Mohon tunggu...
Umiyatun Khasanah
Umiyatun Khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN RADEN MAS SAID

Love my self

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keadilan Hukum Waris Islam

6 Maret 2023   22:00 Diperbarui: 6 Maret 2023   22:26 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diantara ketiga factor penyebab utama kewarisan tersebut, hanya dua factor saja yang dapat diakui, dibenarkan dan diabadikan yaitu factor pertama dan factor ketiga, sedangkan factor yang kedua ditolak dan dihapuskan oleh islam. Hanya saja waktu itu islam memberi toleransi terhadap dua factor yang berlaku pada masa itu yaitu, kewarisan yang didasarkan atas persaudaraan karena hijrah dari Makkah ke Madinah dan kewarisan karena didasarkan atas persaudaraan berbentuk semacam saudara angkat. Namun beberapa saat kemudian kedua factor tersebut dihapuskan dan digantikan dengan tiga factor yang telah diseutkan sebelumnya.

Mengingat system perbudakan jika dilihat secara de jure tidak diperbolehkan, walaupun secara de facto terkadang masih sering terjadi, maka secara hukum islam hanya mengakui dua factor penyebab kewarisan yaitu perkawinan untuk dasar hukum saling mewarisi antara suami dan istri dan atas dasar nasab atau keturunan untuk penyebab saling mewarisi antara keluarga secra garis melurus keatas, kebawah, ataupun kesamping terutama pada anak dan orang tua. 

Mengenai dengan kewarisan adat jahiliyah pada masa pra islam terdapat suatu kewarisan yang sama sekali tidak beretika, yaitu kebolehan anak laki laki tertua untuk mewarisi istri istri atau janda janda yang telah ditinggal mati oleh ayahnya untuk dia kawini sendiri atau akan dikawinkan dengan keluarganya sebagai sarana berbisnismelalui mahar yang terselubung. Dalam konteks pemabgian waris yang tidak adil seperti ini masih saja tejadi di beberapa daerah di Indonesia, karena mereka mengikuti sesuai dengan hukum adat yang masih kental terhadap masyarakat mereka. Kewarisan yang diserahkan kepada anak laki laki tertua yang diterapkan dalam adat Bali, adat Lampung itu diimbangi dengan tanggung jawab dan moral utnuk menghidupi keluarganya khususnya saudara perempuan atau mungkin yang masih anak anak.

Sesuai dengan tujuan mengenai penulisan ini yaitu akan lebih menitikberatkan pembahasan pada persoalan keadilan hukum waris dengan pemikiran teologis, dan yang paling utama dari segi filsafat dan psikologi islam namun juga tidak mengabaikan sosiologi hukum dan fenomena hukum kewarisan islam.

Terdapat beberapa prinsip mengenai kewarisan islam :

  • Kewarisan atas dasar hubungan kekerabatan dan perkawinan : prinsip kekerabatan muncul atas dasar kelahiran orang tua dan anak, dan kekerabatn ini dibagi menjadi tiga segi yaitu atas saudara seibu dan seayah, saudara seayah dan saudara seibu.
  • Pengabaian gender atau dalam artian tidak mempermasalahkan antara laki-laki dan perempuan : dalam prinsip ini juga tidak menghiraukan akan usia ahli waris, maksudnya tidak mempersoalkan apakah ahli waris itu masih anak-anak ataupun dewasa.
  • Ahli waris garis keatas dan garis kebawah : tidak akan gugur maupun digugurkan atas hak mendapatkan warisan dengan kondisi seperti apapun, meskipun terkadang ada suatu keadaan tertentu yang dapat mengubah keberadaan ahli waris atau bisa saja merubah bagian warisan antara dirinya dengan ahli waris yang lain.
  • Tidak ada hak kewarisan bagi saudara laki-laki maupun saudara perempuan atas sebab keberadaan ornag tuanya walaupun mereka menempati tempat ibunya berada dengan perolehan bagian 1/3 hingga 1/6 bagian.
  • Jika dalam sekelompok ahli waris terdapat laki-laki dan perempuan, maka ahli waris laki-laki mendapatkan bagian warisan lebih banyak dari pada perempuan.

Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, beliau menyebutkan lima asas hukum kewarisan  yaitu :

  • Asas Ijbari
  • Asas bilateral
  • Asas individual
  • Asas keadilan berimbang
  • Asas semata akibat kematian

Dari kelima asas tersebut, asas ijbari lah yang paling relevan digunakan pada hukm kewarisa islam. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin asa ijbari merupakan peralihan harta dari si mayit kepada ahli waris, hal ini berlaku dengan sendirinya tanpa ada usaha apapun dari ahli waris maupun dari mayit. Dari sinilah makna penting dari asas ijbari dimana dalam pengertianya tidak ada proses tawar menawar antara mayit dan ahli warisnya. Kemudian terdapat tiga dasar atas peralihan kepemilikan harta dari si mayit kepada ahli waris yaitu :

  • Asas tolong mrnolong dan kasih saying, dalam asas ini dilakukan dengan suasana yang sedemikian rupa agar para ahli waris benar-benar ketat dalam melipat gandakan keikhlasan hatinya yang kelak akan mengembalikan kemanfaatan bagi dirinya ataupun salah satu kerabatnya.
  • Tidak ada pilihan lain, karena dalam islam terkait dengan pendistribusian warisan bersifat ijbari. Karena pada umunya manusia itu bersifat serakah dan tidak puas atas apa yang dimilikinya.
  • Memperhatikan kebutuhan, karena dalam islam menjadikan unsur kelebihan dalam kewarisan semata-mata didasarkan pada asas kebutuhan. Terlebih lagi ahli waris tersebut laki-laki dan ia memiliki kebutuhan yang lebih dan mendesak, maka pengukuran bagian warisan mendapatkan bagian yang lebih besar dan lebih banyak

Berdasarkan perimbangan 2 : 1 untuk ahli waris laki-laki dan perempuan, kini atas dasar perimbangan tersebut kerap kali dipertanyakan oleh beberapa pihak. Sebab pernah diriwayatkan bahwa Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasul mengapa laki-laki diperintahkan untuk berperang sedangkan perempuan tidak disertakan sekaligus, apakah atas dasar hal tersebut maka perempuan hanya mendapatkan setengah bagian dari laki-laki dalam hal kewarisan. Kemudian Allah menurunkan surah An-Nisa ayat 32 dimana dalam ayat tersebut Allah melarang kepada kaum perempuan agar tidak cemburu atau lebih tepatnya iri hati atas perbedaan bagian warisan antar laki-laki dan perempuan yang telah dituliskan sebelum ayat ini.

Pihak yang mempermasalahkan perimbangan 2 : 1 sangatlah setuju mengenai perubahan metode perimbangan menjadi 1 : 1 sebagaimana layaknya sistem hukum kewarisan Barat dan system hukum kewarisan adat. Dimana dalam konteks ini dimaksudkan bahwa anak perempuan seharusnya mendapatkan bagian kewarisan yang sama dengan bagian kewarisan laki-laki. Namun pemikiran yang akan merubah perimbangan 2 : 1 menjadi 1 : 1 terkesan terlampau simplistic da terburu-buru dan juga alasan-alasan tersebut kurang argumentatif. Sebab manakala perimbangan 2 : 1 dalam pembagian kewarisan dipandang tekstualis maka orang tersbut juga kurang tekstualisnya dalam mengartikan keadilan yang diidentikan dengan jumlah yang sama besar atau sama banyak. Padahal pengertian adil atau keadilan itu tidak selamanya selalu sama, karena bisa juga dikonteksualisasikan menjadi seimbang atau sebanding.

            Penolak terhadap usulan perubahan perimbangan pembagian kewarisan islam dari 2 : 1 menjadi 1 : 1 ini didasarkan beberapa alasan seperti berikut :

  • Dalam memaknai keadilan dengan sama banyak, ini tidak selamanya benar apalagi tepat. Disamping adil berarti sama banyak, adil juga berarti seimbang, sebanding, sepadan, dan masih banyak lagi. Kemudian para hukama atau filsuf dalam hal ini Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam yaitu keadilan distributive (memberi sesuatu kepada tiap orang jatah menurut jasanya) dan keadilan komutatif (memberi sesuatu pada setiap orang dengan sama banyak dan tidak mengingat atau mempertimbangkan jasanya)
  • Para penolak hukum kewarisan islam yang memandang system hukum dapat berdiri sendiri dan tidak memandang substansi hukum keluarga yang lain
  • Kaum penolak kewarisan islam bisa jadi mereka memandang akal pikiran yang mampu memecahkan sebuah masalah
  • Terdapat beberapa dalil yang perlu dimaknai mengenai perubabahan perimbangan kewarisan seperti pada surah An-Nisa ayat 7
  • Hampir semua tafsir ahkam setuju bahwa ayat ayat mawaris merupakan golongan ayat ayat muhkamat yang pada Al-Qu'an diposisikan sebagai induk Al-Qur'an.
  • Ayat-ayat Qur'an dan hadits hadits Nabi mengenai mawaris bersifat tafshili atau rinci dan mengikat
  • Pengubahan perimbangan warisan tidak sesuai dengan ayat ayat wa'ad (janji baik) dan wa'id (janji buruk), karena dinilai tidak mematuhi hukum hukum Allah
  • Mengenai ihwal pembagian harta terkhususnya mengenai kehartabendaan yang sudah ditetapkan oleh Allah
  • Mengenai ihwal keadilan denga makna keseimbangan, hukum kewarisan benar benar memperhatikan keadilan disamping pemerataan
  • Tidak sesuai dengan ajaran ilmu hukum yang menjelaskan mengenai asas kejelasan, kepastian, dan kemanfaatan
  • Perimbangan 2 : 1 tidak bersifat mutlak, itu hanya berkenaan dengan ahli waris tertentu seperti antara suami-istri
  • Semua ahli hukum islam sepakat tidak ada celah untuk melakukan ijtihad ditengah-tengah nash
  • Orang yang hendak melakukan pengubahan perimbangan, mereka memperkirakan pemikirannya sebagai pemikiran yang kurang layak karena hanya akan menimbulkan kemashlahatan
  • Mengenai beberapa alasan tersebut bisa dinilai bahwa tindakan tindakan tersebut bersifat inkonsisten yaitu kecenderungan untuk berpaling menyimpang dari sikap konsisten terhadap haq
  • Pengubahan perimbangan merupakan bentuk dari perbuatan pembangkangan terhadap hukum Allah
  • Dalam kasus tertentu seperti antara anak dan suami dijamin perimbangan tidak akan menimbulkan ketimpangan kepemilikina harta kekayaan hanya kraena perbedaan jenis kelamin atau usia
  • Semua ulama sepakat bahwa kesamaan agama islam antara yang diwarisi dengan yang mewarisi menjadi salah satu prasyarat adanya hukum waris mewaris dalam hukum kewarisan islam.

Dalam buku II kompilasi hukum islam yang memuat mengenai hukum kewarisan yang terdiri dari IV bab dan 44 pasal yakni dari pasal 171 hingga pasal 214. Secara umum hukum kewarisa yang telah termuat dalam kompilasi hukum islam tampak benar dengan diturunkan dari hukum faraid yang telah termaktub dalam al-qur'an dan Hadits. Namun tidak secara keseluruhan isi kompilasi hukum islam memuat mengenai hukum islam. KHI tidak secara eksplisit menyebutkan adanya hubungan ahli waris yang berakibat saling mewarisi antar anak angkat dengan orang tua angkatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun