Menjadi Duta bagi Budaya Sendiri
Secara pribadi, saya bangga menjadi puteri Betawi dengan berbagai macam kekhasan yang ada didalamnya. Namun, tidak jarang saya menemukan banyak pemuda, pemudi atau bahkan sesepuh Betawi yang melupakan jati dirinya sendiri sebagai warga Betawi. Mereka mulai melupakan adat istiadat yang sudah sejak lama ada, bahkan jauh sebelum ayah dan ibu mereka lahir.
Untuk mereka, Betawi adalah satu nama yang terdengar kampungan. Ya memang, sebelum Jakarta menjadi ibu kota, tanah Betawi secara menyeluruh adalah manifestasi dari kampung-kampung kecil, tersebar di seluruh sudut Batavia. Meskipun kampung, Betawi mengalami metamorfosis menjadi kota metropolitan dan ibu kota negeri Indonesia. Mungkin karena itulah, generasi muda Betawi merasa malu dan tidak percaya diri jika sejatinya Betawi adalah budaya yang berasal dari kampung.
Banyak teman saya tidak menyangka bahwa saya seorang Betawi tulen, hal ini dikarenakan beberapa alasan, seperti: raut wajah, logat bahasa, dan karakter. Saya tertawa setiap kali teman-teman saya menyampaikan alasannya. Saya belum merasa perlu untuk memastikan kesejatian diri yang seorang Betawi tulen, cukup senyum simpul saja dan menceritakan sepenggal kisah tentang keluarga besar saya.
Lebaran Betawi Penuh dengan Kemeriahan
Suasana meriah dan pengunjung yang tumpah ruah menjadi objek foto yang indah, saya menikmati setiap momennya. Jika pun harus berdansa dengan ondel-ondel saya pun mau! Tapi sayangnya, ondel-ondel sudah punya pasangan sendiri, hehe...
Kala itu, atraksi ondel-ondel juga turut memeriahkan acara, dari warga biasa yang datang bersama sanak keluarga, awak media cetak dan elektronik sampai wisatawan dari mancanegara turut hanyut dalam acara tahunan tersebut.
Disamping pertunjukan kesenian musik, lebaran Betawi tak ubahnya seperti festival. Para pengunjung dimanjakan dengan macam-macam kuliner khas Betawi. Seperti wajik, kerak telor, geplak, dodol, bir pletok adalah sederetan kuliner yang tersaji di beberapa stand khusus. Selain itu, gado-gado, ketoprak, pecel sayur, soto, aneka gorengan, kue kering dan basah, jus, dan lain-lain dapat menjadi pilihan alternatif untuk disantap di tempat atau dibawa pulang.
Keenam rumah adat dibangun semi permanen dengan menggunakan balok kayu, bambu, papan, dan lain-lain. Semua terlihat indah dan mempesona, tak sedikit satu halaman rumah dipenuhi oleh para pengunjung yang ingin berfoto, baik selfie atau meminta tolong pengunjung lain. Setiap rumah adat mempunyai ciri khas, seperti Jakarta Barat sebagai Kampung Kembang dengan Rawa Belong, tata letak taman dibuat semegah mungkin dengan aneka bunga di berbagai sudut. Jakarta Timur dengan icon Rumah Pitung yang dicat warna cokelat, kita diajak untuk mengenang pahlawan Betawi yang iconic itu saat melawan kompeni. Dan halaman rumah Kebaya dari Kepulauan Seribu yang “memarkir” speed boat beserta dua menekin yang seperti siap mengajak para pengunjung untuk berkeliling pulau-pulau yang eksotik disana, saat saya memasuki area tersebut sebuah booklet tentang destinasi wisata bahari pun diberikan secara cuma-cuma.
Saya juga melihat betapa pihak panitia penyelenggara sangat menjaga kebersamaan dalam mensukseskan acara ini. Meskipun ramai dikunjungi pengunjung, namun bapak-bapak petugas kebersihan dengan sigap membersihkan area yang kotor oleh sampah. Disetiap sudut lapangan dan rumah adat juga disediakan tempat sampah dari plastik. Tapi yang sangat disayangkan adalah, tidak ada petunjuk bagi pengunjung untuk bisa mencicipi kuliner yang terhidang di setiap rumah adat, sehingga tidak ada kesempatan untuk beramah tamah antara pengunjung dan pembuat makanan atau minuman agar pengunjung bisa bertanya-tanya tentang cara pembuatan dan penyajian.