Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bell dan Rossie | Episode 12

8 September 2024   10:33 Diperbarui: 19 September 2024   19:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit mendung menyambut kepulangan Bell ke Violta. Orang-orang tampak sibuk memersiapkan diri menghadapi badai yang mungkin akan datang sebentar lagi. Bell menatap sekeliling. Serius sekali. Tidak ada yang memedulikannya. Semuanya sibuk.

"Bukankah Anda Nona Bell?" Seseorang dari balik jendela menyapa. "Sudah lama Anda pergi." Perempuan berbadan kurus berambut cokelat itu menghampiri Bell. "Kenapa Anda kembali,"ucapnya sedikit berbisik.

Bell tidak mengerti. "Aku memang ingin pulang. "

"Tidak. Anda tidak boleh pulang." Perempuan itu menarik tangan Bell,  membawa gadis itu ke dalam rumahnya.

"Apa yang terjadi. Kenapa---"

"Sssttt..." Perempuan itu mengisyaratkan agar Bell diam saja. "Seluruh pulau sudah tahu kalau Anda pergi dari pulau. Tuan Gubernur sudah memerintahkan siapapun agar menangkap Anda dan Nona Rossie. 

Bell terlihat bingung.

"Anda harus segera pergi, Nona. Sekarang Ayah Nona sudah benar-benar di bawah kendali Gubernur, aku tidak tahu apa yang sedang mereka rencanakan, tapi aku yakin itu bukan hal baik."

"Aku baru saja sampai, dan---" 

"Saya tahu,  Anda pasti merindukan rumah Anda, tapi orang-orang di rumah itu bahkan sudah melupakan Anda berdua. Aah,.. tunggu.  Perkenalkan nama saya Lusi. Suami saya bekerja pada Gubernur, "

Bell semakin tidak mengerti. "Saya tidak tahu apa yang terjadi dan saya ingin memastikannnya."

Lusi menarik tangan Bell.  Perempuan memastikan tidak ada seorangpun di luar sana. Kemudian dia bercerita bagaimana keadaan di Violta sejak Bell dan Rossie pergi beberapa bulan lalu. Ayah Bell dan Rossie hanya bangsawan kelas menengah yang kaya raya, tapi keluarga mereka masih dalam tekanan sang gubernur yang merupakan mantan Jenderal Kekaisaran. Karena menolak menikahkan Bell atau Rossie pada Gubernur,  Ayah Bell dan Rossie kemudian menikah dengan adik sang Gubernur.  Sejak satu bulan pernikahan, semua harta keluarga sudah berpindah kepada istri barunya. 

Sang Gubernur memerintahkan agar siapapun untuk menangkap Bell dan Rossie jika terlihat di Violta.

"Bagaimana keadaan Ayah saat ini?"

"Saya tidak tahu pasti keadaan Tuan Baron saat ini, tapi yang jelas beliau tidak baik-baik saja. Pergilah dari Violta,  Nona. Tempat ini sudah tidak aman untukmu."

Tepat tengah malam sebuah kapal besar bersandar di dermaga. Tidak banyak orang yang menyaksikan saat bersejarah itu. Sebuah kapal Kekaisaran yang mewah yang hampir saja merobek dermaga tua itu. 

Tidak seorangpun tahu jika sang Pangeran baru saja menginjakkan kaki di tanah Violta. 

"Apa Yang Mulia akan datang ke kastil Gubernur Violta? Saya akan langsung menyampaikan jika---" 

Leon mengangkat tangannya memberi isyarat agar pelayannya itu diam.

"Maaf atas ketidaksopanan saya," ucap pelayan itu lalu pergi.

Leon menatap daratan Violta dan menarik napas dalam, ada rasa rindu yang memenuhi dadanya. Matahari masih lama, tapi lelaki itu tidak dapat menunggu. 

"Nona Bell," bisik Lusi membangunkan Bell. "Seseorang ingin menemui Anda." Sorot mata Lusi menggambarkan kekhawatiran. 

Matahari belum terlihat tanda-tanda akan muncul. Seseorang bertubuh tegap beraroma jeruk yang sangat Bell kenali itu berdiri menatap sebuah figura di atas perapian.

"Bagaimana kau tahu aku di sini," ucap Bell tak percaya.

Leon menolak tersenyum tapi bibirnya tak dapat berbohong. "Aku merindukanmu, " ucapnya singkat. "Ikutlah denganku, kita kembali ke ibu kota."

"Apa kau menjemputku. Aku tidak bisa."

Leon mengerutkan dahi. "Aku tahu, kau akan dalam bahaya jika tetap ada di Violta."

"Tapi aku tidak bisa meninggalkan ayahku."

"Tentu." Leon menyeringai. "Aku sudah membawa ayahmu ke kapalku. Kau tidak perlu khawatir. "

Bell merasa tidak percaya.  Tapi jika bukan Leon,  siapa lagi yang dapat Bell percaya.

"Kapal akan segera meninggalkan dermaga sebelum gubernur bangun pagi ini." 

Dengan langkah tergopoh-gopoh, Bell mengikuti langkah kaki Leon yang panjang. Dini hari yang sangat dingin di Violta, ada lapisan tipis salju di setiap permukaan jalan yang dipijak mereka. Sesekali Bell tergelincir hampir terjatuh, namun tangan kekar Leon dengan sigap menyangga tubuh Bell yang ramping. 

"Aku hanya tidak bertemu denganmu beberapa hari, tapi sepertinya kau tidak makan dengan baik," ucap Leon. Tangannya masih di panggul Bell. 

"Bisakah kau lepaskan aku." Pipi Bell merona, terbakar dengan cepat, entah karena malu atau gadis itu kelelahan. 

Bukannya melepaskan tangannya dari pinggang  Bell, Leon justru mengangkat tubuh gadis itu.

"Kita tidak punya banyak waktu," ucapnya tanpa menunggu persetujuan. 

Leon tidak berbohong. Seketika setelah mereka menaiki kapal itu, Bell melihat sosok sang ayah berdiri menatap sayu dermaga dan pantai Violta.  Seolah tengah mengucapkan selamat tinggal.

"Aku harap kalian tidak terlalu lama di luar," Leon memperingatkan Bell setelah menurunkan gadis itu. 

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun