Mohon tunggu...
tresna dewi kharisma
tresna dewi kharisma Mohon Tunggu... Lainnya - pemerhati masalah keumatan

nothing worse than being ordinary

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mewujudkan Kemandirian Industri Militer Dunia Islam

15 Juli 2020   14:56 Diperbarui: 20 Juli 2020   21:44 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Alih-alih mengalami kemajuan dan kemandirian militer, negeri-negeri Muslim khususnya Indonesia yang sudah memiliki tentara dan Alutsista secara nyata belum bisa mandiri. Kekuatan yang dimiliki tidak berbanding lurus dengan kemandirian secara politik dan militer karena berbagai faktor berikut:

  • Kebijakan militer negeri-negeri Muslim mengadopsi politik “minimum deterrence “, yaitu kebijakan pengurangan kekuatan militer sampai ada tingkatan yang sekedar cukup untuk pertahanan. Politik “minimum deterrence” ini merupakan salah satu produk Kapitalisme yang tidak bisa dipisahkan dari ide negara bangsa. Barat mengatakan bahwa konsep minimum deterrence ini harus dijunjung tinggi untuk menjamin terwujudnya kerjasama dan keadilan dunia. Tapi faktanya menunjukkan bahwa Barat memanfaatkan ide tersebut untuk mempertahankan kedudukannya sebagai negara terkemuka dan melanggengkan hegemoninya atas negara-negara lain. Secara praktis, mereka bisa terus mempertahankan pengaruhya di dunia melalui superioritas kekuatan militernya. Jadi konsep tersebut hanya diperuntukkan bagi negara lain, bukan Amerika Serikat. Mereka menipu dunia dengan menamakan kantor urusan militer dengan sebutan “Departemen Pertahanan” atau “Kementrian Pertahanan” meski realistasnya adalah “Departemen Perang” atau “Kementrian Perang”, di mana mereka mengembangkan kekuatan militer secara maksimal untuk terus menyerang, menindas, dan menjajah negara lain. Apa yang teradi di Irak dan Afghanistan adalah bukti nyata.

Dengan adanya “minimum deterrence”  ini maka Dunia Islam akan membuat alutsista dan membangun industri militernya hanya untuk mempertahankan diri tidak berupaya untuk membangun industri militer yang menghasilkan Alutsista paling mutakhir yang dibutuhkan untuk perang. Memang ada Iran dan Pakistan yang mengembangkan teknologi nuklir , namun tidak terintegrasi dengan pembangunan industri militer di negeri Muslim lainnya karena tersekat oleh nasionalisme. Sementara Amerika dan sekutunya senantiasa mengembangkan industri militernya yang paling mutakhir disertai dengan intervensi politik melalui perjanjian atau pakta pertahanan kepada Dunia Islam sehingga  industri militernya tetap bisa dikendalikan oleh Amerika Serikat dan dibuat ketergantungan.


  • PBB merilis CTBT (Comprehensive Nuclear Test-Ban Treaty (24 September 1996) dan NPT (Non Proliferation Treaty) pada 1 Juli 1968 . CTBT adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur pelarangan seluruh bentuk uji coba nuklir di seluruh wilayah termasuk di luar angkasa, di angkasa dalam, di dalam air dan di bawah tanah. Sementara NPT adalah suatu perjanjian yang ditandatangi yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Perjanjian ini sesungguhnya sengaja disiapkan oleh negara-negara kolonialis untuk membatasi kekuatan militer negara-negara lain. Negara-negara besar yang memilki senjata nuklir tidak menghendaki adanya negara-negara lain yang berpotensi menantang dominasi mereka. Dunia Islam walaupun telah memiliki indstri militer yang mengembangkan nuklir , tentu dengan adanya perjanjian ini akan tetap berada dalam kendali Barat karena mengancam keberdaan mereka secara politik dan militer. Jadi adanya CTBT dan NPT ini merupakan bentuk control arms terhadap negara-negara berkembang, termasuk diantaranya negeri-negeri Muslim.
  • Negeri-negeri Muslim masih menggantungkan persenjataannya dengan membelinya dari negara-negara Barat (AS, Rusia, Perancis). Amerika Serikat adalah pemimpin tidak hanya dalam penjualan senjata di seluruh dunia, tetapi juga dalam penjualan kepada negara-negara berkembang. Dalam laporan tahunan yang diproduksi oleh nonpartisan Congressional Research Service, menyatakan bahwa sebagian besar perdagangan senjata dilakukan oleh AS dengan negara-negara berkembang tahun 2008 senilai $ 6,5 milyar untuk sistem pertahanan udara Uni Emirat Arab, $ 2,1 milyar dengan Maroko berupa jet tempur dan $ 2 milyar dengan Taiwan yang berupa helikopter.   Pembelian senjata yang dilakukan negeri Muslim kepada Amerika Serikat dapat menyebabkan AS bisa mendikte serta mengendalikan kehendak dan persenjataan negeri-negeri Muslim. Realita yang dapat kita saksikan di dunia saat ini menunjukkan, bahwa negara-negara yang menjual persenjataan ke negara lain tidak akan menjual semua persenjataannya, khususnya persenjataan canggih. Negara tersebut juga tidak akan menjual persenjataan kecuali disertai dengan syarat-syarat tertentu (aturan lisensi), termasuk tatacara penggunaan persenjataan yang dijualnya. Negara tersebut juga tidak akan menjual persenjataan kecuali dalam jumlah yang sesuai menurut pandangannya, bukan menurut permintaan negara yang ingin membeli persenjataan tersebut. Hal-hal itulah yang menjadikan negara pemasok persenjataan menjadi pengendali dan penentu negara pembeli persenjataan. Hal-hal itu pulalah yang memungkinkan negara pemasok senjata mengendalikan kehendak negara pembeli persenjataan, apalagi ketika negara pembeli itu sedang berada dalam situasi perang, negara tersebut akan memerlukan tambahan persenjataan, suku cadang, amunisi, dan sebagainya. Semuanya itu menjadikan ketergantungan negara pembeli terhadap negara pemasok persenjataan semakin bertambah dan ketundukan negara tersebut pada kehendak negara pemasok juga semakin besar. Hal inilah yang membuat posisi negara pemasok semakin kuat sehingga dapat mengendalikan negara pembeli dan mendikte kehendaknya, khususnya ketika negara tengah berada di dalam situasi perang, dan dalam kondisi sangat membutuhkan persenjataan dan suku cadang (Struktur Daulah Khilafah Pemerintahan dan Administrasi, hal.174).  Alhasil, selama industri militer negeri-negeri Muslim masih membeli dan bergantung pada pasokan senjata yang dihasilkan dari Barat, maka kondisinya akan tetap berada pada kendali mereka.

Membangun Paradigma Kemandirian Kekuatan Militer 

Mungkin ada yang bertanya, ” Mungkinkah negeri Muslim saat ini bisa melepaskan ketergantungan senjatanya pada AS dan Rusia? Apakah membangun industri militer mungkin dilakukan secara mandiri mengingat high cost dan tidak profitable?”. Jawabannya adalah “ya, bisa “ namun perlu ada upaya membangun paradigma kemandirian agar tergambar dalam benak kaum Muslimin makna mandiri yang sesungguhnya.

Pertama, untuk mewujudkan kemandirian militer, khususnya dari sisi industri maka negeri Muslim harus memiliki visi politik yg kuat sebagai leader, bukan follower. Alasan mengapa Dunia Islam saat ini mengalami de-industrialisasi adalah lemahnya visi politik. Para pemimpin umat Muslim telah meletakkan negaranya sebagai pasar bagi perusahaan multinasional Barat. Konsep perdagangan bebas dan pasar bebas selalu menjadi alasan bagi dunia berkembang untuk menghambat industrialisasi di negara lain, dan mengubah mereka menjadi tempat industri untuk konsumsi Barat. Ketika tujuan politik telah timbul maka ada perkembangan yang muncul di Dunia Islam; Mesir mengembangkan program nuklir pada tahun 1950-an, tetapi mereka menghentikan program tersebut setelah kekalahan pada 1967 dari Israel. Pakistan meneruskan dan mengembangkan sebuah program nuklir yang berhasil. Contoh lainnya adalah Uni Soviet. Ketika Lenin diminta untuk mereformasi industri pertanian dengan mendatangkan peralatan dari Barat, dengan tegas dia menyatakan, “Kita tidak akan menggunakannya, sampai kita bisa memproduksi sendiri.” Sejak saat itu, Uni Soviet terus melakukan revolusi industri dan berhasil menjadi negara leader di bidang industri kemiliteran sehingga tampil menjadi adidaya bersama Amerika.

Kedua, dibutuhkan adanya revolusi industri, yaitu perindustrian yang bertumpu pada industri konsumtif diubah menjadi bertumpu pada industri strategis (industri pengolahan yang memproses output dari industri dasar menjadi barang bernilai tambah yang tinggi). Produk hasil industri ini biasanya adalah barang intermediate atau barang modal yang akan digunakan oleh industri hilir untuk memproduksi barang dan jasa. Contoh industi strategis adalah industri peralatan berat, perkapalan, baja,persenjataan,dsb.

Dunia Islam hanya akan mampu mandiri, bila melakukan sebuah revolusi industri. Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati. India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20. Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.

Revolusi industri pun bermakna menjadikan industri strategis/militer sebagai basis perindustrian. Hal ini mengharuskan adanya pembangunan industri berat, berupa industri besi dan baja, batubara dan lainnya, seperti halnya industri persenjataan dan seterusnya. Contoh hal tersebut adalah seperti yang terjadi pada Uni Soviet. Negara ini menghabiskan lima tahun perencanaan yang dimulai pada tahun 1928, yang bertujuan untuk membangun sebuah basis perindustrian berat tanpa menunggu bertahun-tahun untuk mengumpulkan keuangan melalui ekspansi industri konsumen dan tanpa bergantung pada keuangan dari luar. Rencana Lima Tahun (The Five-Year Plan) adalah sebuah daftar target perekonomian yang telah direncanakan untuk memperkuat perekonomian Uni Soviet antara tahun 1928 sampai 1932, membuat negara tersebut bisa mencukupi kebutuhan militer dan industrinya sendiri. Perencanaan lima tahun tersebut dimaksudkan untuk memanfaatkan semua aktifitas ekonomi dalam pembangunan industri berat yang sistematis, sehingga mengubah Uni Soviet dari negara agraris yang sederhana menjadi sebuah kekuatan yang mapan secara industri dan militer.

Ketiga, visi negara pemimpin (leader) dan revolusi industri bisa direalisasikan jika negeri-negeri Muslim ,mengambil mabda Islam, menyatmakan sudut pandang politik dalam dan luar negerinya serta bersama-sama menegakkan negara Khilafah. Karena dengan negara ini sajalah Dunia Islam bisa menggabungkan kekuatan,dana, sumber daya alam, sumber daya manusia yang sebelumnya sudah dimiliki sebagai modal awal untuk bangkit dan mandiri.

 

Pandangan Islam tentang Industri Militer/Pertahanan 

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian (secara umum) dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan aksesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji. Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam. Seluruh cabang industri (secara umum), baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.

Industri dengan berbagai jenisnya, semuanya harus dibangun dengan berpijak pada politik perang. Sebab, jihad dan perang memerlukan pasukan, sementara pasukan, agar mampu berperang, harus memiliki persenjataan. Agar persenjataan itu terpenuhi bagi pasukan secara memadai hingga pada tingkat yang optimal tentu harus ada industri persenjataan di dalam negeri, khususnya industri perang, karena hubungannya yang begitu kuat dengan jihad. Agar Daulah memiliki kontrol atas semua masalah perang dan militer serta jauh dari pengaruh negara lain dalam masalah tersebut, Daulah harus mendirikan industri persenjataannya sendiri dan mampu mengembangkan persenjataan sendiri. Dengan begitu, Daulah akan tetap memiliki kendali atas dirinya sendiri untuk mengukuhkan kekuatannya. Daulah juga harus sanggup memiliki dan menguasai persenjataan yang paling canggih dan paling kuat sekalipun, bagaimanapun bentuk dan tingginya kecanggihan dan perkembangan persenjataan itu. Dengan begitu, semua bentuk dan tingkat kecanggihan persenjataan yang dibutuhkan Daulah dapat dikuasai hingga akhirnya bisa menggentarkan musuh-musuh Daulah, baik musuh yang nyata maupun musuh laten. Demikian sebagaimana firman Allah SWT : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. al-Anfâl [8]: 60)

Dari sisi mindset, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik. Allah SWT berfirman: “… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisâ’ [4]: 141)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun