Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Julia (Bagian 4: Kehidupan Baru)

14 Juli 2023   21:00 Diperbarui: 14 Juli 2023   21:02 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Yang Yuri rasakan hanyalah air dan sesak. Semua terasa dingin dan kemudian hangat. Sayup-sayup terdengar nyanyian Ibu lalu kemudian suara lain memanggil namanya kencang. Itu mungkin suara rekannya atau hanya halusinasi yang tercipta saat dirinya semakin hilang kesadaran.

Hilang. Semua hilang. Apa yang digenggamnya, dan semua yang ia perjuangkan. Lenyap di balik kabut putih yang menyesakkan.

"Kasihan sekali kau, Nak! Bangunlah dan jalani kehidupanmu kali ini dengan baik." sebuah suara muncul seakan membelai tubuh dingin Yuri.

Yuri mengerjapkan matanya. Cahaya terang itu menerobos masuk kabut putih. Menyilaukan hingga ia harus menggunakan kedua tangannya untuk menghalanginya. Sekejap lalu menghilang, hanya gelap sekarang. Ada hawa dingin menyelinap dari kepalanya seperti embusan seseorang menghela napas perlahan meniup ubun-ubunnya.

"Apa ini alam kematian?" Yuri menerka-nerka. "Tidak. Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Apa aku selamat?" 

Gadis itu mulai dapat merasakan helaan napasnya perlahan. Rasa sakit yang menjulur dari tiap jengkal tubuhnya.

"Kak! Kakak baik-baik saja?" 

Yuri tak mengenali suara itu. Bukan suara Joy atau teman seperjalanannya. Ini suara anak laki-laki yang terdengar asing.

Yuri mencoba membuka mata---perlahan. Samar terlihat seorang anak laki-laki tengah menatapnya. Pakaiannya aneh dan sungguh wajahnya sangat asing.

"Kau---kau siapa?" tanya Yuri. Suaranya lemah dan pelan---tanpa tenaga.

"Kakak bicara apa?" ucap anak laki-laki itu kebingungan, "aku Dimitri. Keluarga mu satu-satunya. Apa karena kepala Kakak terbentur dan hilang ingatan," sambungnya.

"Dimitri---"

Yuri melihat sekelilingnya. Redup. Hanya ada sebuah lampu minyak menempel di dinding kayu. Setiap sudut di kelilingnya dengan dua bola matanya yang baru saja terbuka. Tidak ada kipas angin atau televisi hanya ada meja kecil dari kayu yang lapuk, tempat tidur yang keras dan tiga lemari dengan ratusan buku tertata rapi. Ada juga lemari kecil setinggi bocah laki-laki itu berdiri tepat di samping pintu. Ini bukan kamarnya, bukan juga rumah sakit. Tempat ini seperti perpustakaan tapi juga tampak seperti rumah. Tidak ada sekat atau apapun.Atau mungkin dia terdampar di sebuah pulau terpencil, pikir Yuri.

"Kakak, minumlah ini. Obat ini akan membantumu lekas sembuh." Tangan kecil anak itu menyodorkan sebuah mangkuk kecil dengan beberapa bagianya sudah retak dan gompal. 

Yuri meraih mangkuk itu dan menghisap sedikit cairan hitam di dalam mangkuk---pahit. Tak dapat di jelaskan pahitnya hingga lidahnya mati rasa setelah.

"Obat apa ini?"

"Ini obat racikan Kakak. Apa Kakak lupa," Bocah kecil itu menunjuk sebuah kotak kayu yang terletak di atas meja."Kakak selalu memaksaku meminum ini jika aku sakit!" 

Bocah itu memajukan bibir mungilnya. Dia bocah kecil yang tampan dengan rambut pirang dan matanya yang kebiruan.

"Aku mau buang air kecil." Yuri menyibak kan kain yang menghangatkan nya. Gadis itu terperangah sejenak. Pakaian apa yang ia kenakan. Apa ini baju tidur yang usang? Apa ini gaun yang sempat jadi kain pel. Tangannya meraba-raba. "Ini sungguh bajuku?"

"Kenapa? Itu memang pakaian Kakak," bocah itu tertunduk. "Aku tidak bisa menggantikan pakaian Kakak yang basah. Membawa Kakak pulang saja, susah payah aku lakukan," ucapnya terdengar sedih.

"Sebenarnya aku siapa?" Yuri melihat tangannya yang terlampau putih dan rambutnya yang panjang dan pirang. Dapat terlihat hanya dengan menariknya ke hadapan. Panjang---tiga kali lipat dari panjang rambutnya terakhir kali ia bercermin. "Di mana aku sekarang?"

