Matahari telah kembali ke peraduannya ketika dua orang datang ke rumah Nenek Supiyem. Saat itu sang Nenek yang lebih akrab disapa Mbok Iyem itu tengah duduk di beranda rumahnya.
"Assalamualaikum, Mbok." Kedua orang itu lalu menghampiri Mbok Iyem dan meraih tangan rentanya.
"Wa'alaikumsalam." Mbok Iyem mengerjapkan kedua bola matanya. Kedua orang itu tidak dia kenal. "Siapa, ya?" tanya Mbok Iyem.
"Saya, Mbok. Anak sulungnya Haji Dulah. Dan ini rekan saya, namanya Juki," ucap lelaki itu sambil menepuk pundak temannya.
"Oh, Fikri. Maaf, penglihatan Simbok ini sudah tidak baik. Ada apa, ya?"
Fikri dan Juki saling tatap. "Anu, begini, Mbok. Bapak berniat membeli tanah Mbok Iyem yang di samping rumah adik saya...."
"Siapa bilang saya mau jual rumah?" ucap Mbok Iyem, memotong.
"Anu, begini, Mbok...."
"Bilang sama Bapak, Mbok Iyem nggak mau jual tanahnya. Sudah sana, sudah mau gelap, saya mau masuk." Dengan langkah tertatih Mbok Iyem memasuki rumah reotnya, meninggalkan dua lelaki itu di luar.Â
Tamu-tamu utusan Haji Dulah terus datang setiap hari, bahkan sehari sampai dua tiga kali. Orangnya pun berbeda-beda. Mereka tidak pernah jera, bahkan ketika Mbok Iyem tidak mau berbicara atau membukakan pintu untuk mereka.
"Aduh, mereka ini, apa tidak merasa bersalah sama Mbok Iyem? Setiap hari datang mengetuk pintu, tidak peduli Simbok sedang tidur atau tidak," ucap Sri, tetangga Mbok Iyem.
"Iya, ya, Sri. Saya saja yang cuma tetangga merasa terganggu, sebentar-sebentar ada sepeda motor datang."
"Apa kita laporkan saya, ya?"
"Lapor siapa?"
Sri terdiam sejenak. "Atau kita protes saja sama Haji Dulah. Tidak bisa dong dia seperti itu. Kasihan Mbok Iyem."
"Memangnya dia peduli, Sri?"
Sri kembali terdiam. Pembicaraan mereka lalu terhenti. Dua orang dengan sepeda motor berhenti di depan rumah Mbok Iyem. Melihat tamu Mbok Iyem datang lagi, Sri tergopoh-gopoh menemui mereka.Â
Tapi saat Sri baru setengah jalan, Mbok Iyem keluar dari rumahnya. Memakai kain jarik yang tidak pernah dipakainya. Licin dan terlihat mahal. Kebaya kutu baru berwarna biru tua serta kain panjang berwarna biru muda untuk menutupi kepalanya.
"Mau ke mana, Mbok?" tanya Sri, penasaran.
"Saya mau ke rumah Haji Dulah, Sri. Titip rumah, ya."
Sri hanya mengangguk tidak percaya. Mungkinkah Mbok Iyem akan menjual tanahnya? Kurang lebih seperti itu batin Sri.
Tubuh renta Mbok Iyem sampai di depan sebuah rumah mewah dengan pilar-pilar besar penyangga yang menyambut siapa saja yang datang.Â
Tidak ada siapa pun yang menyapanya. Salah seorang yang datang bersama Mbok Iyem menuntun tubuh renta Mbok Iyem yang bungkuk ke sebuah ruangan. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya sebuah kursi kasur dan bantal saja.
"Dul, Ibu tahu kamu ada di luar," ucap Mbok Iyem yang kini duduk di kursi. "Ibu tidak akan tinggal di kamar ini. Lihatlah, Ibu memakai baju yang sama ketika kamu menikah. Sudah lebih dari 40 tahun.Â
"Tapi bajunya masih bagus. Ibu menyimpan dengan baik agar dapat Ibu pakai lagi. Dan hari ini Ibu menakainya. Sudah cukup kamu kirim orang-orang ke rumah.Â
"Ibu tidak akan menjual sejengkal pun tanah itu. Ada anak-anak yang tengah menimba ilmu di sana. Ibu merasa gagal menjadi orang tua ketika melihat putra Ibu kini menjadi seperti ini.Â
"Tapi ibu berterima kasih karena sampai detik ini kau masih mengingat Ibu. Ini adalah kali pertama dan terakhir Ibu datang. Jangan ganggu sisa hidup Ibu dengan mengirimkan orang-orang itu."
Mbok Iyem bangkit. Kakinya berjalan perlahan membawa tubuh tua yang lemah. Sampai akhir Haji Dulah tetap membisu, mematung di depan pintu. Seorang lurah yang tersohor. Tapi tidak satu pun yang tahu bahwa dia selama 40 tahun menelantarkan ibunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H