Mohon tunggu...
tresna dewi kharisma
tresna dewi kharisma Mohon Tunggu... Lainnya - pemerhati masalah keumatan

nothing worse than being ordinary

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Mengurai Benang Kusut Tingginya Tarif Terbang: Tata Ulang Basis Pengelolaan Transportasi dengan Syariah

15 Juli 2020   16:09 Diperbarui: 15 Juli 2020   16:16 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang lebaran, biasanya masyarakat Indonesia mengeluhkan harga kebutuhan bahan pokok yang mahal. Namun lebaran beberapa tahum kemarin masyarakat justru mengeluhkan harga tiket penerbangan yang mahal. Padahal pesawat merupakan transportasi yang penting. 

Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, jika sebuah perjalanan dilakukan melalui darat atau laut maka akan memakan waktu yang lama, oleh sebab itu dengan dengan adanya pesawat maka dapat mempermudah masyarakat dalam menyingkat waktu perjalanan. Dengan menggunakan pesawat kita dapat menembus waktu untuk lebih awal. Begitulah adanya teknologi modern, ada untuk memudahkan.

Namun bagaimana bila akses yang memudahkan tadi kini dijegal untuk meraup kepentingan sekelompok orang. Dilansir dari kompas.com, Association of the Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA) Riau, mengeluhkan banyak masyarakat membatalkan paket wisata yang sudah dipesan lewat travel agent, karena masih mahalnya harga tiket pesawat. 

Tak hanya maskapai penerbangan di Riau, hampir seluruh Indonesia mengalami hal yang sama. Bahkan di musim mudik dan libur lebaran lalu banyak bandara di sejumlah kota pariwisata sepi seperti bandara Solo, Malang,  bahkan penerbangan di bandara Batam mengalami pembatalan tiket sebanyak 6 penerbangan (tribunbatam.id). 

Bandara Trunojoyo Madura, Bandara Internasional Minangkabau Padang Pariaman, Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh,dan Bandara Ahmad Yani Semarang pun mengalami nasib yang sama.

 Kenaikan biaya tiket pesawat terjadi semenjak akhir tahun 2018 hingga sekarang. Ongkos yang harus dibayarkan sudah melampaui jangkauan masyarakat. Seperti rute Jakarta-Padang di tanggal 28 Mei hingga 3 Juni 2019 sold out dan tersisa tanggal 4 Juni Rp 4,6 Juta, dan Jakarta-Medan dengan maskapai Garuda yang tersisa kelas bisnis dengan harga Rp 9.942.600 (detik.com). 

Sementara daya beli masyarakat Rp 1 juta-1,5 juta berdasarkan hasil riset LM FEB UI terhadap Affordability to Pay (ATP/ Keterjangkauan untuk Membayar) dan Willingness to Pay (WTP/ Kesediaan untuk Membayar) (detik.com). Harga ini melebihi harga tiket ke luar negeri. Sementara harga tiket angkutan kereta api, bis dan kapal juga tidak dapat dikatakan murah.

Menanggapi mahalnya tiket pesawat, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa persoalan harga tiket bukanlah tanggung jawabnya dan institusi yang ia pimpin. Menurut beliau, yang menjadi urusannya adalah mengatur Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB). 

Sebagimana pernyataan ini dilansir dalam suara.com pada 17 Juni 2019. "(Mahalnya harga) Tiket itu bukan urusan saya. Jadi urusan dari airlines-nya," ujar Budi Karya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/6/2019).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Tallatof mengungkapkan dampak kenaikan harga tiket pesawat berpotensi menyeret pertumbuhan ekonomi kuartal I 2019. Pasalnya, kenaikan harga tiket pesawat akan berpengaruh pada sejumlah sektor ekonomi mulai dari pariwisata, transportasi, logistik, hingga ritel. 

Di sektor pariwisata, kenaikan harga tiket pesawat akan menekan jumlah wisatawan domestik. Kondisi ini akan berpengaruh pada bisnis perhotelan dan penjualan oleh-oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di destinasi pariwisata. Kemudian di sektor logistik, pelaku mengeluh karena biaya pengiriman barang semakin mahal. 

Biaya tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Meksipun ada opsi pengiriman melalui laut, waktu perjalanan yang ditempuh akan semakin lama. Selain itu, biayanya bisa lebih tinggi dari logistik udara karena infrastrukturnya masih terbatas. 

Perusahaan harus menyediakan transportasi lanjutan melalui darat. Di sektor ritel, tingginya biaya pengiriman bisa menekan permintaan masyarakat, terutama pada produk yang dijual melalui market place. Karena mahalnya biaya ongkos kirim konsumen jadi menunda untuk membeli.

Beragam Opini yang Dikemukakan tentang Penyebab Mahalnya Tiket "Terbang"

Beragam pendapat telah banyak dikemukakan tentang penyebab naiknya tarif tiket pesawat baik dari kalangan pemerintah, pihak maskapai, analis ekonomi, asosiasi perusahaan penerbangan dan pihak lain yang terkait dengan pengelolaan moda transportasi udara.

Presiden Joko Widodo menuding tingginya harga avtur disebabkan monopoli oleh Pertamina sebagai faktor utama. "Kalau ini diteruskan ya nanti pengaruhnya ke apa? Ke harga tiket pesawat karena harga avtur itu menyangkut 40 persen dari cost yang ada di tiket pesawat," ucap Jokowi, seperti dilansir laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (https://tirto.id/avtur-jadi-biang-keladi-mahalnya-tiket-pesawat-tepatkah-dgQB). Namun, apakah pernyataan Jokowi akurat?

 Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, harga avtur Indonesia masih kompetitif sehingga tidak tepat menyalahkan Pertamina atas tingginya harga tiket pesawat Apalagi jika Jokowi mendorong Pertamina untuk menurunkan harga Avtur (tirto.id). Apalagi Pertamina mengalami penurunan laba dari Rp.26,8 triliun menjadi Rp5 triliun pada kuartal III/2018. 

Sementara itu Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA), I Gusti Ngurah Ari Askhara Danadiputra mengatakan bahwa harga avtur memang tidak berdampak mutlak pada kenaikan harga tiket. Pasalnya biaya sewa operasional lain seperti sewa pesawat, perawatan dan lain-lain memang menjadi lebih tinggi di tengah nilai tukar dolar Amerika Serikat. 

Setidaknya ada dua hal yang terdampak dari lemahnya posisi rupiah terhadap dolar AS: Avtur yang mengalami kenaikan 125 persen dan biaya leasing pesawat yang menggunakan dolar Amerika. Biaya leasing pesawat memakan porsi sekitar 20 persen dari pengeluaran maskapai.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics Finance (INDEF) ,Didik J. Rachbini , mengaitkan mahalnya tiket pesawat dengan kembali hidupnya praktek kartel yang sebelumnya mati suri. Hal itu seperti terlihat dari mekanisme harga-harga yang disinkronisasi secara duopoli oleh pelaku usaha. 

Sementara itu, Ekonom Senior INDEF lainnya Nawir Messi berpendapat, mahalnya tarif tiket pesawat disebabkan oleh masih terjadinya penyesuaian-penyesuaian harga yang menyebabkan hilangnya kompetisi di pasar maskapai domestik. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan pola perubahan harga penerbangan. Yakni, ketika satu maskapai menaikkan harga, maskapai lain mengikuti. Sebaliknya, jika satu maskapai menurunkan, yang lainnya akan ikut turun.

Sehingga, harga tidak pernah stabil. Inilah yang kemudian berupaya disimpulkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU menyebut masih mengumpulkan bukti terkait dugaan persaingan usaha yang tak sehat dalam penentuan harga tiket pesawat. Sebab, industri pesawat saat ini bersifat duopoli atau penguasaan pasar oleh dua perusahaan. Seperti diketahui bahwa bisnis penerbangan dalam negeri dikuasi oleh dua grup perusahaan yakni Garuda Indonesia Grup dan Lion Air Grup.

Garuda Indonesia membawahi Citilink Indonesia dan Sriwijaya Air sedangkan Lion Air Group memiliki beberapa anak usaha seperti Batik Air, Wings Air, Thai Lion Air, dan Malindo Air. Timbul dugaan bahwa dua perusahaan penerbangan ini memiliki kesepakatan mengenai harga yang beredar.

Di sisi lain, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) berdalih bahwa mereka tidak menaikkan harga. Yang mereka lakukan adalah menggeser atau menyesuaikan harga yang masih dalam rentang Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Meskipun pada kenyataannya, hal ini berpengaruh pada daya beli masyarakat yang menurun sebesar 27%. Jika pun ada maskapai yang untung, labanya akan sangat tipis.

Sementara Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mengatakan kenaikan harga tiket pesawat masih berada di bawah tarif batas atas. Ia menilai, justru harga tiket pesawat tengah kembali ke level normal, lantaran beberapa tahun terakhir terjadi perang harga antar maskapai penerbangan. Begitu harganya normal jadi seolah-olah tinggi. (https://ekbis.sindonews.com/read/1369909/34/budi-karya-jelaskan-alasan-kenaikan-harga-tiket-pesawat-1547297563)

Kritik Terhadap Berbagai Jurus Menurunkan Harga Tiket Pesawat

Berbagai cara dilakukan maskapai dan pemerintah untuk meredam protes keras dari harga tiket pesawat yang mahal. Mulai dari promo, revisi tarif hingga diskon pajak.

Langkah Pemerintah secara ringkas bisa disimpulkan sebagai berikut:

  • Kemenhub merevisi aturan tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) angkutan udara dengan menurunkan TBA di kisaran 12-16 persen (lihat di lampiran). Meski begitu, aturan yang mulai berlaku pada Mei 2019 tersebut ternyata tidak signifikan meredam polemik harga tiket pesawat. Masyarakat masih menilai harga tiket pesawat saat ini masih terbilang mahal. Langkah ini merupakan langkah reaktif yang dilakukan saat sudah terjadi kegaduhan di masyarakat, pasalnya 3 tahun setelah formulasi aturan TBA dan TBB belum pernah dievaluasi. Selain itu, dengan adanya penerapan aturan baru ini belum bisa menjamin secara praktik maskapai patuh. Faktanya semua maskapai telah menerapkan tarif tinggi, rata-rata di atas 100 persen dari tarif batas bawah. Karena itu turunnya TBA tidak akan mampu menggerus masih tingginya harga tiket pesawat dan tidak akan mampu mengembalikan fenomena tiket pesawat murah. Bahkan dengan adanya kebijakan ini berpeluang ditutupnya oleh makskapai rute penerbangan yang dianggap tidak menguntungkan atau setidaknya mengurangi jumlah frekwensi penerbangannya. Jika hal ini terjadi maka akses penerbangan banyak yang collaps, khususnya Indonesia bagian Timur, di remote area, sehingga Publik akan kesulitan mendapatkan akses penerbangan.
  • Mengundang maskapai asing masuk dalam kompetisi. Logika pemerintah jika banyak maskapai maka harga tiket akan murah karena tidak lagi terjadi  duopoli. Inilah kebijakan rezim kapitalis yang memperlakukan transportasi udara layaknya industri barang-barang komersil yang berharap harga turun karena persaingan pasar. Padahal ada konsekuensi besar di baik kebijakan ini. Pertama, kehadiran maskapai asing di Indonesia bisa jadi hanya melayani rute penerbangan yang populer dan menguntungkan (rute gemuk). maka pasar penerbangan akan dikuasai asing. Maskapai asing akan mengeksploitasi "langit" Nusantara. Kedua, maskapai asing tidak dapat disamakan dengan maskapai dalam negeri. Mereka didukung dengan kurs yang lebih kompetitif dari negara asalnya. Justru kehadiran maskapai asing justru malah dapat semakin menekan industri penerbangan nasional yang saat ini sudah banyak merugi. Ini tidak apple to apple antara maskapai asing dan dalam negeri. Struktur biaya maskapai kita dengan mereka beda.
  • Memberi diskon pajak kepada maskapai. Sebagian pengamat menilai diskon pajak ini akan mempengaruhi harga tiket agar turun. Beban pajak atas jasa sewa dan impor bisa mencapai 22,5 persen dari total biaya operasional maskapai. Langkah ini merupakan upaya otak atik biaya operasional  dan menggunakan kaidah "setidaknya". Walau diskon pajaknya bukan nol persen tapi setidaknya jika ada potongan pajak akan berpengaruh kepada penurunan biaya operasional maskapai. Ruh rezim kapitalis mustahil akan membebaskan pajak sepenuhnya karena mereka juga sebenarnya dilematis jika pajak terlalu besar potongannya atau bahkan dibebaskan bisa mendapatkan pemasukan dari mana lagi sementara utang kian melilit. Jika langkah ini fix diberlakukan, kemungkinan pemerintah akan mencari pos pemasukan lain untuk menutup potongan diskon pajak yang sudah diberikan. Bukan tidak mungkin kalau ujungnya rakyat yang akan diminta pungutan.
  •  Meminta Pertamina menurunkan harga avtur. Padahal menurut Pertamina harga tiket pesawat yang masih mahal tidak berkaitan dengan harga avtur. Alasannya, Pertamina telah menurunkan harga avtur sesuai dengan yang diperintahkan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Harga avtur yang dijualnya termasuk yang paling murah di Cengkareng. Lagipula Pertamina sendiri enggan menurunkannya kembali karena akan berdampak kepada laba perusahaan. Langkah ini menunjukkan betapa pemerintah dan Pertamina menghadapi buah simalakama. Pemerintah tidak bisa menaklukan Pertamina dalam menurunkan harga avtur karena Pertamina walau BUMN tapi hakikatnya bukan perusahaan milik negara yg sifatnya service oriented, namun profit oriented.

