Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Winter Lily: Pemberian Sang Putri (bagian 17)

11 Juli 2023   21:31 Diperbarui: 12 Juli 2023   10:50 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu langit terlihat putih dan biru sekilas terlihat hijau dan sedikit ungu. Ruangan itu senyap. Hanya ada alunan musik dari kayu-kayu yang terbakar di perapian.

Para pelayan telah selesai memasukam semua barang bawaan rombongan dari Carperia. Jadwal mereka pulang memang sore itu. Tapi kepulangan mereka mundur hingga satu minggu dari yang seharusnya.

Nath menatap kosong ke luar jendela. Batinnya masih kacau. Seminggu yang lalu baru saja dia mengetahui sesuatu yang seharusnya membuatnya bahagia namun nyatanya tidak. Selepas dia terbangun. Tidak ada Ibu yang bisa dia sapa seenaknya---perempuan itu tetap jadi istri sang Raja yang Agung.

"Apa yang tengah kau pikirkan, Nona?" Claire baru saja mendorong pintu lebih lebar. Wajahnya terlihat sedikit pucat. 

Nath segera menunduk dan menyapa Sang Putri. "Selamat pagi, Yang Mulia," ucapnya.

"Aku mewakili Gradiana meminta maaf padamu. Mungkin selama kau di sini, ada banyak hal yang tidak kau sukai." Claire terlihat lebih santai dan tidak kaku dengan bahasa formal.

"Tidak-tidak. Sungguh! Aku suka istana ini. Aku sudah menganggapnya seperti rumahku sendiri---Aah tidak! Bagaimana bisa aku menganggap istana ini rumah. Maafkan saya, Yang Mulia." Pipi Nath memerah. Dibalas dengan senyuman oleh Claire.

"Kau gadis yang sangat menarik, Nath!"

"Pujian Anda terlalu berlebihan, Yang Mulia."

Calire mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. "Untukmu. Terimalah! Ini hadiah." Calire meletakannya di telapak tangan Nath. Gadis itu menatap tidak mengerti.

"Itu batu sihir." Wajah Claire berbinar. "Mungkin akan berguna untukmu suatu hari nanti atau untukku saat membutuhkanmu."

Dahi Nath berkerut. Tidak mengerti maksud dan tujuan sang Putri. "Terima kasih, Yang Mulia. Tapi sepertinya ini terlalu berlebihan." Nath mendorong kembali tangan Claire. Tapi Claire menahannya. "Ini tidak berlebihan. Batu ini cocok denganmu. Kau lihat. Dia memilihmu." Batu itu menghilang tatkala menyentuh telapak tangan Nath.

Batu itu berwarna merah muda seperti rubi. Bercahaya dan terasa hangat. Nath dapat merasakannya di telapak tangannya.

Matahari baru saja melewati tingginya pohon ek. Jelang tengah hari, rombongan Nath telah sampai di stasiun. Sebuah kereta tengah menunggunya. Semua barang telah dinaikkan. Tidak ada keluarga kerajaan yang mengantar. Mereka telah berpamitan sebelum mereka pergi menaiki kereta kuda---satu jam yang lalu. Ada perasaan yang menggantung di benak Nath. Sebuah perasaan yang dia sendiri tidak begitu paham. 

"Apa yang kau pikirkan?" Noah membuka pembicaraan. Sejak meninggalkan istana, adik perempuannya terlihat diam. Bahkan saat Jeremy mengucapkan lelucon dia tidak tertawa tidak juga tersenyum.

"Tidak ada. Aku hanya lelah saja!"

"Sungguh?" Noah tidak begitu saja percaya. "Jika ada yang mengganggu pikiranmu, katakan saja. Kakak akan selalu ada telinga untukmu." 

Nath mengangguk. "Kakak yang terbaik." Matanya menatap gerbong-gerbong kereta di depannya yang sebentar lagi akan membawanya kembali ke Carperia. Aroma batu bara dan vanila bercampur dalam satu rongga. Meliuk-liuk seakan mengucapkan selamat tinggal. Ini bukan akhir.

Segerombolan laki-laki bertubuh tegap dengan seragam prajurit mendatangi Noah. Mereka adalah utusan dari keluarga Duke Vandermork hendak menyampaikan pesan. Pesan itu diterima Noah dengan baik. Noah membungkuk sopan. Sebuah pesan peringatan. Ada kerusuhan di sebuah wilayah yang akan mereka lewati. Jaraknya cukup jauh. Dua hari lagi. Tapi ini penting.

"Apa yang harus kita lakukan?" Nath gelisah. Ini perjalanan pertamanya. Dia akan pulang tapi ada bahaya yang menunggunya di depan.

"Tenang saja, Nona. Kami akan mengantar hingga kereta melewati daerah itu." Salah seorang prajurit itu meyakinkan.

"Tenang saja. Kau punya dua Kakak laki-laki yang gagah pemberani." Lucas menepuk pundak Nath. "Masuklah. Anna pasti sudah menunggumu."

Perjalan mereka dimulai. Sama seperti saat mereka berangkat. Tiga gerbong dipesan khusus untuk rombongan keluarga Duke. Nath yang ceria, sekarang berubah jadi Nath yang pendiam. Gadis itu sejak dua jam memulai perjalanan hanya melihat luar jendela. Menatap kosong pepohonan yang hilir mudik tertinggal di belakang.

"Apa yang Anda pikirkan, Nona?" tanya Anna. Pelayan itu meletakan secangkir teh dan beberapa potong keik. Nath menoleh. "Aku tidak apa-apa, Anna. Kau beristirahalah. Perjalanan kita masih sangat jauh."

Anna mengangguk lalu meninggalkan ruangan yang kini hingga beberapa hari kedepan jadi kamar Nath itu. 

Jeremy berdiri menatap jendela. Langkah Anna, baru saja melewatinya. Sang pengawal tahu jika Nona mereka tengah dalam keadaan yang tidak biasa.

"Anna,"

"Saya, Sir Jeremy."

"Berhenti memanggilku seperti itu. Telingaku terasa gatal mendengarnya."

Anna tertawa kecil. Pipinya memerah---malu.

"Ada perlu apa, Anda memanggil saya."

"Apa Nona ..., "

"Sepertinya Nona ingin sendiri."

"Oh! Baiklah."

Anna tersenyum kemudian membungkuk. "Saya ada di kamar saya jika Anda membutuhkan saya."

Jeremy membalasnya dengan senyuman.

Tidak ada suara lain. Selain suara deru kereta yang tengah berjalan melewati hutan. Menembus kabut menerjang hujan. Nath masih terdiam dalam kesunyiannya di atas kasur empuknya. Sesekali menatap jajaran pepohonan yang seolah berlarian meninggalkan mereka. Jeremy memutuskan untuk menemui Nath di hari berikutnya. Selepas Anna mengantarkan sarapan. "Bolehkah saya masuk, Nona?" ucap Jeremy seraya mengetuk pintu.

"Masuklah!"

Jeremy membuka pintu kecil yang hanya muat satu orang itu. Membungkuk memberi salam.

"Ada apa?" tanya Nath

Kamar itu tidak seluas kediaman Duke atau bahkan asrama yang biasa Jeremy tempati saat di Carperia. Tentu saja. Itu hanya gerbong kereta api yang di ubah jadi sebuah ruangan dengan tempat tidur. Hanya ada ranjang kecil. Tapi cukup untuk seorang beristirahat. Kecil untuk ukuran bangsawan. Ada sebuah meja di samping jendela dengan dua kursi sebagai pendampingnya. 

"Apa yang menggangu pikiran Anda, Nona!" ucap Jeremy selepas menutup pintu.

Nath meletakkan cangkir tehnya. Tangannya beralih, memaksa Jeremy mendekat. Nath mengeluarkan sebuah benda berwarna merah dari tangannya. Dari dalam telapak tangan tepatnya.

"Batu Rubi ...!" Jeremy terkejut bukan main. "Dari mana Anda mendapatkannya. Batu itu sangat berharga. Tidak sembarang orang dapat menyentuh apalagi memilikinya," Jeremy tiba-tiba sangat bersemangat.

"Tuan Putri memberikannya padaku."

Jeremy menggeleng. "Putri Claire? Memberikan benda itu Cuma-Cuma kepada Anda?"

Nath mengangguk.

"Saya tahu sedikit tentang kisah Batu Rubi itu. Kalau tidak salah, usianya sudah ratusan tahun sejak pertama kali diremukan di tambang batu sihir milik kerajaan. Seorang penambang yang menemukannya tewas sesaat setelah menemukan batu itu. Bahkan beberapa orang mengatakan bahwa selama ratusan tahun batu itu tidak bertuan. Hingga akhirnya Raja Gabriel sendiri menyerahakan nyawanya untuk memiliki batu itu."

Dahi Nath berkerut mendengarkan setiap kata yang Jeremy ucapkan. "Kau yakin?"

Jeremy mengendikkan bahunya. "Itu cerita yang aku tahu." Jeremy memegangi dagunya seolah berpikir. "Katanya batu itu memilih pemiliknya. Tapi entahlah. Batu itu harusnya sangat berharga, dan tidak sembarang orang dapat melihat dan menyentuhnya. Tapi aneh---bagaimana bisa Putri Mahkota memberikannya pada Nona dengan begitu mudah!"

"Aku tidak tahu."

Nath menatap lekat-lekat benda di tangannya itu kemudian memejamkan matanya. Ada sebuah bayangan yang muncul tiba-tiba. Suara Claire dan suasana di istana. Nath membuka matanya kembali.

"Ada apa, Nona?" Jeremy penasaran.

"Apa menurutmu batu ini selalu terhubung dengan istana?"

"Mungkin saja, Nona! Apa Nona melihat sesuatu tadi?"

Nath mengangguk."Aku melihat istana dan suara Putri." Dia memang melihatnya. Jelas dan sangat jelas. Calire yang tengah belajar, Raja yang tengah mengadakan rapat. Ratu yang sedang menjamu tamu. Hingga Vederick yang sedang tidur di atas pohon.

Senja telah menyapa mereka. Terlihat jelas jingga di atas kerlipan air-air laut. Kereta mereka tengah melewati pesisir laut mati di samping padang gurun ketika sekelompok orang menaiki kuda melompat di antara selah dua gerbong.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun