Saya baru kali pertama hadir dan menyaksikan dari dekat hajatan akbar yang diadakan setiap tahun oleh masyarakat Betawi, meskipun saya terlahir sebagai anak Betawi asli, tapi saya baru berkesempatan untuk ikut serta hadir di acara yang pada tahun ini bertempat di lapangan banteng Jakarta Pusat. Seperti kebanyakan suku-suku lain yang tersebar di Indonesia, khususnya suku-suku yang beragama Islam. Mereka juga memilki tradisi untuk merayakan lebaran adat sebagai rangkaian dari lebaran Idul Fitri.
Lebaran Betawi digelar selama dua hari telah memasuki tahun ke-9, lebaran ini dilaksanakan pada hari Sabtu – Minggu, 13 – 14 Agustus. Acara ini disambut oleh antusiasme warga Ibu Kota, saat saya tiba disana pemandangan luar biasa pun saya abadikan. Pagi itu, hari Sabtu Lebaran Betawi diawali oleh pelantikan pengurus Departemen Badan Musyawarah Betawi atau yang disingkat dengan BAMUS Betawi masa bakti 2016 – 2018. H. Zainudin, MA selaku ketua BAMUS Betawi berkesempatan untuk melantik para pengurus.
Para tokoh undangan yang hadir diantaranya; Rizal Ramli, Lulung Lunggana, dan Nachrowi Ramli. Acara pelantikan berlangsung khidmat, kemudian acara dilanjutkan oleh beragam kesenian seperti penampilan grup musik tradisional Betawi.
Sekilas tentang Badan Musyawarah Betawi
Sebagai organisasi masyarakat, BAMUS Betawi diharapkan tidak bersifat eksklusif dan hanya mementingkan golongan. Lebih dari itu, BAMUS Betawi harus mampu menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu kelompok masyarakat yang mendukung program-program pemerintah Indonesia di segala bidang, terutama program-program yang dibuat demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Saya sebagai perempuan yang lahir, besar, dan berkhidmat di tanah Betawi, memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana para putera dan puteri betawi lainnya. Kami bergerak untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, kami bergerak untuk Indonesia, kami bergerak untuk bangsa kami.
Budaya Betawi Menyatukan Perbedaan
Saya yakin bahwa masyarakat sudah banyak yang tahu pula bahwa budaya Betawi telah lahir dan hidup sampai sekarang karena percampuran budaya, seperti budaya Tionghoa dan Arab. Jika kita lihat secara seksama, ondel-ondel dan beberapa alat musik merupakan hasil “perkawinan” budaya Tionghoa dan Betawi. Aksesoris dan penampilan ondel-ondel memiliki kesamaan sebagaimana yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa di tanah Betawi.
Alat musik tekyan yang dipakai untuk mengiringi gambang kromong juga merupakan alat musik tradisional masyarakat Tionghoa. Saya pernah berkunjung ke rumah salah satu pembuat alat musik tekyan di kawasan Cina Benteng Tangerang, usaha tersebut telah menjadi warisan keluarga secara turun temurun.
Pakaian pengantin adat Betawi pun tak jauh beda dengan pakaian pengantin adat Tionghoa dan Arab, keduanya mewujud dalam balutan yang indah. Pakaian pengantin pria seperti gamis, pakaian yang biasa dipakai pria Arab, dilengkapi dengan penutup kepala yang khas. Sedangkan pakaian pengantin wanita, memiliki aksesoris seperti wanita Tionghoa pada umumnya, dengan pernak-pernik mahkota khas yang diadopsi dari budaya Tionghoa.