Pernahkah membaca buku perjalanan kisah Umar bin Khattab?Â
Atau mendengarkan satu dua kisahnya melalui kajian yang diadakan oleh para asatidz?
Rasulullah Saw menyebutnya Al Farruq, artinya yang memisahkan atau membedakan.
Umar bin Khattab pada masa hidupnya pernah menjadi musuh Islam yang utama, sampai sampai Rasulullah pernah berdoa agar salah satu Umar, antara Umar bin Khattab atau 'Amr bin Hisyam (Abu Jahal) masuk Islam, dengan harapan jika akan memperkuat Islam. Allah mengabulkan dengan membuat Umar merasakan hidayah-Nya.
Dan benarlah, dengan berani ia ke depan Kakbah dan mengumumkan keIslamannya. Kali ini, musuh Islam mendapatkan 'lawan' yang seimbang.
Dan dalam masa menerima Wahyu, seringkali Umar bin Khattab menjadi perantara turunnya Wahyu seperti ayat pelarangan khamar.
Berbeda dengan Abu Bakar yang sejak belia adalah pria baik-baik seperti Rasulullah, Umar Ra kebalikannya.
Setelah memeluk Islam, ia senantiasa menyesali dirinya semasa jahiliah yang sangat suka mabuk-mabukan, sembari terus berdoa agar diampuni dan berharap agar ayat pengharaman segera turun. Setelahnya Allah Ta'ala menurunkan ayat pelarangan minuman keras.
Pun ada beberapa Wahyu lainnya yang turun karena pendapat Umar bin Khattab karena ketegasannya sikapnya.
Mungkin kisah kisah betapa tegasnya Umar bin Khattab sudah banyak kita dengar.Â
Kali ini, izinkan saya menceritakan satu kisah bersahaja seorang Umar di masa kekhalifahannya, sepeninggal Abu Bakar Asshiddiq.
Malam menjelang, seperti biasa setiap malam, Al Faruq berkeliling memantau keadaan rakyatnya.Â
Pernah suatu ketika ia menemukan seorang anak yang kelaparan dan Ibunya dengan tegas hanya memberi makanan halal untuk masuk ke perut anaknya. Yang kemudian hari dari keluarga ini lahir Umar kedua, Umar bin Abdul Aziz.Â
Ada cerita tersendiri, dan ini menarik karena pada masanya tidak ada seorangpun yang mau menerima zakat, semua ingin menjadi Muzakki karena kemakmuran hidup hasil pengelolaan zakat. Lain waktu Insyaallah akan saya ceritakan.
Kembali ke cerita Umar bin Khattab.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Umar bin Khattab kembali berkeliling sendiri, tanpa pengawal yang mendampingi, tanpa publikasi. Ia takut, masih ada warganya yang sedang mengalami kesulitan.
Tampak dari kejauhan ada sebuah kemah berdiri. Setelah dekat, tahulah Umar bahwa itu adalah seorang Arab Badui yang baru saja menyelesaikan pendirian tendanya. Dari arah dalam, terdengar suara tangis seorang wanita menahan sakit.
Umar datang dan menyapa,
"Wahai Rojul (baca : lelaki) Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku sedang melakukan perjalanan, karena kemalaman aku mendirikan tenda disini, mengingat tidak memiliki satupun saudara."
"Oh begitu," Umar kembali bertanya, "lalu siapa yang sedang menangis sambil meringis menahan sakit?"
Sang Arab Badui yang tidak mengenali Khalifah Umar pun agak terganggu dengan keingintahuan beliau, "itu bukan urusanmu wahai rojul, sebaiknya engkau pergi saja." Zaman dahulu tentu saja tidak semudah zaman sekarang yang mengetahui pimpinan negeri melalui media.
Umar yang kepeduliannya begitu tinggi tetap membujuk si Badui, "bisakah kau ceritakan kesulitan yang kau alami wahai saudaraku, siapa tahu, aku bisa membantu."
Sang Badui yang sudah kelelahan memutuskan untuk bercerita, "baiklah jika kau memaksa. Di dalam adalah istriku, ia kesakitan karena hendak melahirkan. Aku tidak mengenal seorangpun disini, maka, setelah mendirikan tenda ini kubiarkan saja ia menangis. Aku tidak tahu cara menghadapinya."
Umar tertegun, merasa kasihan dengan para musafir ini.
"Kalau begitu, mau kah kau menerima bantuan ku? Aku akan memanggil wanita Madinah untuk membantu persalinan istrimu."
Sang Badui pun tersenyum cerah, "dengan senang hati, aku akan menerima bantuanmu."
Umar bin Khattab pun bergegas meninggalkan si Badui. Bukan mengetuk pintu pegawainya, bukan mengetuk pintu tabib ataupun bidan.
Melainkan, pulang ke rumahnya.Â
Membangunkan sang istri yang pada saat itu ialah Ummu Kulsum bin Ali bin Abi Thalib.
"Wahai cucu Rasulullah, apakah kau mau mendapatkan pahala seorang muslimah yang hendak melahirkan tapi tidak ada seorang pun yang membantu."
Segera saja Ummu kulsum bin Ali menjawab, "tentu saja wahai suamiku."
Yang perlu diketahui disini, para Syiah, Â hanya mengagungkan Ali Ra dan tidak mengakui sahabat nabi yang lain, tentu saja menganggap bahwa Anak Ali Ra, cucu Rasulullah tidak pernah ada yang menikah dengan Umar bin Khattab.
Maka, bergegaslah pasangan Khalifah dan istrinya, istilahnya Raja dan Ratu masa itu menembus malam untuk kembali ke kemah keluarga Badui. Kebetulan semua wanita pada masa ini memiliki kemampuan untuk menolong melahirkan.
Ringkas cerita, masuklah Ummu Kulsum membantu istri sang Badui. Sedangkan sang suami Umar bin Khattab kembali duduk dan berbincang dengan si Badui.
Tak berapa lama, terdengarlah suara tangisan bayi memecah keheningan malam. Sang Badui tersenyum bahagia, sambil memeluk Umar bin Khattab.
"Wahai Amirul mukminin, beritahukan kepada lelaki di sebelah mu, bahwa istri dan anaknya telah lahir dan selamat. Suruh lah ia masuk untuk melihat sang anak." Terdengar suara Ummu Kalsum memberitahu.
Demi mendengar kalimat 'amirul mukmin' sang Badui terkesiap melepas pelukan dan langsung duduk di bawah, "apakah engkau Umar, sang Khalifah?"
"Iya, aku adalah Khalifah dan yang membantu istrimu di dalam adalah, istriku dan cucu Rasulullah Saw."
Sang Badui memucat, tidak dapat berkata apapun, "maafkan aku yang telah merepotkan dan tidak menghormatimu sejak tadi wahai Amirul Mukmin." Ujarnya penuh sesal.
"Tidak perlu seperti itu saudaraku, seorang muslim yang membutuhkan bantuan wajib ditolong oleh muslim lainnya."
"Besok datanglah ke Madinah, aku akan memberikan hakmu sebagai masyarakat Madinah." Tutup Umar.
Apa yang mendorong Umar melakukan hal tersebut? Membantu masyarakat biasa di tengah malam, mau bersusah-susah membangunkan istri daripada mengetuk rumah para penasihatnya? Para pegawainya?
Jawabannya karena iman dan ingin menjalankan suatu hadist nabi,
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya."
Disaat zaman ini kita sering pura pura tuli dan buta dengan keadaan sekitar. 1400 tahun lalu, para manusia yang sudah dijamin masuk surga masih meluangkan waktunya hingga malam hari untuk mencari orang yang membutuhkannya.Â
Mencari pahala besar menuju Surga dengan memudahkan urusan saudara muslim lainnya.
Semoga kita mampu meneladani para generasi Islam terbaik di masa lampau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H