Adapun jurus yang dilakukan oleh maskapai adalah  dengan memberikan promo tiket. Hanya saja, euforia harga tiket promo tentunya tidak berlangsung lama. Belum lagi, jumlah kursi yang disediakan saat promo juga terbatas. Protes dari masyarakat akan harga tiket yang mahal tentu muncul kembali. kehadiran harga promo bukanlah solusi dalam menurunkan harga tiket pesawat yang mahal di Indonesia.

Menurut Direktur Indonesia Aviation Center, Arista Atmadjati, promo itu hanya sekadar gimmick (tipuan) dalam strategi marketing maskapai. Sudah segala terbatas. Promo itu juga muncul saat low season, di mana permintaan akan jasa angkutan udara itu tidak besar. Alhasil, efeknya juga tidak signifikan bagi masyarakat ( https://tirto.id/pelbagai-jurus-menurunkan-harga-tiket-pesawat-ecVr.) 

Hakikatnya berbagai jurus yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan maskapai sebenarnya hanya menunjukkan kedangkalan mereka akan akar masalah problem yang dihadapi. Mereka hanya fokus pada ekses penyebab, bukan penyebab masalah itu sendiri sehingga solusi yang dilakukan hanyalah tambal sulam dan reaktif karena tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.

Semakin rezim bersikap anti Islam, memusuhi aturan Islam, maka semua urusan akan semakin runyam, bagai benang kusut yang sulit terurai. Tidak terselesaikan. Dan rezim yang bersikap anti Islam pasti akan mencari narasi-narasi yang membohongi masyarakat karena dia sendiri tidak tahu secara persis bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Biang Keladi  Meroketnya Tarif "Terbang"

Kisruh transportasi penerbangan yang terjadi akibat struktur kapitalisme hari ini adalah hal yang sangat menzolimi rakyat. Saling lempar tanggungjawab pun terjadi. Masing-masing instansi terkesan saling lempar bola tanggung jawab hingga menjadi lingkaran setan yang tak berujung. Pengabaian amanah ataupun pengkotak-kotakan tanggung jawab berujung pada terlantarnya pengurusan urusan rakyat.

Jokowi menghubungi Menteri Perhubungan (Menhub) untuk atasi harga tiket yang mahal. Menhub tak bisa mengurusi sendiri akhirnya mengadu ke Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian. Menhub mengaku pihaknya sudah cukup berupaya menurunkan harga tiket pesawat melalui aturan tarif batas atas dan bawah tapi harga tiket pesawat tak kunjung turun lalu  melempar persoalan pembentukan harga tiket pesawat ada di tangan Menteri BUMN, Rini Soemarno. 

