Angin laut bertiup lebih kencang dari biasanya. Langit yang sudah memutih sejak satu jam lalu kini menghitam. Perkiraan cuaca sepertinya salah. Hari ini bukan hanya akan gerimis tapi akan ada badai. Gawatnya kapal yang Yuri dan rekan-rekannya sudah berlayar menjauh dari dermaga satu jam lalu. Kembali jauh melanjutkannya juga jauh. Tampak dari kejauhan kota mereka sudah di guyur hujan tapi angin seperti hanya ada di sekitar kapal mereka. Kapal mereka bergerak tak seimbang. Semua orang duduk cemas menatap lamat-lamat cuaca buruk di luar. Ombak berkali-kali menabrakkan dirinya ke lambung kapal.Â
Kapal ini cukup besar. Ini kapal feri untuk penyebrangan. Badai seperti ini harusnya tidak akan membuatnya tenggelam atau terdampar. Yuri bangkit dari tempat tidurnya. Sejak angin mulai bertiup lebih kencang dia memang menutuskan untuk berbaring, ada tempat tidur yang bisa ia gunakan di sana. Waktu yang harus ditempuh untuk menyebrang memang cukup lama, akan melelahkam jika hanya duduk-duduk saja.Â
"Kau mau ke mana, Yuri?"
Yuri menoleh. "Aku hanya ingin berjalan-jalan!"
"Cuaca di luar sangat buruk. Bukankah lebih baik kita di sini saja?"
Yuri tak menghiraukan ocehan rekannya. Dia terus berjalan melewati lorong dan bangku-bangku kemudian naik ke bagian geladak utama kapal. Angin memaksa masuk dan mengibaskan rambutnya---berantakan tak karuan. Sepuluh menit lalu Joy menghubunginya dan mengabarkan jika Ayah mereka mengamuk. Sudah biasa dan Yuri tak mau memikirkan itu. Dan lima menit lalu, Joy kembali memberinya kabar jika Ayah menemukan kalung milik Yuri. Benda paling berharga peninggalan sang Ibu. Ayah telah membawa kalung itu. Orang itu sungguh sudah tidak waras, hidupnya hanya di habiskan untuk berjudi bermain lotre dan jika uangnya habis tinggal merengek ke anaknya.
Sudah lama Yuri tidak menangis. Dan hari ini di bawah tampias air hujan Yuri duduk menangis meratapi nasibnya yang mengerikan. Hidup 30 tahun sebagai perempuan yang dipaksa kuat oleh keadaan.
Jika dulu alasan dia kuat adalah Joy, maka sekarang alasan dia tangguh adalah dirinya sendiri. Joy sudah dewasa dan tak jauh beda dengan Ayah. Pemuda tempramental yang suka mabuk dan pembuat masalah. Bertemu Ibu tiri yang sama sekali tidak merubah hidupnya jadi lebih baik malah semakin parah. Wanita hedonisme yang tak mau hidup susah dan gemar memaki.
"Ibu ..., Tidakkah Ibu melindungiku dari mereka? Apa aku tak pantas bahagia?" bisik Yuri. Air matanya mengalir deras menyaingi air hujan yang semakin lebat.
Tiba-tiba angin kencang dan ombak menghantam kapal. Kapal itu seketika miring kek kanan dan kiri membuat siapa saja yang tengah berdiri akan terjatuh.Â
"Ibu ..., Tolong aku!" teriak salah seorang anak. Tubuh kecilnya seolah terseret mengikuti condongnya kapal ke kanan dan ke kiri. Sang Ibu yang panik berteriak meminta tolong. Anak itu memang bandel sejak menaiki kapal tidak mau diam bahkan saat badai sudah muali menghantam kapal. Yuri menghentikan tangisnya, posisi anak itu paling dekat dengan hanya lima meter. Lantai yang licin membuat Yuri terpaksa melepas alas kakinya dan mendekati anak itu.