Post ini sengaja saya buat pada hari Kamis, 21 April 2016. Tentu tahu sebabnya, karena Hari Kartini. Ya, hari Kartini yang selalu kita peringati, hari Kartini yang di jaman serba cepat informasi ini, juga penuh pro-kontra (lagi). Pasti.
Tapi bukan itu yang akan saya bahas, bukan setuju tak setuju, karena semua bebas berpendapat. Namun hikmah, atau ibroh yang bisa diambil dari setiap kejadian. Kejadian, serta hal-hal yang kadang luput dari silang-sengketa yang melewatkan substansial.
Tentang Kartini dan Gelap Terang.
Kartini, memang, mati muda. Kartini pula memang, dibilang hanya mampu bercerita. Curcol dan Baper kata anak jaman sekarang. Beliau tak setara perjuangannya, dan tak kentara perjuangannya, terkecuali polesan pencitraan dari penjajah Belanda.
Benar atau tidak, fakta sejarah membuktikan pemikirannya menjadi penerang generasi setelahnya.
Yang saya dari beliau adalah nilai hanya perjuangan yang terputus. Yang kata orang, Pena lebih tajam dari pedang. Kata orang. Dan karena kata orang pula-lah sosok Kartini menjadi panutan, kata orang pula maka sosok ini juga jadi kontroversi.
Padahal, di jaman tersebut, tahukah Anda, tanpa berbahasa Belanda, tanpa sekolah, tak mungkin bisa bergerak. Satu hal mendasar memang katanya soal Kartini dan emansipasi wanita, yang membuat beliau "dipuja". Padahal, bagi saya, bukan itu persoalannya.
Kartini, bagi saya adalah orang terpelajar yang mau belajar. Lewat tulisannya. Dan ketika dia menulis, kepada sahabat penanya, menyerah kepada "kodrat wanita jawa", walaupun berkesempatan sekolah lanjutan di Betawi. Itu ketidakegoisan. Bukan menyerah. Ketidakegoisannya merupakan hal yang menarik. Untung sang suami mendukung.
Kartini, kata Abendanon yang membukukan surat-suratnya, “Dari gelap menuju Terang”. Makna yang tersirat banyak. Anda boleh katakan itu tentang Emansipasi. Saya mau bilang, ini tentang tajamnya pena. Dengan menulis.
Bayangkan, Rembang, Jawa Tengah Abad ke-19. Menulis. Ada lampu teplok, lilin temaram, atau bahkan hanya bisa dilakukan di siang hari kala matahari menantang. Habis gelap, terbitlah terang.
Pintar. Kartini pintar berbahasa, pintar menulis dengan bahasa lingua franca hindia belanda kala itu. Juga bahasa resmi pengantar pada masa itu.
Pintar, karena pada masa-nya, dia hanya satu dua atau tiga wanita perintis pendidikan di Nusantara. Tak usah bandingkan dengan pendekar pahlawan wanita lain seperti Rasuna Said, Dewi Sartika. Semua beranjak dari nilai pendidikan, dan dengan pendidikan lah mereka pintar. Tak cukup untuk diri sendiri, mereka berbagi untuk sesamanya.
Tentang Kartini dan Blogger.
Jaman dulu, Kartini adalah blogger. Ya, blog dari weblog, dari e-journal, dari log, dari jurnal. Catatan harian, diary. Bertransformasi di era teknologi digital, internet, menjadi uraian untuk dibaca semua orang, menginspirasi semua orang.
Ketika tulisan surat Kartini dibukukan, disebarkan, maka terang-lah disebarkan. Gelap yang merundung langit Jawa dan seluruh nusantara, karena buta aksara, diterangi. Oke, lagi-lagi saya dengar cemoohan, kalau yang dapat pendidikan adalah kaum priyayi, bangsawan, ningrat, atau pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Bukan kacung, centeng atau buruh tani.
Apakah, tokoh lain di era Kartini, dengan upaya pendidikan dan “emansipasinya” juga tak bersekolah? Tak merintis sekolah? Dan selanjutnya. Tidak, tentu. Untuk menginspirasi orang lain, maka seseorang lebih dulu harus “tercerahkan”.
Ketika abad kegelapan melanda eropa, negeri Islam cerah gemerlap. Negeri tiongkok sama. Negeri Nusantara, kabarnya, sebelum kedatangan bangsa penjelajah (dan akhirnya penjajah) juga terang. Ingar bingar dengan kehidupan, dengan aksara sendiri di daun lontar, batu dan prasasti.
Semua terjadi dalam bentuk tulisan. Semua terjadi karena ada “ruh terang”. Dalam segala bentuk.
Blogger, seyogyanya mencerahkan. Ia menulis soalnya. Ia adalah penyintas waktu, “survive” dari jaman karena menulis. Pun Kartini. Dia hingga saat ini menjadi buah bibir, karena tulisannya. Lebih lagi, karena tulisannya dibaca khalayak. Sebuah cerita yang saat ini gampang. Tinggal buat tulisan kontroversi, “traffic” berdatangang. Yang dulu, Kartini ceritakan dengan hati-hati, diam-diam, bersembunyi.
Cemoohan Anda akan berhenti pada titik dia mati muda. Dia yang katanya dicitrakan penjajah sebagai tokoh emansipasi, yang mengagumi kebebasan wanita barat sana.
Sekolah Kartini yang didirikan, memang bukan dari dia. Dari penjajah kata kalian. Lalu, dia dimana? Dia terkubur bersama mimpinya, Wafat di usia 25 tahun, lebih muda dari Anda yang membaca tulisan ini mungkin.
Pantaskah, diberikan apresiasi?
Pantaskah sang penulis surat-surat untuk menuju terang dalam keadaan gulita, keadaan gelap baik dalam arti konotatif maupun denotatif ini dinegasikan keberadaannya, dibalik kontroversi yang dibagi di abad ke 21 yang katanya abad informasi ini.
Kartini, Blogger, dan PLN : PINTAR
Jaman dulu, tak ada listrik. Ketika ada, tak pula dinikmati banyak orang. Apalagi di negeri jajahan. Harganya juga mahal. Mengembalikan ingatan, Perusahan Listrik Negara alias PLN berdiri pada paruh masa yang lama, di era euforia liberalisme eropa yang meneteskan sedikit “politik etis” dan balas budi. Yang mungkin hanya setetes diberikan belanda, dibandingkan Inggris yang satu belanga.
Habis gelap, terbitlah terang. Seyogyanya menginspirasi kita semua.
Blogger, termasuk Kompasianers, dan layanan PLN sebagai representasi alat untuk terang. Juga, alat untuk meng-enable Teknologi Informasi. Tak akan ada internet, gadget, laptop yang meancarkan cahaya, dan colokan gadget Anda tanpa Listrik.
Listrik, mengubah dunia.
Pengelolaannya di Indonesia diserahkan kepada negara, makanya ada Perusahaan Listrik Negara. Perusahaan yang mengemban amanat Konstitusi dimana “sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”.
Perjuangan Kartini memang tak dia nikmati. Bahkan pada era-nya. Sekolah Kartini, Buku kumpulan surat yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang” ini jadi fondasi bagaimana menulis, menjadi bahasa universal. Bahwa terang, adalah kondisi yang harus dicapai.
Abad pencerahan (enlightenment) adalah “abad terang” dalam arti filosofis, abstrak. Penemuan listrik oleh Thomas Alva Edison, adalah abad pencerahan dalam arti fisik.
Untuk itu, antara Kartini, Blogger, dan upaya PLN mewujudkan layanan listrik untuk seluruh masyakat Indonesia adalah hal yang, ternyata, erat berkait. Pintar, adalah erat dengan perilaku.
Perilaku Kartini saat itu, pintar. Memanfaatkan kemampuan (skill) berbahasa dan literasi, dia mampu menjalin relasi mancanegara. Blogger, juga pintar (seharusnya). Dengan kemampuan menulisnya, bisa memanfaatkan blog sebagai media sosialisasi, informasi bermanfaat untuk khalayak. Mengisi dengan konten-konten positif guna melawan pengaruh negatif Internet. Ini jaman sekarang.
PLN, seperti apa?
Listrik Pintar. PLN sebagai organisasi, tak akan maju tanpa SDM yang menyokongnya. Tak hanya petugas, namun juga semua lapisan masyarakat.
Disebut pintar karena melibatkan kita semua untuk mengaturnya. Perilaku kita yang kita atur sendiri, bagaimana memanfaatkan energi.
Kartini memanfaatkan energi untuk menulis. Baik energi fisik dirinya maupun energi dalam arti sumberdaya lainnya seperti penerangan.
Sekarang, dengan program Listrik Pintar, atau yang disebut Listrik prabayar, kini masyarakat bisa mengelola sendiri bagaimana perilaku penggunaan listrik. Untuk menghemat, banyak cara dan pilihan untuk pemakai.
Dengan listrik "token" yang sudah pula pembeliannya tersebar di banyak retail sepeti minimarket, bank, pos dan seterusnya, memberikan kebebasan konsumen, masyarakat itu sendiri untuk melakukan hal yang mereka inginkan dengan listrik.
Jadi, masyarakat dididik "Cerdas" memanfaatkan energi. Pintar, istilah listrik PLN nya. Karena pra-bayar. Hingga tahun 2012, pengguna listrik prabayar di Indonesia mencapai 5 juta orang di seluruh Indonesia. Walapun coverage masih sebatas Jawa Bali dan NTT, NTB serta Sumatera, jumlahnya niscaya akan bertambah, karena dengan pendidikan, kita makin pintar. Makin cerdas mengelola kebutuhan.
Benang Merah : Filosofi mendasari Aksi Pintar
Mari, kita resapi kembali filosofi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Jangan terjebak pada hal-hal remeh dan teknis. Berikan waktu, ruang dan kesempatan semua pihak untuk “menerangi diri sendiri” dan bagi PLN, menerangi kehidupan kita.
Listrik, merupakan sarana mendasar dan fundamental untuk kehidupan. Tak akan ada invensi, inovasi dan beragam layanan digital tanpanya. PLN, adalah penyambung urat nadi kehidupan, listrik.
Kartini berani mencari pencerahan di saat gulita, dengan keadaan yang ada, tanpa listrik yang 24 jam dipakai, bahkan untuk saya mengetik di hampir tengah malam ini.
Blogger, dengan fasilitas yang ada, adalah representasi kekuatan menulis. Pena yang tajam, yang percaya akan kekuatannya.
PLN, adalah tumpuan kita untuk berkarya, untuk mendapat pencerahan, mendapat penerangan dan mendapat inspirasi dari membaca menulis dan berkarya diterangi lampu-lampu yang indah.
Filosofi hari kartini ini memang tak mudah dituliskan, tapi bisa dirasakan dan dijalankan. Menghargai PLN bukan berarti tak mengkritik, karena layanan adalah tulang punggung abdi negara, perusahaan listrik negara. Nama yang tak akan terganti, sepertinya sejak dulu kala.
Karena filosofi “negara” yang menurut Rosseau hadir atas kontrak sosial (du social contract) antara negara dan masyarakat, maka kita wajib meningkatkan kinerja PLN untuk kita sendiri.
Menulis-lah yang baik, mengkritik lah dengan baik. Kartini melakukan itu, kita pun bisa. Kompasianers, adalah bloggers, yang bisa lakukan itu. Menulis tentang PLN, menulis diri kita sendiri, menulis sejarah kita sendiri. Untuk kehidupan kita yang lebih baik.
Berperilaku hemat-lah dengan baik, dengan mengatur diri sendiri. Menulis, adalah manifestasi blogger. Menulis yang baik, adalah perilaku blogger kompasianer yang baik. Karena apapun yang kita tulis, dengan tujuan untuk sesuatu yang baik, dan untuk menjadi lebih baik. Cocok dengan penggunaan listrik, untuk kehidupan yang lebih baik.
Alhamdulillah, saat ini menulis (mengetik), sudah bisa berjalan lancar. Dengan adanya listrik, sumberdaya energi yang kita peroleh sebagai layanan PLN, dan hak masyarakat untuk menjadi lebih baik. Belajar, berpendidikan dan membuat perubahan.
Ketika Kartini menulis, dia inginkan perubahan. Ketika Kompasianers/Bloggers menulis, sama. Ingin perubahan ke arah yang lebih baik. PLN dengan program-programnya, membantu wujudkan itu semua. Terutama bagi masyarakat yang belum mendapatkan layanan terbaik, misalnya daerah pedalaman dengan byar-pet listrik bergiliran dimatikan dan seterusnya.
Selamat Hari Kartini, dan Semangat untuk kita Blogger, Kompasianers, juga PLN, karena kita sepakat, “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H