Menteri Rini mengaku tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi dan menurunkan harga tiket pesawat (terutama Garuda Indonesia) sehingga persoalan dilempar balik kepada Menhub. Lalu Menhub karena merasa sudah melakukan pengaturan tarif batas atas yg bertujuan agar masyarakat tak mendapatkan harga tiket pesawat yang mahal dan tarif batas bawah guna mengatur persaingan korporasi penerbangan, maka apa yang terjadi adalah sebuah mekanisme pasar sehingga jangan dikatakan mahal. 

Masih juga masyarakt mempersoalkan mahalnya tiket akhirnya jawaban pamungkas Menhub menyatakan bahwa Kemenhub hanya mengatur harga batas atas dan bawah dalam moda transportasi udara itu. 

Selebihnya, lanjut dia, harga tiket pesawat merupakan kewenangan dari masing-masing maskapai penerbangan. Ini semua adalah bukti bahwa pemerintah angkat tangan dan berlepas diri mengatasi masalah mahalnya tiket pesawat. Lantas, siapa yang mesti bertanggung jawab?

Karut-marut transportasi umum di Indonesia dimulai dari kesalahan paradigma dasar berikut perangkat aturan yang muncul dari paradigma dasar tersebut. Transportasi bukanlah sekadar tehnik namun kesalahan sistemik. Paradigma salah tersebut bersumber dari paham sekularisme yang mengesampingkan aturan agama. 

Sekularisme yang melahirkan sistem kehidupan kapitalisme telah memandang dunia transportasi sebagai sebuah industri untuk bisnis. Cara pandang ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum transportasi dikuasai oleh perusahaan atau swasta yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis, bukan fungsi pelayanan.

Menurut pandangan kapitalis, dalam pelaksanaan pelayanan publik negara hanya berfungsi sebagai legislator, sedangkan yang bertindak sebagai operator diserahkan kepada mekanisme pasar. Layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam kaca mata komersil, akibatnya harga tiket transportasi publik mahal.

Jadi bila ditelisik secara mendalam, ternyata biang keladi meroketnya tarif tiket pesawat ini bukan semata-mata  karena praktik kartel, bukan juga karena mahalnya harga avtur, juga buka karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Biang keladinya adalah paradigma kapitalistik dalam pengelolaan transportasi publik. Sistem kehidupan batil ini telah menjadi ruang subur bagi prinsip batil pengelolaan transportasi publik neolib. Yakni, setidaknya ada dua. 

Pertama, transportasi udara jasa yang harus diliberalkan/dikomersilkan; Kedua, negara hanya regulator (baca: pelayan) bagi kepentingan korporasi. Sehingga seluruh aspek transportasi penerbangan berada dalam kendali korporasi. 

Korporasi plat merah maupun swasta murni. Baik alat angkutnya dalam hal ini pesawat, bahan bakar minyak penerbangan hingga infrastruktur penerbangan berupa bandar udara dengan segala kelengkapannya. Sehingga tentu saja tak cukup hanya dengan solusi teknis untuk menyelesaikan masalah ini. Adapun faktor penyebab yang dikemukakan sebelumnya oleh stakeholder terkait,itu semua merupakan ekses atau akibat.

 Oleh karena itu, perlu solusi mendasar yaitu menata ulang basis pengelolaan transportasi sesuai syariat Islam. Tidak boleh dikelola dari aspek bisnis. Tidak boleh dikelola dengan tata cara muamalah yang melanggar aturan Islam. Negara harus mengelolanya dalam rangka melayani kebutuhan rakyatnya. Sehingga bisa saja bahkan digratiskan.

Dalam Islam, moda transportasi merupakan fasilitas umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehingga negara harus memfasilitasi sarana transportasi dengan baik, murah, terjangkau, bahkan gratis. Negara juga tidak akan dipusingkan dengan melemahnya mata uang yang memengaruhi harga tiket karena merupakan negara yang memiliki kemandirian ekonomi, sehingga tidak akan terpengaruh dengan kuat/lemahnya dollar AS. 

Penguasa daulah (Khalifah) juga akan meri'ayah rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Pengaturan ini akan berbasis al-Qur'an dan Sunnah, bukan asing. Sehingga kepentingan hajat hidup orang banyak akan menjadi fokus utama penguasa negara Islam.

Umat semestinya semakin cerdas secara politik, bahwa urusan mereka tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan tuntas jika umat membiarkan penguasanya mencampakkan syariat Islam. Maka persoalan ini, sekali lagi, menjadi peringatan Allah subhanahu wa ta'ala bagi kita semua umat Islam: "Apakah hukum jahiliah yang kalian kehendaki, maka hukum siapakah yang lebih baik (daripada) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin". (TQS Al Maidah 50).

Paradigma Pembangunan Infrastruktur Transportasi yang Murah/Gratis, Berkualitas dan Berbasis Pelayanan

Sistem hidup Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap seluruh hajat hidup umat termasuk transportasi melalui kepemimpinan Islam yang khas. Berikut paradigma yang perlu dibangun agar tranportasi publik bisa dijangkau masyarakat, berkualitas dan manusiawi:

Pertama, negara berfungsi sebagai pihak yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya menjamin akses setiap individu terhadap transportasi publik murah/gratis dan berkualitas. Sebab Rasulullah SAW menegaskan dalam hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. Bahwa Beliau berkata:

...

"Imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya" (HR Bukhari dan Ahmad).

Karenanya haram negara menjadi regulator dan fasilitator sebagaimana logika neolib.

Kedua, transportasi publik bukan jasa komersial akan tetapi hajat dasar bagi keberlangsungan kehidupan normal setiap insan, baik yang bersifat rutin maupun insidental. Ketiadaannya akan berakibat dharar/penderitaan yang diharamkan Islam, sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalaam yang artinya, "Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan."(HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Ketiga, Islam melarang keras transportasi publik dikuasai individu atau entitas bisnis tertentu apalagi asing kafir penjajah. Baik infrastruktur jalan raya, bandara dan pelabuhan dengan segala kelengkapannya. Hal ini karena ditegaskan Rasulullah Saw yang artinya, "Siapa saja yang mengambil satu jengkal saja dari jalan kaum Muslimin, maka pada harikiamat kelak Allah SWT akan membebaninya dengan beban seberat tujuh lapis bumi." (Terjemahan HR Imam Thabrani).

Keempat, wajib digunakan anggaran mutlak untuk pembiayaan transportasi publik, tidak bergantung pada investasi atau pinjaman asing. Yakni, harus ada pos dari  kekayaan negara yang diperuntukkan untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berdampak dharar bagi masyarakat. Prinsip ini meniscayakan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memikul tanggungjawabnya. Pembiayaan diperuntukan untuk pengadaan pesawat secara memadai dari aspek kualitas dan kuantitas, bahan bakar minyak penerbangan, bandara dengan segala kelengkapannya, dan sumber daya manusia dalam penerbangan.

Salah satu sumber kekayaan negara untuk pembiayaan transportasi publik adalah barang tambang yang jumlahnya seperti air mengalir  (Abdul Qadiim Zalum ,Al Amwaal Fii Daulatil Khilafah:104-106). Barang tambang dengan karakter demikian jumlahnya berlimpah di negeri ini, berada di laut dan darat. Jika pengelolaannya sesuai syariah maka negeri ini akan memiliki sumber pendanaan yang tetap untuk membangun infrastruktur transportasi  dari pos pemasukan barang tambang tersebut. 

Jika pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle) maka akan menghasilkan pemasukan kas negara yang san gat besar. Jauh melampau capaian akumulasi pos penerimaan APBN Indonesia yang sudah termasuk pajak dan utang

Pinjaman dari negara asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional, tidak diperbolehkan oleh hukum syara' sebab pinjaman tersebut selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba diharamkan baik berasal dari seseorang atau sebuah negara. Sedangkan persyaratan yang menyertai pinjaman sama saja dengan menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor berkuasa atas kaum Muslimin. 