"Di rumah," jawab anak itu polos.

"Tidak! Bukan itu maksudku. Ini di mana? Tahun berapa sekarang?"

"Kita di pinggiran kota Alta ibu kota Kerajaan Dargale. Ini tahun 307 kekaisaran Dargale. Apa Kakak benar-benar hilang ingatan?"

"Kerajaan Dargale? Tahun 307---"

Dimitri memangguk. "Apa Kakak lapar? Aku akan kupaskan apel untuk Kakak,"

Yuri terdiam. Masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dia mencubit pipinya lalu memukul dengan kedua telapak tangannya. Terasa sakit dan nyata.

"Namamu, Dimitri?

Dimitri mengangguk.

"Kalau begitu, siapa aku?"

"Kakak adalah Kakakku."

Yuri menggeleng. "Bukan! Siapa namaku? Siapa aku?"

"Kakak adalah Julia Rossettini---Kakakku!" tegasnya.

"Jul---"

"Julia!"

Itu adalah kejadian tiga bulan lalu. Julia sebagai Kakak tertua harus menanggung utang seseorang yang mereka panggil Ayah. Seorang dengan utang dua kotak emas pada seorang bangsawan tamak. Julia harus membayar sepuluh keping koin perak setiap harinya. Jika mereka rutin membayar mungkin sebelum tua hutang mereka akan lunas---karena bunga yang diberikan terlampau tinggi dan Julia terlalu miskin.

Julia adalah salah satu pelayan di toko roti. Gadis itu akan mendapatkan 15 keping koin perak setiap harinya. 10 di antara harus dia setorkan pada preman yang selalu mendatanginya di persimpangan jalan. Preman itu adalah kaki tangan bangswan tamak. Tidak! Orang itu lebih mirip rentenir dibandingkan seorang bangsawan dengan sebuah gelar terhormat.

Setelah matahari tergelincir di Barat, Julia berganti profesi. Dari pelayanan toko roti dengan celemek berdebu putih menjadi seorang pencuci piring di sebuah restoran. Hingga waktu tutup, Julia bekerja lebih dari 5 jam satu hari--- 40 jam dalam satu minggu.

"Sepertinya fisik Julia tak sekuat Yuri," gumam Julia sembari memijat pundaknya sendiri.

"Orang miskin harus bekerja keras---kau tahu itu, bukan?" ucap salah seorang teman yang juga tengah sibuk dengan gelas di tangannya. Nasibnya tidak lebih dari Julia, hanya laki-laki belasan tahun yang sempat dijadikan budak. 

Julia tersenyum kecut. Telapak tangannya telah mengeriput---lelah telah di kesampingkan. "Apa kau tahu siapa nama Putri negeri ini?" tanya Julia. Anres laki-laki yang tengah bekerja bersamanya itu terdiam. Pertanyaan macam apa yang gadis di depannya itu ucapkan. Mana mungkin ada yang tidak tahu nama dari calon ratu mereka.

"Apa kau bercanda?" 

Julia menggeleng. "Apa aku terlihat sedang bergurau?"

"Baiklah," ucap Anres kemudian mengeringkan kedua tangannya dengan kain. Pekerjaannya baru saja selesai. "Namanya adalah Ambeer. Dia Putri satu-satunya Raja. Tapi aneh bukan. Setelah Debutante setahun lalu, dia tidak juga di angkat sebagai Putri mahkota, rumornya---" Anres menghentikan ucapannya.

"Apa?"

"Aku tidak boleh sembarang bicara," Anres berbisik.

"Kenapa tak boleh?"

"Apa kau bodoh. Dia itu keturunan Raja. Mana bisa kita membicarakan sembarangan,"

Julia manggut-manggut. Masuk akal. Seorang rakyat jelata seperti mereka tidak boleh sembarangan membicarakan keluarga Raja. 

"Selesaikan saja pekerjaan mu. Cepatlah pulang, adikmu pasti cemas menunggumu."

Julia mengabaikan ucapan Anres. Sepotong demi sepotong ingatan tengah dikumpulkannya. Ini ingatan Julia dan Yuri yang memasuki tubuh Julia tak punya banyak informasi tentang apapun. Tiga bulan adalah waktu yang lama, tapi tak cukup baginya mengikuti jalan yang sudah terlanjur Julia susuri bersama adiknya. Di mana tempatnya sekarang dan siapakah Julia, kenapa Yuri memasuki tubuh Julia. Pertanyaan-pertanyaan itu setiap hari mengisi kepalanya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun