"Aduh, mereka ini, apa tidak merasa bersalah sama Mbok Iyem? Setiap hari datang mengetuk pintu, tidak peduli Simbok sedang tidur atau tidak," ucap Sri, tetangga Mbok Iyem.
"Iya, ya, Sri. Saya saja yang cuma tetangga merasa terganggu, sebentar-sebentar ada sepeda motor datang."
"Apa kita laporkan saya, ya?"
"Lapor siapa?"
Sri terdiam sejenak. "Atau kita protes saja sama Haji Dulah. Tidak bisa dong dia seperti itu. Kasihan Mbok Iyem."
"Memangnya dia peduli, Sri?"
Sri kembali terdiam. Pembicaraan mereka lalu terhenti. Dua orang dengan sepeda motor berhenti di depan rumah Mbok Iyem. Melihat tamu Mbok Iyem datang lagi, Sri tergopoh-gopoh menemui mereka.Â
Tapi saat Sri baru setengah jalan, Mbok Iyem keluar dari rumahnya. Memakai kain jarik yang tidak pernah dipakainya. Licin dan terlihat mahal. Kebaya kutu baru berwarna biru tua serta kain panjang berwarna biru muda untuk menutupi kepalanya.
"Mau ke mana, Mbok?" tanya Sri, penasaran.
"Saya mau ke rumah Haji Dulah, Sri. Titip rumah, ya."
Sri hanya mengangguk tidak percaya. Mungkinkah Mbok Iyem akan menjual tanahnya? Kurang lebih seperti itu batin Sri.