"Haah! Dasar anak malang! Yuri, kapan terakhir kau merasa bahagia menjalani hidupmu? Apa kau mau hidup yang lebih baik? Apa yang akan kau lakukan jika mendapatkan kesempatan kedua, dan apa yang kau berikan padaku jika aku memberikannya?"
Jumat pagi yang cerah di musim panas. Tahun 2021 yang damai di kamar Yuri. Satu persatu pakaian telah tertata rapi di dalam koper. Dompet, paspor dan ponsel sudah nyaman di dalam tas kecil. Hari ini dia akan memulai perjalanannya menuju sebuah negara. Dia tidak sarapan. Apa yang dapat dia makan? Semua isi kulkas telas dikuras habis oleh Nyonya Han---ibu tirinya. Wanita itu pergi bersama teman-teman arisannya untuk naik gunung. Sedangkan Joy, adik laki-laki Yuri---lupakan saja pemuda itu. Dia masih terlelap dalam tidurnya. Pagi-pagi buta dia baru pulang di antarkan temannya dalam keadaan mabuk berat.Â
"Yuri ...."Â
"Selamat pagi, Ayah!" ucap Yuri setelah melihat ayahnya. Laki-laki paruh baya dengan pakaian lusuh, rambut acak-acakan dan aroma minuma keras mengelilinginya.
"Apa kau ada uang?"
"Bukankah aku sudah memberikan Ayah uang Rabu lalu?"
"Uang itu sudah habis, Yuri!"
"Uang itu tidak sedikit, Ayah! Apa Ayah berjudi lagi?" Yuri mulai kesal.
"Berikanlah Ayah uang, Yuri! Kali ini Ayah tidak akan berjudi. Semalam Ayah mimpi bagus, Ayah akan beli lotre. Dan kali ini pasti menang. Ayah janji hadiahnya akan Ayah bagi dua dengan mu," bujuk Ayah.
Yuri menatap tajam. "Tidak! Aku sudah muak Ayah. Apa bedanya judi dengan lotre? Mau sampai kapan Ayah seperti ini?"
Tanpa sepatah katapun Yuri meninggalkan Ayahnya di depan pintu. Laki-laki itu terus memanggil namanya, tapi gadis itu tidak peduli lagi. Uang hasil kerja kerasnya seakan menguap tanpa bekas setiap akhir bulan hanya untuk berjudi atau membeli lotre. Kali ini Yuri selamat tidak mendapatkan pukulan. Tapi tidak selama sepuluh tahun terakhir.Â
Langit tiba-tiba mendung, matahari tidak lagi terik dan angin bertiup kencang. Masih ada waktu menyantap sarapan di kafetaria kantor. Yuri duduk menatap kosong hamparan kapas kelabu yang menggantung di langit. Sesak dalam dadanya masih terasa bahkan ketika dirinya sudah melangkah jauh dari tempat tinggalnya. Hidup macam apa yang telah dirinya jalani---jika ada pilihan lain, gadis ini sungguh akan pergi.
Jarak tempat tinggalnya dengan kantor memang tidak jauh, lima menit lalu dia keluar dari pintu rumah dan sekarang gadis itu sudah duduk menyantap roti isi. Sarapan kesukaannya sejak dua tahun lalu. Menu yang selalu dia pesan, entah itu musim panas atau bahkan musim dingin---yang selalu berubah hanya minuman pendampingnya.Â
Hanya itu. Uangnya harus ia simpan baik-baik untuk mewujudkan mimpinya mempunyai usaha sendiri dan pergi dari kota ini. Terlalu banyak orang dan yang paling membuatnya muak adalah keluarganya yang tak hentinya meminta uang dan membuat masalah.
"Selamat pagi, Senior!" sapa salah seorang juniornya di kantor.
"Selamat pagi!" jawab Yuri
"Apa Senior tahu, Joy membuat keributan di Bar malam tadi?"
Yuri sejenak berhenti mengunyah roti, lalu menyambar gelas kertas berisi teh hangat. "Aku tak peduli dengan bocah itu." Mata Yuri menatap tajam.
"Sepertinya dia akan dalam masalah besar. Karena dia ribut dengan Pak Kepala Bagian di Divisinya," jelas sang junior.
"Aku tak akan melindunginya. Kau tahu kan, dia satu kantor dengan ku saja sudah membuatku susah. Apalagi jika aku membelanya. Aku tidak tahu siapa yang salah. Tapi aku tahu jika kebiasaan Joy saat mabuk itu sangat buruk. Aku harus segera pergi---kau nikmati saja sarapanmu."
"Senior---"
Angin laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Langit yang sudah memutih sejak satu jam lalu kini menghitam. Perkiraan cuaca sepertinya salah. Hari ini bukan hanya akan gerimis tapi akan ada badai. Gawatnya kapal yang Yuri dan rekan-rekannya sudah berlayar menjauh dari dermaga satu jam lalu. Kembali jauh melanjutkannya juga jauh. Tampak dari kejauhan kota mereka sudah di guyur hujan tapi angin seperti hanya ada di sekitar kapal mereka. Kapal mereka bergerak tak seimbang. Semua orang duduk cemas menatap lamat-lamat cuaca buruk di luar. Ombak berkali-kali menabrakkan dirinya ke lambung kapal.Â
Kapal ini cukup besar. Ini kapal feri untuk penyebrangan. Badai seperti ini harusnya tidak akan membuatnya tenggelam atau terdampar. Yuri bangkit dari tempat tidurnya. Sejak angin mulai bertiup lebih kencang dia memang menutuskan untuk berbaring, ada tempat tidur yang bisa ia gunakan di sana. Waktu yang harus ditempuh untuk menyebrang memang cukup lama, akan melelahkam jika hanya duduk-duduk saja.Â
"Kau mau ke mana, Yuri?"
Yuri menoleh. "Aku hanya ingin berjalan-jalan!"
"Cuaca di luar sangat buruk. Bukankah lebih baik kita di sini saja?"
Yuri tak menghiraukan ocehan rekannya. Dia terus berjalan melewati lorong dan bangku-bangku kemudian naik ke bagian geladak utama kapal. Angin memaksa masuk dan mengibaskan rambutnya---berantakan tak karuan. Sepuluh menit lalu Joy menghubunginya dan mengabarkan jika Ayah mereka mengamuk. Sudah biasa dan Yuri tak mau memikirkan itu. Dan lima menit lalu, Joy kembali memberinya kabar jika Ayah menemukan kalung milik Yuri. Benda paling berharga peninggalan sang Ibu. Ayah telah membawa kalung itu. Orang itu sungguh sudah tidak waras, hidupnya hanya di habiskan untuk berjudi bermain lotre dan jika uangnya habis tinggal merengek ke anaknya.
Sudah lama Yuri tidak menangis. Dan hari ini di bawah tampias air hujan Yuri duduk menangis meratapi nasibnya yang mengerikan. Hidup 30 tahun sebagai perempuan yang dipaksa kuat oleh keadaan.
Jika dulu alasan dia kuat adalah Joy, maka sekarang alasan dia tangguh adalah dirinya sendiri. Joy sudah dewasa dan tak jauh beda dengan Ayah. Pemuda tempramental yang suka mabuk dan pembuat masalah. Bertemu Ibu tiri yang sama sekali tidak merubah hidupnya jadi lebih baik malah semakin parah. Wanita hedonisme yang tak mau hidup susah dan gemar memaki.
"Ibu ..., Tidakkah Ibu melindungiku dari mereka? Apa aku tak pantas bahagia?" bisik Yuri. Air matanya mengalir deras menyaingi air hujan yang semakin lebat.
Tiba-tiba angin kencang dan ombak menghantam kapal. Kapal itu seketika miring kek kanan dan kiri membuat siapa saja yang tengah berdiri akan terjatuh.Â
"Ibu ..., Tolong aku!" teriak salah seorang anak. Tubuh kecilnya seolah terseret mengikuti condongnya kapal ke kanan dan ke kiri. Sang Ibu yang panik berteriak meminta tolong. Anak itu memang bandel sejak menaiki kapal tidak mau diam bahkan saat badai sudah muali menghantam kapal. Yuri menghentikan tangisnya, posisi anak itu paling dekat dengan hanya lima meter. Lantai yang licin membuat Yuri terpaksa melepas alas kakinya dan mendekati anak itu.
Sekali lagi angin menghempas kapal. Bersama denga anak itu Yuri terjatuh dan terseret keluar. Tidak hari ini bukan hari kematiannya bersama seorang bocah kecil itu. Yuri mendekap anak itu dengan satu tangan berpegangan pada sebuah tiang besi. Sebuah kotak besar menghantamnya.
BRAK...
Samar-samar masih terdengar anak itu menangis dalam pelukan Yuri.
"Hey, Nak! Siapa namamu?" bisik Yuri.
"Geral... Gerald, " ucap anak itu terbata-bata.
"Kau harus hidup. Bahagiakanlah Ibumu dan jangan pernah menyakiti wanita dan jangan---"
Kalimatnya terpenggal. Kesadarannya mulai hilang setelah sebuah benda tumpul mengenai kepalanya. Tidak ada yang dia harapkan selain anak yang baru saja memberitahukan namanya itu selamat.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H