Sebuah bangunan megah bercat hijau muda dengan pahatan daun dan bunga di bagian depannya berdiri agung menyambut Nath yang baru saja turun dari kereta kudanya. Jeremy mengulurkan tangan membantu sang Nona, menapaki langkah pertamanya menuju bangunan tua peribadatan orang-orang Grastle.Â
Nath sedikit menaikkan gaun merah muda yang ia kenakan sore itu. Angin semilir dingin mengecup pipinya yang merona karena polesan. Hatinya juga dingin. Di saat penting, tidak satupun keluarganya menyaksikan. "Ayah, aku tidak menikah, aku hanya akan bertunangan. Yang kelak akan berakhir juga tanpa sisa," batin Nath menguatkan.
Di tengah guyuran sinar emas matahari sore, Nath dan Artur berhadapan saling berpegangan tangan. Nath menutup mata begitu juga Artur.Â
Setelah banyak kalimat yang diucapkan oleh tetua keduanya kini resmi jadi tunangan yang diberkati, "Selamat Tuan!" ucap kakek tua itu. Hanya dibalas anggukan oleh Artur.
Ada sebutir kemilau di ujung mata Nath. Dia tidak sedih. Hanya saja, ini terlalu membuatnya emosional.Â
"Selama satu minggu ke depan kita akan mempersiapkan keberangkatan menuju medan perang. Anda boleh berlatih sesuka hati Anda,"
"Terima kasih atas kemurahan hati Anda."
"Kembalilah ke kamar. Anda pasti lelah. Sampai jumpa waku makan malam," Artur mengusap bulir air mata Nath kemudian mengecup keningnya.Â
Pipi Nath panas seperti terbakar. Betapa malunya dia di hadapan kakek tetua, Jeremy dan Madam Floyn serta Bart.Â
Artur memegang tangan Nath dan mengandeng nya menuju kereta kuda. Di awali Nath lalu diikuti Artur. Kedua duduk berhadapan.