuh sebuah ruang untuk melakukan tindakan. Dalam sebuah kebebasan akan ditemukan pula kebenaran. Jikalau tak terdapat pengekangan. Kiranya proses belajar kan bergulir seiring pertambahan usia seseorang.

Coretan dinding hanyalah gambaran dari sebuah ruang kebebasan. Anak-anak dalam masa perkembangan tentu berada pada area yang diliputi rasa "penasaran". Hingga seketika timbul "keinginan". Yang harus segera diaktualisasikan. Anak tentu akan menemukan jati diri yang menjadi pegangan. Yang mana akan mereka temukan dalam sebuah ruang kebebasan.

Ketika anak menggoreskan satu, dua, hingga beragam coretan. Saat itulah mereka tengah menikmati kebebasan yang begitu menyenangkan. Mereka akan berpikir mengenai nikmatnya hidup tanpa ada yang melarang. Tak pula ada beban yang disandang.

Lihatlah, guratan senyum pun candaan kerap terlontar. Bersamaan dengan tangan yang menoreh aneka bentuk karya yang tersebar. Seketika dinding berubah warna pun rupa. Sungguh pemandangan yang tak biasa namun terasa istimewa.

Mengapa harus dinding? Nah, ini pertanyaan menggelitik selanjutnya. Benarkah dinding adalah media yang cukup menarik? Sehingga sayang jika tak dilirik. Sekalipun sudah disediakan media lain yang unik. Tetaplah dinding menjadi tuju utama yang cukup asik.

Seorang psikolog, Tubagus Amin Fa, SPsi, CTL, CH, CHt, Cl mengatakan, "Anak-anak lebih asyik saat menggambar di dinding. Kenapa? Karena saat menggambar di dinding, mereka (merasa) ikut terlibat di dalam kisah yang mereka gambarkan. Melalui bidang yang lebih luas, mereka lebih bebas menggambar dan masuk ke dalamnya." (Idea Online, Senin 31 Desember 2018)

Dari adegan yang diperlihatkan dua balita kecilku, awalnya mereka berada pada area yang aman, yaitu melakukan aksi coretan di atas kertas yang disediakan. Namun ternyata gerak mereka sungguh terbatas. Dan akhirnya dindinglah yang jadi target selanjutnya.

Bagi mereka, dinding merupakan media yang cukup luas untuk dijangkau dengan tangan mungilnya. Di sini aku mencoba memahami. Betapa dinding bagai media lukis yang jika ditoreh tak akan habis ruang.

Luas, lebar, pun tinggi. Tak mungkin diraih semua sisi oleh anak usia dini. Tentu ada bagian yang masih lengang dari jangkau pandang. Bagai berada di tengah arena yang cukup lapang. Ini sungguh mengasyikkan.

Cobalah bertanya pada beberapa orangtua. Di manakah anak mereka akan bahagia melukis pun menulis? Meski sebagian dari jawaban bisa saja tak sama. Namun sebagian lagi tentu akan menjawab serupa, "Anakku suka banget mencorat-coret dinding rumah."

Lalu akan banyak terjadi respons. Ada yang kesal lalu melarang. Ada pula yang membiarkan pun membebaskan. Ini merupakan sebuah pilihan. Dan aku lebih memilih membebaskan sehingga anak menemukan sendiri kebenaran di balik kebebasan.

Seorang guru pernah mengatakan padaku, "Dulu anak kami juga heboh melakukan aksi corat coret di dinding rumah. Bahkan hampir seluruh ruang menjadi ajang coretan yang mengasyikkan. Kami membiarkan. Kami berpikir, biarlah mereka sendiri yang menemukan keadaan tidak nyaman ketika mereka melakukan coretan."

"Saat itulah mereka akan menghentikan aksi coretan. Kini anak kami sudah dewasa. Rumah kami sudah kembali normal. Kami sisakan satu coretan di dinding kamar sebagai kenangan. Serta bukti bahwa mereka pernah merasai aksi yang sungguh menyenangkan."

Aku terkesima dengan perkataan sang guru. Jadi terbukti benar adanya, menemukan kebenaran dalam ruang kebebasan. Akan memberi sebuah kepuasan dalam proses pembelajaran. Pun hasil yang sesuai dengan apa yang menjadi harapan.

Meski tak diungkapkan dengan perkataan, kiranya perbuatan kan menuai jawaban. Bahwa memberi ruang kebebasan pada sebuah aksi coretan. Sepertinya layak untuk dijadikan bahan pertimbangan pemikiran.

Sumber referensi 1, 2
Niek~
Jogjakarta, 15 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun