Jelang akhir bulan Desember tahun lalu saya menyempatkan diri untuk mengunjungi keluarga kedua di Ponorogo. Meskipun saya asli Betawi, tapi saya menemukan “rumah kedua” di bumi Reog tersebut. Hal ini dikarenakan oleh pengalaman saya yang pernah menyantri dan mengabdi di sebuah Ponpes.
Tak ayal, saya pun menggunakan kesempatan untuk cuti dengan sebaik-baiknya. Saya pikir akan mubazir jika tidak saya pergunakan. Berbekal meesan tiket kereta api yang nyaris habis, niat naik dari stasiun pasar Senen, malah mendapatkan tiket berangkat dari stasiun Gambir.
Ya, jangan dikira saat itu saya tak mengecek bolak-balik aplikasi booking tiket secara online. Justru karena saking seringnya, sehingga saya mantapkan niat untuk segera mengemas keperluan melancong.
Hari yang ditunggu pun tiba, saya menyewa ojek online untuk bisa sampai di stasiun Gambir. Tiba disana tepat 1 jam lebih sebelum jadwal pukul 15.00 wib. Perjalanan memakan waktu hingga 10 jam.
Oleh karena di Ponorogo tidak ada stasiun besar, maka saya pun harus rela transit di Madiun. Durasi 10 jam terhitung sejak pukul 15.00 wib akan tiba di Madiun pukul 1.00 dinihari, hal ini sudah saya antisipasi melalui booking penginapan, agar saya bisa beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Ponorogo.
Perjalanan cukup menyenangkan, meskipun tidak ada pemandangan yang bisa saya nikmati dari balik jendela, hanya romansa malam di langitnya yang gelap. Namun begitu, saya masih tetap bisa membaca buku yang sengaja disiapkan dari rumah.
Ya, dalam semalam satu buku saya baca. Selebihnya jika saya mengantuk, saya tertidur, namun terbangun lagi. Tidur pun tak nyenyak rasanya, kemudian saya alihkan untuk mendengarkan musik dari playlist di ponsel.
Waktu berlalu, kereta api memasuki stasiun Madiun. Keluar stasiun saya memilih becak untuk mengantar saya ke penginapan. Tapi keberuntungan tak saya dapat tat kala penginapan yang sudah saya booking dari Jakarta menutup dan menggembok rapat pintu gerbang.
Tidak putus asa, saya minta bapak pengayuh becak untuk kembali mengantar saya mencari penginapan lain. Hanya beberapa kilometer dari penginapan itu, saya temukan hotel di pinggir jalan raya, dan yang bertugas juga bersiaga menerima tamu.
Waktu menunjukkan pukul 2.30 wib saat itu, dan saya baru bisa merebahkan badan setelah melalui perjalanan panjang.
Pagi hari di kota Gadis, Madiun
Cuaca yang cerah di sekitar penginapan yang terletak di tengah kota Madiun. Pagi itu saya berniat untuk mencari sarapan. Ternyata di halaman depan hotel tersebut malah memiliki warung makan, yang saya asumsikan sebagai bagian dari fasilitas bagi tamu yang menginginkan pelayanan lengkap disana, termasuk makan.
Saya masuk ke dalam dan memesan soto campur (nasi disajikan langsung di dalam mangkuk soto) beserta secangkir kopi kepada si ibu yang sedang menyiapkan sarapan, mungkin untuk tamu yang lain.
Puas memotret, saya kembali ke kamar untuk bersantai, tapi ternyata saya malah ingin mengobrol dengan staf yang sedang membersihkan kamar disamping kamar saya. Banyak hal yang saya tanyakan kepadanya, termasuk usia hotel yang sudah mencapai belasan tahun.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 wib, saya langsung bersiap mengemas barang untuk melanjutkan ke tujuan yang sebenarnya.
Setelah chek-out, saya bertanya kepada petugas hotel arah untuk menunggu bus jurusan Ponorogo.
----------
Dengan becak, sampailah saya di sebuah halte untuk menunggu bus mini tujuan Ponorogo. Kurang lebih 20 menit, bus yang ditunggu pun datang, bersyukur masih ada kursi kosong yang bisa saya tempati.
Jarak Madiun – Ponorogo yang berkisar 30 km atau setara dengan 45 menit. Lalu lintasnya cukup lancar, hanya berhenti untuk menaiki dan menurunkan penumpang. Oh ya, ongkos yang saya keluarkan hanya Rp.8.000,- saja, dan tebilang masih murah jika dibandingkan dengan 8 tahun lalu saat saya masih tinggal di Ponorogo.
Setelah bernego harga dan sepakat, saya diantar si bapak ke tempat tujuan dengan jarak sekitar 20 km. Siang yang terik, padahal Ponorogo dikelilingi oleh pegunungan, namun tak mengubah hawa menjadi sejuk.
Ya, kota Ponorogo berbatasan dengan Pacitan dan Trenggalek. Untuk berkunjung ke dua kota tersebut kita perlu melewati pegunungan terlbih dahulu.
Ponorogo, Aku Kembali
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, bahwa Ponorogo menjadi rumah kedua. 8 tahun bukan waktu yang singkat untuk dapat menggali kenangan-kenangan manis nan indah yang pernah saya alami di kota ini.
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengunjungi Kyai dan Bu Nyai. Setelah membayar ongkos, saya masuk melalui pintu samping rumah pak Kyai. Salah seorang sohib tercengang melihat kedatangan saya yang tiba-tiba.
“Ibu... lihat siapa yang datang, ada tamu dari jauh..”, begitu kalimat yang pertama saya dengar. Ibu (panggilan saya kepada Bu Nyai) takjub melihat saya bersimpuh mencium tangannya serta memeluk erat sebagai simbol rasa rindu yang lama terpendam.
Hidung saya ditarik, sambil berkata ‘kok dateng ndak bilang-bilang to Na”, saya cengar cengir bahagia. Bersimpuh didepan beliau yang sedang memangku cucunya bernama Zafran.
Kami bertukar kisah sambil bermain dengan kedua cucu lelakinya (Ghizra dan Zafran) kami tertawa dan mengulang cerita lama. Bahagia rasanya melihat beliau sehat-sehat saja, begitupun dengan pak Kyai yang masih sakit dan dalam tahap penyembuhan (semoga Allah mengangkat penyakitnya).
Menjelang sore, ibu meminjamkan motor agar saya bisa sampai ke desa Joresan, rumah mbah (ibunda Bu Nyai). Di rumah inilah saya dan dua kawan lainnya tinggal untuk mengabdi pada tahun 2007 – 2008 silam.
Keadaan desa tersebut tak jauh berubah sejak beberapa tahun lalu, namun yang paling mencolok adalah bidang usaha yang dimiliki beberapa warganya tampak berkembang maju.
Rumah Kedua
Mengucap salam sambil memasuki rumah, say melihat dua orangtua tengah bercengkrama di ruang makan. Mbah menoleh dan belum menyadari sosok saya yang lama “menghilang”.
Ini Una, Mbah. Ya Allah.... lirih beliau. Kami berpelukan, saya melihat ada air mata diujung matanya. Mbah Rahman dan Mbah Izzah yang sedang mengobrol. Suasana hati dan rumah mengharu biru, saya duduk bergabung, bercerita tentang kabar dan kegiatan.
Waktu magrib pun tiba, saya salat di kamar Mbah. Setelah selesai, Mbah meminta saya untuk bermalam di rumahnya.
Waktunya Berpetualang
Hari berikutnya, saya menggunakan waktu untuk bertemu dengan teman-teman yang dulu masih mengajar di lembaga Pendidikan. Kalau dulu hanya setara PAUD, kini lembaga Pendidikan memiliki MI (madrasah ibtidaiyah) yang akan meluluskan angkatan pertama tahun ajaran ini.
Bernostalgia artinya menyegarkan ingatan tentang kisah-kisah indah yang pernah dialami. Dan saya melakukannya selama berada disana. Tak sia-sia, dari nostalgia tersebut, akhirnya kami bersepakat untuk mengunjungi daerah wisata andalan kota Ponorogo, yaitu Telaga Ngebel.
Hari yang ditentukan, kami berangkat bersama menuju telaga Ngebel. Dengan berkendara mobil, saya dan tiga orang kawan yang membawa anak-anaknya serta suami salah satu dari mereka sebagai pengemudi.
Dikarenakan sudah lama tak menjajal jalan-jalan ke daerah pegunungan yang berkelok, saya mual dibuatnya, kepala terasa pening. Maklum saja, bertahun-tahun tak pernah lagi menikmati jalan yang aduhai seperti petualangan saya ke telaga Ngebel.
Ponorogo tetap Mempesona dengan Panorama Alam yang Indah
Kami hanya perlu membayar tiket masuk sejumlah Rp.15.000,-/orang. Mobil melaju sedang sementara kaca mobil telah dibuka, udara segar pun keluar masuk bergantian. Kami mencari lahan parkir yang tak jauh dari tempat yang mudah kami jangkau untuk bersantai.
Yang disayangkan adalah tidak ada kendaraan umum untuk mencapai telaga Ngebel. Maka dari itu, masyarakat lebih banyak membawa kendaraan pribadi, baik mobi ataupun sepeda motor.
Masyarakat Ponorogo tampak asyik menikmati wisata alam yang tersaji dengan indah. Dulu sekali, belum ada fasilitas untuk bermain. Hanya ada kuliner yang khas, seperti durian Ngebel yang fenomenal, sate kelinci, dan lain-lain.
Saya pun berusaha menikmati “pergantian udara Jakarta dengan udara Ngebel” – inilah yang jadi momentumnya! Mengingat udara yang masih terjaga, menjadikan saya sebagai pemburu udara segar. Angin kencang menampar wajah saya, suara riak air telaga menjadi melodi, tawa riang anak-anak menjadi syair dalam benak saya.
Selain telaga Ngebel, Ponorogo juga memiliki beberapa tujuan wisata alam lainnya, seperti: Taman Wisata Ngembag, air terjun Pletuk, air terjun Juruk Klenteng, Gua Lowo, dan lain-lain.
Hari menjelang sore, dan kami bersiap untuk pulang.
Pembangunan Waduk menjadi Tujuan Wisata Murmer (murah meriah)
Ibu memberi tahu bahwa ada wilayah di kecamatan Mlarak yang sedang ramai dikunjungi oleh warganya. Biasanya ibu pergi kesana saat pagi hari untuk sekedar jalan dan berolahraga, dengan mengajak serta pak Kyai. Udara yang bersih sangat membantu bagi kesehatan beliau.
Kedua anak asuh Mbah sudah tak lagi tinggal di rumah, mereka pulang ke rumah orang tua masing-masing. Sekarang Mbah ditemani oleh kerabat ibu, Yuli namanya. Yuli bertugas di rumah, selain mengajar di Paud, Yuli juga kuliah di tingkat 6.
Waktu pun ditentukan. Di hari akhir, Yuli mengantar saya berkeliling desa Candi. Ternyata yang saya dengar dari ibu dan Yuli memang benar. Kawasan pembangunan waduk telihat ramai oleh warga setempat, baik warga dari desa setempat atau di luar desa Candi.
Prinsip orang desa untuk berbahagia itu mudah, hanya menikmati dan mensyukuri yang ada di sekitar saja. Bagi mereka, tak perlu ke kota untuk mencari bahagia, karena sumber kebahagiaan ada di hati setiap manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H