Batu Ruby merah muda adalah sebuah batu yang terbentuk dari kumpulan kornea mata biru keturunan Raja terdahulu. Semua orang yang berpihak pada ratu yang gagal di lantik. Semua kornea mata mereka di ambil oleh para penyihir. Sebelum pembantaian itu terjadi, mereka telah melakukan penelitian akan hal itu selama ratusan tahun. Setelah batu itu terbentuk, kepala menara penyihir menyerahkan batu itu pada raja Gabriel I. Sebuah kisah di tulis setelahnya---kisah sebuah batu yang di anugerahkan dewa untuk Gabriel dan keturunannya. Sejarah batu itupun diceritakan oleh para guru di akademi-akademi. Kisah karangan itu berubah jadi kisah sejarah yang wajib semua penduduk tahu.
"Bagaimana Kakek tahu semua itu?" tanya Artur.
"Sebelum aku melarikan diri ke gua ini, aku pernah di kurung dalam menara sihir. Diam-diam aku membaca sebuah catatan di sana. Betapa kejam mereka. Bukan hanya saat pembantaian. Tapi juga saat penelitian. Bukan satu, dua atau sepuluh pasang mata. Mereka telah menggunakan seribu pasang mata dengan berbagai warna. Tapi ada harga mahal yang harus dibayar Raja untuk batu itu. Kau tahu---" ucapan Kakek terhenti.
"Ada apa?" Nath mencoba mencari tahu.Â
Kakek Tua meletakan ujung telunjuk di depan bibirnya. "Matikan bola cahayanya!" perintah Kakek Tua. Memaksa.
"Saya bukan serigala yang dapat melihat dalam gelap, Kek!" tolak Nath.
"Matikan saja, Nath. Kita masih bisa melihat hanya dengan bola cahaya buatanku!" Artur mendukung Kakek. Kakek tua itu terkekeh di balik punggung Artur. Tangannya masih menggenggam tali kekang. Erat.Â
Kakek Tua terdiam. Mulutnya berhenti berkisah. Namun kaki-kaki terus melangkah tak dapat menunggu Kakek Tua siap melanjutkan. Perjalanan makin lembab dan terasa panas. Tidak hanya itu napas pula terasa sesak. Tidak dapat berjalan lebih cepat lagi.
Ehem ....
Kakek Tua berdeham. Mencairkan suasana.Â
"Apa kalian sebelumnya dekat? Aku lihat kalian acuh sekali."
Baik Nath dan Artur tidak menjawab.
"Baiklah-baiklah aku tidak akan ikut campur urusan kalian. Aku tidak punya waktu. Monster itu mungkin akan menghadang kita. Jadi persiapkan diri kalian. Aku tidak mau terluka karena kalian lemah."
Nath mendengus. Kakek tua itu semakin menyebalkan.Â
"Hei anak muda!" tunjuk Kakek tua pada Nath. Gadis itu menunjuk dirinya. "Iya kau siapa lagi?" Kakek Tua itu menaikan nada bicaranya. "Sembunyikan mana dan energi batu rubi di tanganmu itu!"
"Kenapa?"
"Aku tidak mau mati sia-sia." Kakek Tua memalingkan wajahnya pada kuda yang dia tuntun jalannya.
Dengan sedikit bantuan dari Artur, Nath berhasil menyembunyikan mana elemen dan energi batu. Tidak sempurna, tapi itu lebih baik. Dari kejauhan terlihat setitik cahaya putih. Itu jalan keluar. Kaki mereka harus berusaha keras melangkah. Ini tumpukan batu sedimen yang cukup tajam. Terjal dan rapuh. Sedikit saja salah melangkah, mereka akan tergelincir. Kakek tua sudah sampai di mulut gua di ikuti oleh Nath. Artur masih berupaya menolong dua kuda yang sedari tadi terlihat tidak nyaman dengan jalan itu.Â
"Apa ada yang bisa saya bantu?" teriak Nath.
"Tidak! Cepatlah keluar, aku akan membawa kuda-kuda ini keluar secepatnya!"
Menyusuri gua yang gelap ternyata lebih mudah dan cepat dari pada membujuk kuda. Nath dan Kakek Tua sudah lelah berjalan dan kini lelah menunggu Artur membawa keluar kuda-kuda itu.Â
"Aku sudah tidak tahan lagi." Kakek tua bangkit menuju mulut gua yang terjal ke dalam.
"Hei, kuda! Keluarlah! Di luar sana banyak rumput dan air!" teriaknya.
Artur tertawa. Dia sudah hampir dua jam mencari cara agar kudanya mau keluar. Tapi tetap gagal. Bagaimana bisa kalimat Kakek tua itu akan membujuk dua ekor kuda. Tapi Artur salah. Dua kuda itu berlari keluar dengan cepat setelah Kakek tua merampungkan kalimatnya. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa? Mustahil?
"Hiduplah dua ratus tahun. Agar kau bisa menyamaiku!" ucap Kakek tua sombong. Sesekali tangan kirinya menepuk puas lengan Artur.
"Apa Kakek tahu kita ada di mana?"
Kakek Tua itu melihat sekeliling. Tanah bebatuan dengan pohon besar menjulang tinggi. Tidak ada tanaman paku atau liana. Hanya ada pohon besar seringgi menara. Tinggi sekali.Â
"Ini Hutan Penyesalan!"[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H