"Ayolah, Annisa. Tunggu apa lagi." Ibu berkata sambil matanya menerawang jauh.Â
"Aku masih belum selesai kuliah di UT, Bu." Aku membuat alasan.
"Kamu bisa kuliah di Riyadh. Karena, UT sudah membuka cabang di Riyadh." Ibu menyahut.
"Tapi Bu..." Aku tak melanjutkan perkataanku. Aku menunduk diam,
"Tapi apa." Ibu berkata dengan sedikit kesal.
"Lelaki dari Riyadh itu anak orang kaya. Sedangkan aku..."
"Juga anak orang kaya. Tahukah kau? Ayahmu itu kaya hati. Sawah ayahmu tidak seberapa luas tetapi ayahmu suka memberi pekerjaan banyak orang di sawah."
"Wajahku biasa-biasa saja. Sementara harem Saudi cantik-cantik." Aku membela diri.
"Harem saudi memang cantik-cantik . Tetapi, mana ada yang mau menerima mahar seperangkat alat salat seperti Ibu dulu."
"Memang mahar harem saudi tinggi-tinggi. sekitar 250 ribu riyal. Â Bisa untuk membeli rumah dan mobil yang bagus di Bondowoso."
"Oleh karena itu dia memilih wanita Indonesia yang sederhana."