Ini Una, Mbah. Ya Allah.... lirih beliau. Kami berpelukan, saya melihat ada air mata diujung matanya. Mbah Rahman dan Mbah Izzah yang sedang mengobrol. Suasana hati dan rumah mengharu biru, saya duduk bergabung, bercerita tentang kabar dan kegiatan.
Waktu magrib pun tiba, saya salat di kamar Mbah. Setelah selesai, Mbah meminta saya untuk bermalam di rumahnya.
Waktunya Berpetualang
Hari berikutnya, saya menggunakan waktu untuk bertemu dengan teman-teman yang dulu masih mengajar di lembaga Pendidikan. Kalau dulu hanya setara PAUD, kini lembaga Pendidikan memiliki MI (madrasah ibtidaiyah) yang akan meluluskan angkatan pertama tahun ajaran ini.
Bernostalgia artinya menyegarkan ingatan tentang kisah-kisah indah yang pernah dialami. Dan saya melakukannya selama berada disana. Tak sia-sia, dari nostalgia tersebut, akhirnya kami bersepakat untuk mengunjungi daerah wisata andalan kota Ponorogo, yaitu Telaga Ngebel.
Hari yang ditentukan, kami berangkat bersama menuju telaga Ngebel. Dengan berkendara mobil, saya dan tiga orang kawan yang membawa anak-anaknya serta suami salah satu dari mereka sebagai pengemudi.
Dikarenakan sudah lama tak menjajal jalan-jalan ke daerah pegunungan yang berkelok, saya mual dibuatnya, kepala terasa pening. Maklum saja, bertahun-tahun tak pernah lagi menikmati jalan yang aduhai seperti petualangan saya ke telaga Ngebel.
Ponorogo tetap Mempesona dengan Panorama Alam yang Indah
Kami hanya perlu membayar tiket masuk sejumlah Rp.15.000,-/orang. Mobil melaju sedang sementara kaca mobil telah dibuka, udara segar pun keluar masuk bergantian. Kami mencari lahan parkir yang tak jauh dari tempat yang mudah kami jangkau untuk bersantai.
Yang disayangkan adalah tidak ada kendaraan umum untuk mencapai telaga Ngebel. Maka dari itu, masyarakat lebih banyak membawa kendaraan pribadi, baik mobi ataupun sepeda motor.