BOOK REVIEW
Judul
Penulis
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
Penerbit
: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta
Tahun Terbit
: 2013
Cetakan
: Pertama, September 2013
Buku yang ditulis oleh Professor Muhammad Amin Suma dengan judul Keadilan Hukum Waris Islam yang mendeskripsikan secara lengkap mengenai kewarisan islam dengan adil yang memuat materi mengenai ilmu faraid atau ilmu mengenai kewarisan islam, bagaimana pelaksanaan hukum kewarisan yang ada di Indonesia, keterkaitan ayat-ayat Al-Qur'an dengan kewarisan islam, bagaimana sabda Nabi mengenai kewarisan islam (sesuai dengan Hadits), bagaimana system pembagian warisan pada zaman jahiliah yang digambarkan pada saat Pra-Islam, apa saja prinsip-prinsip hukum kewarisan islam, bagaimana gugatan dan pembelaan saat ada perbedaan atau perdebatan mengenai pembagian hak waris antara laki-laki dan perempuan, bagaimana pandangan kompilasi hukum islam mengenai hukum kewarisan islam, apa saja hikmah pelipatgandaan bagian waris laki-laki dari bagian waris perempuan, sekitar wasiat terkait dengan hukum kewarisan, bagaimana kemungkinan perubahan yang terjadi pada kasus pembagian kewarisan.
Hukum kewarisan islam ini tidak semua orang bisa menerapkan pada kehidupannya masing-masing, karena sebagian dari masyarakat Indonesia masih menggunakan hukum adat dalam pembagian warisan. Semakin kesini hukum syariat islam semakin diragukan karena sebagian beranggapan kurang adil dalam keterkaitan dengan hukum kewarisan (faraid). Terkhusus pada pembagian dengan perbandingan 2 : 1 , dimana bagian dua untuk ahli waris laki-laki dan bagian satu untuk ahli waris perempuan.
Dalam merespon perdebatan atas dasar kekurangadilan mengenai perbandingan 2 : 1 . hal ini terdapat beberapa argumentasi dari yang dasar dengan cara berfikir secara sosiologis-empiris dan pragmatis. Dapat disadari bahwa pro dan kontra mengenai hukum waris islam akan terus mengemuka dan mewacana. Namun dengan bagaimanapun mudzakarah mengenai hukum kewarisan ini pasti akan membuahkan sebuah manfaat tersendiri.
Ilmu faraid disebut juga dengan ilmu al-mirats yang memiliki arti kekal abadi atau setara dengan baqa, al-mirats dapat diartikan pula dengan peralihan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Kelebihan gari Ilmu faraid ini yaitu kekhususan perintah dari Rasulullah SAW kepada para sahabat nabi untuk tetap menekuni ilmu ini agar kemudian tetap mengajarkan dan menyebarkan ilmu faraid ini. Namun adapula kelemahan dari ilmu faraid yaitu cepat dilupakan atau diabaikan oleh sebagian besar umat muslim, padahal Rasulullah SAW menjuluki ilmu faraid ini dengan sebutan dari ilmu nishf al-ilmi. Mengingat ilmu faraid ini merupakan sebagian dari ibadah kita, dan juga sebagai penghubung  atau keterkaitan dengan aktivitas mualamah manusia. Tujuan dari ilmu al-mirats yaitu untuk menyampaikan hak kekayaan kepada mereka yang berhak untuk menerimanya yang menempati sebagai ahli waris yang pasti.
Pada umumnya setiap negara yang berpendudukan mayoritas muslim telah memiliki Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum kewarisan. Terkecuali pada negara yang berpenduduk muslim minoritas kemungkinan belum atau tidak memiliki Undang-Undang mengenai hukum kewarisan. Dengan begitu, masyarakat muslim yang belum memiliki Undang-Undang kewarisan maka mereka membagi harta waris dengan cara tradisional atau dengan hukum adat setempat. Bahkan di Indonesia sendiri yang sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur kewarisan kerap kali masyarakat membagikan dihadapan kyai, ustadz, ataupun tokoh agama setempat dengan cara kekeluargaan, tidak sedikit pula yang membagi warisan dengan cara menempuh jalur hukum karena adanya sengketa-sengketa antara ahli waris sehinga harus dimeja hijaukan.
Tradisi pembagian waris tentunya tidak menjadi permasalahan yang besar menginat bahwasanya implementasi hukum kewarisan islam yang sesungguhnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yang kemudian semua itu tersandarkan pada kesadaran hukum keluarga muslim itu sendiri. Keberadaan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan hukum waris sebagaimana juga undang-undang yang mengatur perihal hukum keluarga terkhususnya perihal perkawinan.
Terdapat beberapa ayat kewarisan dalam Al-Qur'an, sebagian berpendapat terdapat 5-6 ayat saja, namun juga ada yang bependapat 9-11 ayat. Namun pada setiap sisi ayat-ayat tersebut tetap memiliki keterkaitan langsung dengan ayat-ayat induk mawaris itu sendiri. Contohnya terdapat pada surah An-Nisa ayat 9 yang dimana isinya mengingatkan manusia dari kemungkinan meninggalkan keturunan yanglemah secara ekonomi maupun teologi, yang kemudian disambung dengan surah An-Nisa ayat 13 dan 14 yang berisikan mengenai janji-jnji yang baik dan berupa ancaman yang kejam bagi siapa saja yang menaati dan mengabaikan hukum kewarisan. Terdapat tiga kelompok besar ayat-ayat mawaris yaitu, kelompok ayta induk/inti, kelompok ayat pendukung, dan kelompok ayat terkait.
- Kelompok ayat induk atau inti [ An-Nisa ayat 7, 11, 12,33,176 ]
- Dimana dalam ayat 7 dijelaskan mengenai bahwasanya laki-laki memiliki harta atas harta peninggalan orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan juga sama halnya ia berhak mendapatkan harta peninggalan dari orang tua nya dan kerabatnya. Kemudian dalam ayat ke 11 hingga ayat 12 dijelaskan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan seberapa besar bagiannya. Kemudian pada ayat ke 33 dijelaskan bahwa jika ada orang yang telah bersumpah setia pada keluarganya maka berilah ia sedikit atau banyak bagian untuknya. Dan yang terakhir pada ayat 176 juga sama halnya dengan ayat 11 dan 12 dejlaskan mengenai seberapa besar bagian hak warisnya kepada ahli waris.
- Kelompok ayat pendukung [ An-Nisa ayat 9, 10, 13, 14, dan 32-34 ]
- Terdapat ayat-ayat lain yang secara langsung memiliki hubungan dengan ayat-ayat waris induk,baik dari sisi perletakannya maupun dari sisi informasi dan permaknaannya. Mungkin dari beberapa ayat lain memiliki korelasi yang memperkuat posisi ayat-ayat kewarisan dan kehartabendaan pada umumnya. Pada ayat 9-10 dipringatkan kepada manusia bahwa mereka janganlah meninggalkan keturunannya dalam keadaan lemah ekonomi dan janganlah mereka memakan harta anak yatim dimana jika mereka memakan harta tersbut sama dengan mereka memenuhi perut mereka dengan api dan akan dimasukkan kedalam neraka yang menyala-nyala. Kemudian pada ayat 13-14 Allah menjanjikan kepada manusia yang taat akan dimasukkan kedalam surga yang penuh dnegan nikmat, dan siapa pula yang ingkar maka mereka akan di azab Allah SWT.dalam ayat 32-34 dijelaskan habwa bagian waris laki-laki setingkat lebih tinggi dari pada bagian waris perempuan, ini dilakukan untuk menepis tuduhan kepada kaum wanita dimana pada zaman Rasul wanita terkesan setengah hati dalam menyikapi hukum faraid.
