Mas Bhima yang baru usai membuat sumur bor di surau serta memasang keran air untuk keperluan wudu itu menghampiri kami.
"Kalau begini, ndak perlu ke Gedong, Mas...." Ujar Bambang yang membuat tawa Mas Bhima berderai.
"Iya, mengambil air juga jadi sangat dekat. Tapi ingat, harus hemat memakai air,..." Mas Bhima mengingatkan. Aku tersenyum bangga menatapnya. Aku memang benar-benar bangga punya sepupu seperti Mas Bhima.
"Mas, nanti malam kalau ndak capek, ikut aku, ya,..." ujarku.
"Kemana, Rinto?" Mas Bhima mengernyitkan dahi...
"Aku masih hutang janji,..."
"Janji,....?"
"Ke Hargodumilah..."
Mendengar itu, Mas Bhima menatapku dalam, lalu mengalihkan pandangan kearah lembah kayu putih,... ia menghela udara bukit kemuning banyak-banyak hingga kesegaran alam merasuki paru-parunya... Mas Bhima tersenyum lebar menepuk-nepuk bahuku. Aku kecewa. Pasti ia sudah lupa apa itu Hargodumilah. Lima tahun lalu perbincangan kami begitu singkat. Aku memalingkan pandangan kearah para mahasiswa KKN yang sedang membuat papan nama jalan.
"Kita akan lihat 'perta bintang', 'kan,...?" ujarnya perlahan diantara desau angin yang berkerisik diantara daun-daun pohon jati. Seketika aku menoleh kearah Mas Bhima. Senyumku begitu lebar. Tak kusangka ia masih ingat pembicaraan kami malam itu lima tahun silam.
Aku sangat bahagia. Kulihat Bambang ikut membantu para mahasiswa itu memasang patok nama jalan. Aku dan Mas Bhima tertawa bersama setiap ada tingkah lucu Bambang. Aku benar-benar bahagia, kurasa alam dusun ini juga. Angin bertiup romantis membelai lembut tiap pondok bilik warga, berbisik mesra pada dahan dan ranting, seolah turut membagikan kebahagiaan warga desa ke seluruh tanah cadas bukit kemuning. Aku benar-benar bahagia, sebahagia warga desa menyambut para pemuda yang akan membangun Kemuning.