"Akhirnya saya berpikir, kalau semua pemuda di desa saya merantau ke luar kota, nanti siapa yang melanjutkan mengerjakan sawah dan gula? Dari situlah saya bertekad untuk belajar otodidak tentang gula," tambahnya.Â
Sobirin lantas mempelajari mengenai gula dari orangtua dan masyarakat sekitar, juga mencari info lewat internet. Ia menemukan bahwa gula semut memiliki pangsa pasar yang menjanjikan di luar negeri. Karenanya, Sobirin kemudian bersemangat untuk berwirausaha dengan mengoptimalkan potensi masyarakat sekitarnya agar mampu menjadi lebih sejahtera.Â
Meyakinkan para Petani dan PerajinÂ
Langkah pertama yang dilakukan Sobirin, adalah mensosialisasikan konsep usaha yang akan diusungnya. Sobirin perlu meyakinkan para petani penderas dan perajin gula untuk beralih produksi yang awalnya gula cetak menjadi gula semut. Pelatihan pun dilakukan dari dapur ke dapur, tentang bagaimana membuat gula semut yang baik dan berkualitas sehingga layak jual dengan harga yang tinggi. Di awal, banyak petani yang tak yakin bahkan maju mundur melakukan produksi gula semut ini.Â
Salah satu perajin gula semut, Karsini, mengatakan, "Berbeda dengan gula cetak yang cepat jadi, untuk membuat gula semut memang ada proses lagi mulai dari menggerus gula menjadi butiran kecil, mengayak hingga menjemur. Namun selisih harga membuat kami terpincut. Di saat harga gula cetak Rp 9.000, harga gula semut sudah Rp 15 ribu saat itu,"
Tahun 2012 akhirnya terbentuk Kelompok Usaha Bersama  Manggar Jaya yang beranggotakan 25 orang sebagai awal langkah produksi gula semut.
Mengajak Bangkit bukan Tanpa KendalaÂ
Ajakan Sobirin kepada masyarakat desa Semedo tentu tidak mulus-mulus saja. Kendala pun kerap dihadapi, namun selalu bisa diatasi. Kendala awal adalah pesimisme terhadap gula semut. Selain merepotkan dan memakan waktu lebih lama, mereka yang terbiasa membuat gula cetak, mempertanyakan apakah gula semut ini benar-benar diminati. Namun, Sobirin berusaha meyakinkan para perajin dan juga berusaha menyiapkan pasarnya. Saat itu Sobirin dibantu pemerintah daerah mendapatkan sarana menjual produk, hingga bertemu eksportir yang cocok dengan produk mereka. Sobirin berprinsip. Yakin dan optimis, pasti ada jalannya. Benar saja, gula semut justru memiliki permintaan besar dari pasar ekspor.Â
Kendala lainnya adalah sinisme tengkulak terhadap apa yang diupayakan Sobirin beserta warga. Sobirin bahkan mendapat ancaman agar berhenti memengaruhi para petani beralih ke gula semut. "Saya tidak boleh bikin kelompok, tak usah pemberdayaan. Pokoknya sistem lama tak perlu dihilangkan. Karena itu akan mengancam mereka." Syukurnya hal tersebut tidak menyurutkan semangat Sobirin dan warga serta meluruhkan keyakinan mereka bahwa akan ada masa cerah bagi gula semut ini.Â
Kala Pandemi MelandaÂ
Usaha Sobirin mengembangkan usaha di desanya juga terdampak saat pandemi. Pembatasan hingga penutupan pelabuhan tempat ekspor komoditas asal Indonesia keluar negeri membuat stok gula semut Manggar Jaya sempat menumpuk di gudang. Apalagi ongkos ekspor saat itu naik berlipat-lipat dari harga normal biasa.Â
Sobirin pun memutar otak dan mencari solusi. Akhirnya pemasaran dioptimalkan ke pasar lokal dengan menoptimalkan media sosial serta marketplace. Mereka juga berinovasi dengan membuat diversifikasi produk gula semut. Ternyata, pasar lokal pun cukup menjanjikan. Apalagi dengan dibuatnya produk turunan gula semut yang dicampur dengan rempah misalnya, menjadi sangat diminati di kala pandemi. Pandemi memang memukul usaha mereka, namun membawa berkah tersendiri, yakni terciptanya diversifikasi produk serta membesarnya peluang pasar dalam negeri.Â