- Dalam ayat-ayat pendukung ini berisikan nilai-nilai yang mengandung keadilan yang merata dan keseimbangan yang proposional.
- Ayat-ayat terkait dengan Kewarisan [ Al-Baqarah ayat 228, An-Nisa ayat 19, Al-Ahzab ayat 4, dll]
- Dalam mengkategorikan antara ayat pendukung dan ayat yang terkait memanglah agak sulit, mengingat keduanya saling mendukung dan menguatkan. Dalam ayat-ayat yang berkaitan lebih ke mengingatkan kepadanumat muslim untuk tetap mentaati semua hukum-hukum Allah tanpa menyimpang, pada saat yang bersamaan ayat ayat tersebut juga menegur kesangsian umat muslim terhadap keberadaan hukum-hukum Allah yang terkait dengan hukum kewarisan islam maupun dengan hukum-hukum yang lain. Ayat-ayat terkait bersifat umum dengan system hukum islam secara keseluruhan ada pula yang bersifat spesifik dalam pembahasannya mengenai kewarisan.
Guna untuk memperkaya ilmu dan wawasan mengenai hukum waris atau ilmu faraid, boleh kita mencoba meresapi dan menggali jauh lebih dalam mengenai ayat-ayat kewarisan. Terutama dalam aspek sabab nuzul yang berat dengan suasana dialogis semacam sosialisasi rancangan Undang-Undang pada era modern sekarang ini
Kemudian mengenai beberapa sabda Nabi/ Hadits yang membahas mengenai hukum waris atau ilmu faraid jauh lebih banyak dari ayat ayat Al-Qur'an yang membahas mengenai hukum waris. Beberapa Hadits Nabi yang membahas hukum waris yaitu HR Ibnu Majah, Al-daruquthny dan Al-Hakim dimana dalam hadis tersebut Nabi memerintahkan umat muslim untuk mempelajari ilmu faraid karena ilmu ini mudah untuk dilupakan seseorang. HR al-Hakim, dalam hadits ini Nabi membagi menjadi tiga kelompok mengenai ayat ayat Al-Qur'an yang membahas hukum waris. HR al-Hakim, menjelaskan bahwa Nabi memerintahkan umat islam untuk mempelajari ilmu faraid dan mengajarkan kepa umat islam yang lain karena tiap orang akan merasakan kematian dan ilmu mengenai hukum waris juga akan dicabut dan fitnah akan cepat menyebar sehingga banyak orang yang berseteru, dan lain sebagainya.
Dapat kita pahami bahwasanya dari banyaknya kumpulan hadits mengenai hukum waris tidaklah mencampuri ihwal ketentuan ahli waris yang menjadi bagian masing-masing sesuai dengan ketentuan Al-qur'an. Dalam Hadits hanya termaktub beberapa saja yang kemudian menjelaskan atau lebih mempertegaskan kembali yang telah diarahkan dalam Al-Qur'an dengan asas kewarisan parental setelah mengutamakan asas bilateral.
Kalangan Jahiliyah pra-islam kapanpun dan dimanapun tidak hanya di daerah Jazirah Arab disebut oleh para penentang hukum islam khususnya penentang hukum waris atau ilmu faraid, mereka sama sekali tidak memberikan warisan kepada kaum wanita dan anak anak. Mereka hanya memberikan warisan kepada kaum laki laki yang sudah dewasa, dewasa ini dalam artian mereka sudah mampu berllaga di medan perang. Mereka memiliki adagium hukum yang menyatakan bahwa siapapun tidak berhak mendapatkan warisan selain yang mampu memanah demi mendapatkan harta rampasan perang. Hukum adat Jahiliyah pra-islam ini menyebutkan ada tiga penyebab utama saling mewarisi, yaitu :
- Karena Nasab, dimana diartikan dengan anak laki laki yang sudah dewasa atau sudah benar-benar teruji bahwasanya dirinya mampu memanggul senjata dan sama sekali tidak melibatkan dari keturunan yang lemah dalam hal ini kaum perempuan dewasa sekalipun.
- Anak angkat, yaitu pengangkatan anak laki laki yang dilakukan oleh seseorang dan secara de facto dan de jure dapat diakui layaknya sebagai anak kandungnya sendiri sehingga menimbulkan hak waris di samping hak hak lainnya pada anak angkat tersebut.
- Perjanjian atau sumpah setia, dalam hal ini seseorang berjanji dengan mengatakan kepada yang lain bahwa "darahku adalah darahmu juga, kehancuranku adalah kehancuranmu juga, dank arena itu kamu berhak mewarisi aku dan aku pun berhak mewarisi kamu. Manakala setelah perjanjian atau sumpah tersebut terucap kemudian salah satu diantara mereka meninggal, maka secara otomatis mereka salah satunya berhak menjadi ahli waris.
Diantara ketiga factor penyebab utama kewarisan tersebut, hanya dua factor saja yang dapat diakui, dibenarkan dan diabadikan yaitu factor pertama dan factor ketiga, sedangkan factor yang kedua ditolak dan dihapuskan oleh islam. Hanya saja waktu itu islam memberi toleransi terhadap dua factor yang berlaku pada masa itu yaitu, kewarisan yang didasarkan atas persaudaraan karena hijrah dari Makkah ke Madinah dan kewarisan karena didasarkan atas persaudaraan berbentuk semacam saudara angkat. Namun beberapa saat kemudian kedua factor tersebut dihapuskan dan digantikan dengan tiga factor yang telah diseutkan sebelumnya.
Mengingat system perbudakan jika dilihat secara de jure tidak diperbolehkan, walaupun secara de facto terkadang masih sering terjadi, maka secara hukum islam hanya mengakui dua factor penyebab kewarisan yaitu perkawinan untuk dasar hukum saling mewarisi antara suami dan istri dan atas dasar nasab atau keturunan untuk penyebab saling mewarisi antara keluarga secra garis melurus keatas, kebawah, ataupun kesamping terutama pada anak dan orang tua.Â
Mengenai dengan kewarisan adat jahiliyah pada masa pra islam terdapat suatu kewarisan yang sama sekali tidak beretika, yaitu kebolehan anak laki laki tertua untuk mewarisi istri istri atau janda janda yang telah ditinggal mati oleh ayahnya untuk dia kawini sendiri atau akan dikawinkan dengan keluarganya sebagai sarana berbisnismelalui mahar yang terselubung. Dalam konteks pemabgian waris yang tidak adil seperti ini masih saja tejadi di beberapa daerah di Indonesia, karena mereka mengikuti sesuai dengan hukum adat yang masih kental terhadap masyarakat mereka. Kewarisan yang diserahkan kepada anak laki laki tertua yang diterapkan dalam adat Bali, adat Lampung itu diimbangi dengan tanggung jawab dan moral utnuk menghidupi keluarganya khususnya saudara perempuan atau mungkin yang masih anak anak.
Sesuai dengan tujuan mengenai penulisan ini yaitu akan lebih menitikberatkan pembahasan pada persoalan keadilan hukum waris dengan pemikiran teologis, dan yang paling utama dari segi filsafat dan psikologi islam namun juga tidak mengabaikan sosiologi hukum dan fenomena hukum kewarisan islam.
Terdapat beberapa prinsip mengenai kewarisan islam :
- Kewarisan atas dasar hubungan kekerabatan dan perkawinan : prinsip kekerabatan muncul atas dasar kelahiran orang tua dan anak, dan kekerabatn ini dibagi menjadi tiga segi yaitu atas saudara seibu dan seayah, saudara seayah dan saudara seibu.
- Pengabaian gender atau dalam artian tidak mempermasalahkan antara laki-laki dan perempuan : dalam prinsip ini juga tidak menghiraukan akan usia ahli waris, maksudnya tidak mempersoalkan apakah ahli waris itu masih anak-anak ataupun dewasa.
- Ahli waris garis keatas dan garis kebawah : tidak akan gugur maupun digugurkan atas hak mendapatkan warisan dengan kondisi seperti apapun, meskipun terkadang ada suatu keadaan tertentu yang dapat mengubah keberadaan ahli waris atau bisa saja merubah bagian warisan antara dirinya dengan ahli waris yang lain.
- Tidak ada hak kewarisan bagi saudara laki-laki maupun saudara perempuan atas sebab keberadaan ornag tuanya walaupun mereka menempati tempat ibunya berada dengan perolehan bagian 1/3 hingga 1/6 bagian.
- Jika dalam sekelompok ahli waris terdapat laki-laki dan perempuan, maka ahli waris laki-laki mendapatkan bagian warisan lebih banyak dari pada perempuan.
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, beliau menyebutkan lima asas hukum kewarisan  yaitu :
- Asas Ijbari
- Asas bilateral
- Asas individual
- Asas keadilan berimbang
- Asas semata akibat kematian
Dari kelima asas tersebut, asas ijbari lah yang paling relevan digunakan pada hukm kewarisa islam. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin asa ijbari merupakan peralihan harta dari si mayit kepada ahli waris, hal ini berlaku dengan sendirinya tanpa ada usaha apapun dari ahli waris maupun dari mayit. Dari sinilah makna penting dari asas ijbari dimana dalam pengertianya tidak ada proses tawar menawar antara mayit dan ahli warisnya. Kemudian terdapat tiga dasar atas peralihan kepemilikan harta dari si mayit kepada ahli waris yaitu :
- Asas tolong mrnolong dan kasih saying, dalam asas ini dilakukan dengan suasana yang sedemikian rupa agar para ahli waris benar-benar ketat dalam melipat gandakan keikhlasan hatinya yang kelak akan mengembalikan kemanfaatan bagi dirinya ataupun salah satu kerabatnya.
- Tidak ada pilihan lain, karena dalam islam terkait dengan pendistribusian warisan bersifat ijbari. Karena pada umunya manusia itu bersifat serakah dan tidak puas atas apa yang dimilikinya.
- Memperhatikan kebutuhan, karena dalam islam menjadikan unsur kelebihan dalam kewarisan semata-mata didasarkan pada asas kebutuhan. Terlebih lagi ahli waris tersebut laki-laki dan ia memiliki kebutuhan yang lebih dan mendesak, maka pengukuran bagian warisan mendapatkan bagian yang lebih besar dan lebih banyak
Berdasarkan perimbangan 2 : 1 untuk ahli waris laki-laki dan perempuan, kini atas dasar perimbangan tersebut kerap kali dipertanyakan oleh beberapa pihak. Sebab pernah diriwayatkan bahwa Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasul mengapa laki-laki diperintahkan untuk berperang sedangkan perempuan tidak disertakan sekaligus, apakah atas dasar hal tersebut maka perempuan hanya mendapatkan setengah bagian dari laki-laki dalam hal kewarisan. Kemudian Allah menurunkan surah An-Nisa ayat 32 dimana dalam ayat tersebut Allah melarang kepada kaum perempuan agar tidak cemburu atau lebih tepatnya iri hati atas perbedaan bagian warisan antar laki-laki dan perempuan yang telah dituliskan sebelum ayat ini.
Pihak yang mempermasalahkan perimbangan 2 : 1 sangatlah setuju mengenai perubahan metode perimbangan menjadi 1 : 1 sebagaimana layaknya sistem hukum kewarisan Barat dan system hukum kewarisan adat. Dimana dalam konteks ini dimaksudkan bahwa anak perempuan seharusnya mendapatkan bagian kewarisan yang sama dengan bagian kewarisan laki-laki. Namun pemikiran yang akan merubah perimbangan 2 : 1 menjadi 1 : 1 terkesan terlampau simplistic da terburu-buru dan juga alasan-alasan tersebut kurang argumentatif. Sebab manakala perimbangan 2 : 1 dalam pembagian kewarisan dipandang tekstualis maka orang tersbut juga kurang tekstualisnya dalam mengartikan keadilan yang diidentikan dengan jumlah yang sama besar atau sama banyak. Padahal pengertian adil atau keadilan itu tidak selamanya selalu sama, karena bisa juga dikonteksualisasikan menjadi seimbang atau sebanding.
      Penolak terhadap usulan perubahan perimbangan pembagian kewarisan islam dari 2 : 1 menjadi 1 : 1 ini didasarkan beberapa alasan seperti berikut :
- Dalam memaknai keadilan dengan sama banyak, ini tidak selamanya benar apalagi tepat. Disamping adil berarti sama banyak, adil juga berarti seimbang, sebanding, sepadan, dan masih banyak lagi. Kemudian para hukama atau filsuf dalam hal ini Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam yaitu keadilan distributive (memberi sesuatu kepada tiap orang jatah menurut jasanya) dan keadilan komutatif (memberi sesuatu pada setiap orang dengan sama banyak dan tidak mengingat atau mempertimbangkan jasanya)
- Para penolak hukum kewarisan islam yang memandang system hukum dapat berdiri sendiri dan tidak memandang substansi hukum keluarga yang lain
- Kaum penolak kewarisan islam bisa jadi mereka memandang akal pikiran yang mampu memecahkan sebuah masalah
- Terdapat beberapa dalil yang perlu dimaknai mengenai perubabahan perimbangan kewarisan seperti pada surah An-Nisa ayat 7
- Hampir semua tafsir ahkam setuju bahwa ayat ayat mawaris merupakan golongan ayat ayat muhkamat yang pada Al-Qu'an diposisikan sebagai induk Al-Qur'an.
- Ayat-ayat Qur'an dan hadits hadits Nabi mengenai mawaris bersifat tafshili atau rinci dan mengikat
- Pengubahan perimbangan warisan tidak sesuai dengan ayat ayat wa'ad (janji baik) dan wa'id (janji buruk), karena dinilai tidak mematuhi hukum hukum Allah
- Mengenai ihwal pembagian harta terkhususnya mengenai kehartabendaan yang sudah ditetapkan oleh Allah
- Mengenai ihwal keadilan denga makna keseimbangan, hukum kewarisan benar benar memperhatikan keadilan disamping pemerataan
- Tidak sesuai dengan ajaran ilmu hukum yang menjelaskan mengenai asas kejelasan, kepastian, dan kemanfaatan
- Perimbangan 2 : 1 tidak bersifat mutlak, itu hanya berkenaan dengan ahli waris tertentu seperti antara suami-istri
- Semua ahli hukum islam sepakat tidak ada celah untuk melakukan ijtihad ditengah-tengah nash
- Orang yang hendak melakukan pengubahan perimbangan, mereka memperkirakan pemikirannya sebagai pemikiran yang kurang layak karena hanya akan menimbulkan kemashlahatan
- Mengenai beberapa alasan tersebut bisa dinilai bahwa tindakan tindakan tersebut bersifat inkonsisten yaitu kecenderungan untuk berpaling menyimpang dari sikap konsisten terhadap haq
- Pengubahan perimbangan merupakan bentuk dari perbuatan pembangkangan terhadap hukum Allah
- Dalam kasus tertentu seperti antara anak dan suami dijamin perimbangan tidak akan menimbulkan ketimpangan kepemilikina harta kekayaan hanya kraena perbedaan jenis kelamin atau usia
- Semua ulama sepakat bahwa kesamaan agama islam antara yang diwarisi dengan yang mewarisi menjadi salah satu prasyarat adanya hukum waris mewaris dalam hukum kewarisan islam.
Dalam buku II kompilasi hukum islam yang memuat mengenai hukum kewarisan yang terdiri dari IV bab dan 44 pasal yakni dari pasal 171 hingga pasal 214. Secara umum hukum kewarisa yang telah termuat dalam kompilasi hukum islam tampak benar dengan diturunkan dari hukum faraid yang telah termaktub dalam al-qur'an dan Hadits. Namun tidak secara keseluruhan isi kompilasi hukum islam memuat mengenai hukum islam. KHI tidak secara eksplisit menyebutkan adanya hubungan ahli waris yang berakibat saling mewarisi antar anak angkat dengan orang tua angkatnya.
Ihwal harta bersama juga bisa disebut dengan harta gono gini yakni harta yang diperoleh pasangan suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Memperhatikan peratuang perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, bahwasanya pengaturan harta bersama tidak berada dalam konteks hukum kewarisan namun lebih tepatnya pada hukum perkawinan. Peniadaan harta bersama dalam suatu perkawinan dapat dikategorikan dalam tindakan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum islam, sebab kepastian mengenai harta bersama dalam perkawinan merupakan hukum takhyiri atau atas dasar pilihan masing-masing.
Hikmah dari pelipatgandaan bagian kewarisan laki-laki tertentu dari bagian perempuan yaitu :
- Bagian kewarisan perempuan akan tetap lebih banyak dibanding dengan laki-laki tatkala dihubungkan dengan ihwal penafkahan
- Mengingat kebutuhan suami lebih banyak yakni untuk membiayai rumah tangga dan tanggungjawabnya berat jauh lebih besar disbanding dengan harta yang dibutuhkan istri. Bagian laki-laki lebih besar dari pada bagian perempuan  itu tidak lepas dari status anak laki-laki yang kelak akan menjadi seorang suami.
- Laki-laki membutuhkan pembiayaan untuk dirinya sendiri dan juga memikul tanggungjawab pembiayaan terhadap istri dan anak-anak.
Berbicara mengenai hukum waris islam paling tidak juga menyangkut sedikit mengenai wasiat, sebab wasiat hamper selalu berkaitan dengan harta kekayaan dan erat hubungannya dengan kematian. Dalam Al-Qur'an paling tidak disebutkan kata washiyyah sebanyak 8 kali, ayat-ayat yang dimaksudkan terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 180 sampai 182. Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan wasiat dalam hal peralihan hak kepemilikan harta. Wasiat juga dibatasi sebanyak 1/3 bagian saja, dalam ayat 180 dinyatakan telah dihapuskan dengan ayat-ayat waris sementara mereka terpaksa memaksakan diri untuk kembali memberlakukan wasiat wajibah (termasuk bagian pada anak angkat).
Perubahan perimbangan bagian hukum kewarisan merupakan subsistem dari hukum keluarga, itu harus didahului denga perubahan subsistem hukum keluarga yang lain terutama pada pembebanan kewajiban yang serba sepihak. Dalam praktik tak sedikit dalam rumah tangga dimana ekonomi nya ditanggung oleh pihak perempuan, hal tersebut terjadi semata-mata disebabkan oleh factor-faktor lain seperti factor tradisi, budaya moral, ataupun itikad baiknya.
Untuk perubahan perimbangan hukum waris tidak boleh mengatasnamakan hukum waris islam, karena tidak ada hukum islam yang menerapkan kewarisan islam dengan sama banyak atau sedikit, kalaupun terjadi perubahan itu atas dasar dirinya sendiri dan boleh jadi tampak salah atau menyalahi dirinya sendiri. Salah satu jalan keluar jika ingin melakukan peeerubahan perimbangan warisan yaitu melalui hakim pengadilan supaya benar-benar diketahui tentang harmonisasi akhlak ahli waris terhadap pewarisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H