Akibatnya segala keinginan dan segala keperluan kaum Muslim tergadai pada keinginan negara dan lembaga pendonor. Selain itu, pinjaman luar negeri juga adalah jebakan agar orang kafir bisa menguasai negeri-negeri Muslim. Allah berfirman, "..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. An Nisa: 141). 

Selama ada beban pinjaman ini, umat selalu berada pada kondisi terpuruk. Dengan demikian, negara tidak boleh menggunakan pinjaman luar negeri sebagai pos pendapatan untuk membangun infrastruktur, baik utang yang bersal dari kawasan Barat ataupun Timur (aseng).

 Adapun investasi luar negeri tidak diperbolehkan dalam bidang yang strategis atau sangat vital misalnya transportasi, persenjataan,dll. Sebab jika pihak asing melakukan investasi terhadap bidang-bidang yang strategis dan vital, maka bisa dipastikan bahwa investor asing tersebut akan dengan seenaknya melakukan praktik bisnis yang merugikan rakyat. 

Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam, pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri islam. Investasi ini bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkan, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara. Negara yang dijajah akan dieksploitasi besar-besaran kekayaan alamnya dan dijauhkan dari agamanya. Namun, hal ini sering tidak dipahami dan disadari umat, dikarenakan uslub penjajahan yang bersifat halus

Kelima, pembangunan infrastruktur transportasi mutlak mengacu pada politik dalam dan luar negeri negara Khilafah, bukan agenda hegemoni globalisasi liberalisasi. Ini di satu sisi, di sisi lain harus diperhatikan pemanfaatan tekhnologi terkini dan keselarasan moda transportasi (darat, laut, udara) dengan kondisi geografi Indonesia sebagai negeri kepulauan terbesar dengan 17 ribuan pulau.

Keenam, Industri pesawat merupakan salah satu bagian industri strategis yg harus dimiliki oleh negara. Agar industri pesawat ini mandiri dan sepenuhnya dikendalikan oleh negara maka negara saat ini harus melakukan restrukturisasi pembangunan industri alat berat, bahan baku ,bahan bakar dan energi  yang terintegratif. Di sini negara wajib menerapkan politik industri berbasis industri berat dalam sistem industrinya. Untuk mewujudkannya hanya ada satu cara, yaitu membangun industri peralatan atau membangun industri yang memproduksi alat-alat atau mesin-mesin. Dari industri inilah kemudian industri-industri lain bisa dikembangkan. Jadi prioritas pertama negara adalah membangun industri berat (militer maupun non-militer).

Industri berat ini harus seketika itu juga dibangun, dan tidak boleh santai sebelum benar-benar menguasai hulu, bahkan kalau perlu hingga hilirnya. Semua potensi ekonomi harus diarahkan ke sana guna membangun industri peralatan, dengan tetap melanjutkan industri yang sudah ada, seperti industri konsumtif, meski dengan catatan tidak boleh ada penambahan, sebelum target industri berat ini tercapai. Karena seluruh industri, baik yang dimiliki oleh negara maupun individu, harus tunduk kepada politik industri negara, yaitu industri pertahanan dan keamanan.

Selain industri berat/peralatan, negara pun harus mendirikan industri bahan baku dan bahan bakar. Karena itu, negara Khilafah juga harus membangun industri bahan baku, seperti baja, besi, seng, kuningan dan alumunium, uranium,dll. Selain itu, negara harus mandiri di bidang energi sehingga bisa memenuhi kebutuhan industrinya. 

Negara juga harus mempunyai industri eksplorasi, penambangan, pengelolaan dan penjernihan minyak, gas, batubara, panas bumi ,dan lain-lain. Termasuk industri nuklir, baik untuk persenjataan maupun energi. Semuanya ini bisa diwujudkan secara mandiri, kalau negara memiliki industri alat berat sendiri sehingga tidak membutuhkan dan bergantung kepada negara lain, terutama negara Barat.

Karena industri-industri ini merupakan industri strategis, maka industri-industri ini-sebagaimana tabiatnya sebagai penghasil barang-barang startegis-tidak boleh dimiliki oleh pribadi, baik swasta domestik maupun asing. Meski jenis produksinya ada yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti energi, dan status industrinya merupakan industri milik umum (public industry), tetapi pengelolaannya tetap ditangani oleh negara. Karena itu, industri-industri strategis ini pada dasarnya akan ditangani oleh negara, bukan oleh individu, atau diprivatisasi untuk kepentingan individu, partai atau kelompok tertentu.

Dengan membangun industri alat berat, bahan baku ,bahan bakar dan energi  yang terintegratif juga penerapan politik industri berbasis industri berat dalam sistem industrinya, maka industri pesawat terbang akan mandiri dan bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat bahkan gratis karena mesin-mesin untuk menciptakan pesawat dan produk akhirnya yaitu pesawat bisa diproduksi oleh putra bangsa.

 Putra-putra bangsa Indonesia di bawah naungan PT Dirgantara Indonesia terbukti mampu membuat pesawat terbang yang dibutuhkan untuk moda transportasi penerbangan antar pulau (pembuatan pesawat terbang N-250, CN-212, CN-235). 

Bahan bakar pun mulai dari hulu sampai hilir dikuasai negara sehingga bahan bakar minyak penerbangan tidak menjadi beban operasional maskapai plat merah karena sama-sama diproduki oleh BUMN yg state based management. 

Hari ini berdasarkan paradigma batil neolib dibenarkan negara menyerahkan blok-blok migas tersebut pada korporasi baik domestik maupun asing kafir penjajah, semua itu bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan, negaralah yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya sebagai pengelola sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh publik. Indonesia sudah memiliki teknologi refinery (kilang pengolahan minyak bumi) untuk memproduksi avtur.

 Optimalisasi kilang Plaju dan Cilacap terbukti mampu memenuhi kebutuhan avtur dalam negeri. Para teknokrat yang memadai sudah dimiliki Indonesia dan mampu mandiri memproduksi avtur dalam jumlah memadai bagi terwujudnya transportasi udara murah/gratis bagi semua orang.

Masalah skill juga tidak perlu diragukan. Keberhasilan pembuatan pesawat terbang N-250, CN-212, CN-235 ini menjadi bukti peluang putri-putri bangsa ini mampu menguasai berbagai teknologi terkini kedirgantaraan. Kemandirian teknologi dirgantara dengan berbagai aplikasinya seperti pesawat terbang, teknologi navigasi dan komunikasi, serta bandar udara berikut segala fasilitasnya Indonesia terbukti bisa.

Dengan motivasi ideologis yang kuat , teknologi aeronautika pasti dapat dikuasai kembali oleh kaum Muslimin. Motif ideologis harus menjadi motif utama, baru setelahnya motif ekonomi dan sains. Tanpa motif ideologis, teknologi bahkan industri pesawat terbang yang telah dimiliki dapat dengan mudah digadaikan atau dijual ke asing demi membayar utang luar negeri yang tidak seberapa. Dan karena ketiadaan negara Islam yang ideologis ini, kini ribuan ahli aeronautika Muslim terpaksa berkarir di negeri-negeri kafir penjajah.

Pada akhirnya, terbang murah hingga nol rupiah secara aman, berkualitas, tanpa tergantung asing benar-benar bisa terwujud, bahkan negara berkewajiban mewujudkannnya. Semua aspek ini bisa dipenuhi negara yang visioner dan dengan fungsi-fungsi politiknya yang sahih. Yakni, negara Khilafah.

 "Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,.."
(TQS Al Anfaal: 24)

Tresna Dewi Kharisma (ibu 2 anak, aktivis muslimah)

Referensi: 

Zalum, Abdul Qadiim. Al Amwaal Fii Daulatil Khilafah. Darul Ummah. Beirut Libanon. 2004.

Amhar, Fahmi. TSQ Stories: Kisah-kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaan Islam. Al Azhar Press. 2010

Makalah Membangun Sistem Industri Daulah Islam. Penulis:  Andang Widi Harto

Makalah Mewujudkan Kemandirian Industri Militer Dunia Islam dengan Khilafah. Penulis :Tresna Dewi Kharisma

https://tirto.id/.

https://tirto.id/

http://www.tribunnews.com/

https://www.muslimahnews.com/

https://www.muslimahnews.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun