Â
Obrolan konyol DenganUS : Aku sedang gak punya ide topik apa yang mau ku tulis di Kompasiana . Kita ngobrol aja yuk, Meta.
Meta : Dengan senang hati, Usi, apa yang ingin anda diskusikan?
US : Bukan diskusi! aku mau cerita aja, ada yang lucu, yang masih ku ingat saat aku masih berseragam merah putih.
Lalu aku menulis cerita seperti ini biar dibaca oleh Meta, nanti kalau sudah selesai, aku minta dikomentari, begini ceritanya;
Waktu itu Bu Guru, bertanya, " apa cita-cita kalian kalau sudah besar nanti?"
Satu persatu teman-teman ku, angkat tangan. Jawabannya maca-macam.
Ada yang ingin jadi polisi, supaya bisa menangkap pencuri, katanya. Karena telur ayamnya yang sedang dieram oleh induknya setiap hari hilang satu, gerrr..
Paling juga diceplok buat kamu sarapan! Ada yang nyeletuk begitu. Reaksi kepala anak-anak satu kelas macem-macem, ada yang ngikik, ada yang ngakak.
Bu Guru cuma senyum -senyum dikulum.
Giliran teman berikutnya, dia ingin menjadi dokter kucing, gerrrr---lagi suasana  kelas lebih heboh, seperti ada tawon beterbangan yang diganggu sarangnya.
Dokter hewan tah? kata temen yang lain lagi.
" Mengapa ingin menjadi dokter kucing?" tanya, Bu Guru, sambil menahan tawa.
Kata temanku itu, supaya bisa menyembuhkan kucing- kucing yang sakit, karena pas kucingnya sakit, di desa kami tidak ada dokter kucing, Â seandainya ada dokter kucing, mungkin kucing peliharaannya bisa diobati.Â
Bu Guru, lagi lagi cuma mesam- mesem aja.Kali aja belio ingat mass kecilnya sendiri dulu ya?
Eh, Kok, Bu Guru, lalu mendekatiku dan bertanya apa cita-cita ku?
Aku sebenarnya tidak mengangkat tangan, lah kok malah dapat giliran ditanya.Gimana sih, Bu Guru ini, dalam hatiku protes, tapi tetap harus kujawab dengan jujur, kan?
"Saya belum punya cita-cita, Buk," jawabku Teman-teman ku pada ngikik, dikira lucu, padahal aku menjawab apa adanya.
Memang bener, aku jujur kok, belum punya cita-cita yang nyangkut di kepalaku. Dan aku dilarang berbohong oleh ibuku. Mengapa bicara jujur malah ditertawakan?
--
Waktu terus berjalan maju, tibalah saatnya ak berseragam abu-abu putih, aku mulai berpikir tentang cita-cita. Aku ngin begini, begitu, ingin ini, ingin itu, banyak sekali keinginan ku, padahal cita-cita itu seharusnya kan cuma satu,ya.
Aku jadi bingung, yang mana dulu yang lebih penting lekas diwujudkan? Gantian atau bertahap gitu ya. Kan gak mungkin sekaligus diraih semua.
OOh, iya, aku pernah membaca majalah remaja, ada pepatah yang berbunyi,"Gantungkan cita-citamu setinggi langit,"
Sejak itu aku sering keluar mala-malam sebelum tidur.Itu dulu di kos-kosan ya, Â kebetulan kamarku di loteng, ada balkon nya. Aku sewa sendiri kamar itu, kalau tidur bersama teman, sering gak cocok.
Aku berdiri mendongak ke langit, bintang-bintang berkelap-kelip indah sekali, lamaaaa--- ku pandangi indahnya malam, terlebih bila sedang purnama.
Ku pejamkan mata, berkhayal seakan sedang terbang tinggi ke langit,dan ku  gantungkan satu persatu cita-cita ku. Suatu saat akan ku petik juga satu demi satu. Pikirku.
Setelah itu aku tidur, pulas, nyenyak, tidak pernah bermimpi, sampai bangun pagi Apa mungkin bintang -bintang di langit itu yang bermimpi tentang diriku.
Setiap mau berangkat ke sekolah, aku  mendongak ke langit dulu, memastikan gantungan cita-cita ku masih aman di tempatnya, belum ada yang memetik.
Tapi kalau siang tidak kelihatan, kalau malam indah sekali, dibawah langit dan bintang yang kerlap kerlip.
Mimpi ku ada syang sederhana saja sih, tapi ada juga yang 'wah' --- aku ingin negeri ini hidup rakyatnya sejahtera, katanya kekayaan negeri ini banyak sekali, kenapa banyak orang hidupnya melarat? Mungkin kebanyakan pejabat yang korupsi ya.
Keinginan ku yang'wah' adalah -- nah, ini baru cita-cita namanya. Aku ingin bekerja yang bisa naik pesawat, tebang ke belahan dunia di ujung kutub dari ujung ke ujung dunia. Mungkin aku harus bekerja di kedutaan, naik pesawatnya kan biaya dari negara, asyik kan?
 Dan satu lagi, aku ingin pacarku seganteng Brad Pit, tinggi jangkung, berkumis tipis, senyumnya manis.
Dan tahukah kamu?Â
Cita-cita yang ku gantungkan di langit, sebagian sudah dipetik orang lain, aku kalah cepat, atau otakku yang mampet? Entahlah!
Mungkin bukan takdir ku. Tuhan memberi kita kekurangan pun kelebihan.
Dan tentang dunia tulis- menulis ini, Â aku merasa tidak pernah menggantungnya di langit, mungkin ada orang lain yang memetik mimpi untuk ku.
Meski begitu, aku perlu mengucapkan terima kasih, memang aku seperti tersesat di Kompasiana, tersesat di belantara kata.
Dan masih banyak lagi keinginan ku/cita-cituku, nanti kamu bosan, kepanjangan.
Sila beri komentar!
 Klik.
Kukirim ke Meta AIÂ
Tunggu jawabannya.
Hanya sepersekian detik, jawaban muncul.
Meta AI : Cerita anda belum selesai, silakan lanjut, Meta AI idak diprogram untuk bosan melayani pengguna.
Ha ha ha...lain kali kita ngobrol lagi.
Sekarang biar pembaca saja yang memberi komentar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H