'Naik mendaki turun terjun'Â
"Aku mulai dari bawah, mendaki naik, sampai berdiri konveksi ini. Lalu covid menyerang, makin hari terus susut pendapatan. Apakah kita akan turun terjun pula?"satu pertanyaan yang tak memerlukan jawaban.
Matanya sayu menerawang jauh seakan hendak menembus batas dinding. Kesehatannya terus menurun dari hari ke hari, namun menolak untuk rawat inap di Rumah Sakit.
"Aku ingin mati di rumahku sendiri."kata ibuku.
Aku berusaha menahan embun di mata agar tak luruh. Ku genggam erat tangannya yang kian rapuh.
"Kesehatan ibuk lebih penting, tidak perlu merisaukan yang lain." bisikku lirih.
"Iya...kita mati tanpa membawa harta.. " terbata-bata ucapnya. Setitik bening mengalir diantara pejam mata tuanya.
Dua hari kemudian, mata itu terpejam dalam tidur abadinya. Ketika ajal datang menjemput, kita manusia tak mungkin bisa  menunda waktunya. Aku harus ikhlas agar terangi jalannya.
Padahal aku  sedang mempersiapkan pernikahan bulan depan.
---
Pada tanggal yang sudah kami rencanakan pernikahanku tetap berlangsung. Mas-ku saudara ku satu-satunya sebagai wali yang menikahkan aku dengan Sofyan. Lelaki dari pulau seberang. Sebatas acara akad nikah di KUA. Selesai.
 Setelah sah sebagai suami istri, Sofyan meninggalkan rumah kontrakannya dan pindah ke rumahku.
Meskipun kami pengantin baru, tetapi situasi sungguh jauh dari bayangan ku semula. Hidup di kota metropolitan serasa tidak menarik lagi bagiku. Terlebih setiap sudut di rumah selalu membangkitkan kenangan akan ibuku.
Membaca kondisi batinku, Sofyan melontarkan idenya,"ayo  kita pulang ke kampungku saja, hidup di Jakarta lama kelamaan nyesekin dada."
Kupikir itu cuma omongan sambil lalu, jadi tidak ku tanggapi.
Ternyata omongan itu diulangi lagi besoknya dengan tambahan,"ntar aku mau mengambil alih kebun bapak yang diurus oleh pamanku"nah, pikiran ku mulai terbuka.
"Lalu aku bisa kerja ngapain di sana?"
"Suka-suka dikau aja, ga ngapa-ngapain juga gak masalah!"jawabannya seperti candaan.
"Kupikir -pikir dulu, apa yang bisa ku kerjakan di sana dan jadi cuan, mana enak biasa kerja jadi mager." kami mulai bercanda lagi.
Tanpa membuang lebih banyak waktu, aku sampaikan niat suamiku kepada Mas ku, dan dia merestuinya.
Kemudian kuberitahu Sofyan,"ayo kita mulai bersiap, apa-apa yang perlu kita bawa."aku butuh bergantian suasana, di desa pastinya bebas polusi, udara lebih sehat
"Yakin? mantep? dikau gak takut menderita, Yang? biasa hidup di metropolitan lalu ke desa, banyak hal yang tidak mudah loh!" tawanya menggoda.
"Ah, siapa takut! kan ada dirimu, Say." sahutku riang. Sekarang aku lebih bersemangat.
Sejak jadian 3 tahun lalu, kami saling memiliki panggilan khusus 'say' untukku ke dia, dan 'yang' darinya ke aku, hu hu..
Aku sebagai istri pendamping suami harus selalu mendukung keputusannya jika itu demi kebaikan keluarga bukan?
Setelah pandemi covid perekonomian kaum menengah sungguh terengah-engah. Di tengah kondisi yang sulit diprediksi, kita musti gerak cepat melangkah.
Konveksi ibu sudah dalam pengawasan Mas ku. Aku hanya akan membawa satu mesin jahit portabel dan mesin obras serta alat-alat jahit yang diperlukan. Benda ini sangat penting sebagai modal keja di sana.
---
Bagaikan sirih kembali ke gagang.
Sofyan membawaku pulang ke kota asalnya, di sebuah desa yang termasuk wilayah Kabupaten Kotabumi, Lampung Utara.
Ibu mertua menyambut kedatangan kami dengan sikap biasa saja. Aku sedikit baper. Ah, mungkin memang begitu pembawaannya. Karena baru pertama bertemu.Kutepis sendiri penilaian negatif ku.
Suamiku  adalah anak bungsu dari enam bersaudara, laki-laki semua, orang jaman dulu menganggap banyak anak banyak rezeki kan?Â
Ibu mertua hanya tinggal berdua dengan salah satu keponakannya. Sementara kakak -kakak Sofyan berpencar di berbagai kota. Beliau berbadan gemuk karena obesitas, kedua kakinya seakan sangat berat menyangga tubuhnya.
Jadi, ketika aku masak sayur dan lauk atau makanan apapun yang ku masak, pertimbanganku adalah supaya memenuhi kebutuhan kesehatannya.Makanan yang mudah dicerna oleh seorang lansia.
Namun apa yang terjadi?
"Gulai tu ape tini? be kuah bening lok kencing!" sambil mengaduk-aduk sayur bening bayam, sendok sayurnya diketuk-ketuk ke bibir mangkoknya.
Begitu kah caranya menghargai jerih payahku? Sedangkan aku sudah banyak kesulitan di dapur. Ibunya takut menggunakan kompor gas. Hari gini masih masak di tungku dengan kayu bakar? Tubuhku bau sangit asap, pantat panci jadi berjelaga.
Duuh!
Maksud bicaranya tadi begini, ini sayur apa? kuahnya bening seperti kencing?
Kata suamiku, kesukaan ibunya memang makan sayur bersantan, ada sayur bening dia bilang kuahnya seperti kencing. Tidak menyadari bahwa santan dan makanan berlemak itu buruk untuk kesehatan.
Parahnya lagi, beliau pikir asalkan obatnya rutin diminum, makan makanan apapun tidak masalah.
Nah Lo! Apa gak puyeng anak dan mantu dibuatnya. Kapan sehatnya kalau gaya hidupnya tidak diubah.
Asli, dalam hatiku rada be te, tapi segan berbantah dengan orang tua.
Maka suamiku yang berupaya memberi pengertian." Umak coba makan saja dulu, lalu dirasakan apakah ada perubahan dari sakit Mak sebelumnya?" lembut tuturnya. Nah betul. Itu mewakili yang ingin kukatakan ke ibunya.
Dari hari ke hari tampak mulai ada perubahan, mertuaku sudah mulai berkurang keluhannya. Nyeri sendi karena asam uratnya tentunya berangsur hilang.
Kalau pagi ku ajak berjalan-jalan, saat sinar matahari mulai terasa hangat.Â
Cuma berjalan antara rumah ke kebun di belakang perkampungan. Hawanya sejuk, pemandangan hijau oleh tanaman padi dan sayur mayur, di kejauhan tampak kebun kopi dan cengkeh.
Kalau berpapasan dengan orang di jalan, beliau berkabar berita," ini menantuku, istri Sofyan, sekarang mereka pindah ke sini, tidak balik ke Jakarta lagi."
Lalu orang akan menjawab,"syukurlah, akhirnya Sofyan mau ngurus kebun."
Ketika menjelang duhur, aku mengirim makan siang dan membawa piranti untuk mandi, serta seperangkat alat sholat buat suamiku di kebun. Kadang aku memetik biji kopi yang sudah merah.Beda banget rasa kopinya dengan kopi yang selama ini ku minum.
Memetik pucuk daun singkong dan menjebol singkongnya sekalian. Betapa menyenangkan mengalami hidup di desa.
Menjelang sore kami beriringan berjalan pulang. Menyusuri jalan setapak dan menyebrangi sungai kecil yang airnya jernih nan segar.
Sambil bergurau, kukatakan, " hidup kita kadang seperti candaan, jauh-jauh ke Jakarta kuliahnya di fakultas pertanian, tetapi setelah lulus bukannya pulang ngurus kebunnya, eh..dirimu malah kerja di finance!"
"Lah, dikau juga, Yang, serius abis belajar ilmu hukum, yaelah... berakhir di depan mesin jahit!"
Ha ha ha...kami barengan tertawa sambil berlari kecil menuruni bukit.
Sisi lain dari pandemi covid ternyata ada positif nya buat kami.
--
Pada hari-hari jeda ke kebun, suamiku membantu mengeluarkan mesin jahit dan alat-alat jahit yang kubawa, meletakkan di ruang tamu. Mengatur kabel colokan ke listrik dengan aman.
Aku menyibukkan diri dengan menjahit baju-baju ibu mertua atau apapun barang yang sobek dan perlu diperbaiki.
Tetangga yang mendengar suara mesinku lalu datang, melihat dan bertanya-tanya, maksudnya aku sedang menjahit apa?Apakah aku bisa menjahit baju juga?
Bisa banget! Suamiku yang memberi jawaban dan lalu berpromosi dengan gaya jenakanya.
Nah, mulailah satu persatu dan dari mulut ke mulut, akhirnya aku dikenal sebagai penjahit busana muslim.
Aku menyediakan kain potongan-potongan juga, jadi yang ingin dijahitkan bajunya, bawa duit aja, pilih kain yang sesuai selera lalu mau model yang bagaimana, lalu diukur badannya, dua atau tiga hari sudah jadi deh, bajunya. Mereka senang sekali, karena aku tidak menarik ongkos mahal.
Uniknya, ada juga yang belum punya uang tapi butuh baju baru untuk kondangan. Boleh dibayar nanti kalau sudah petik kopi? tanyanya. Boleh saja, jawab ku. Mereka orang -orang yang lugu dan jujur.
---
Seiring berjalan waktu, kami memutuskan untuk menetap, termasuk membuat Kartu Keluarga. Terlintas niatku untuk merintis membuka usaha konveksi.
"Ide cerdas! tentu saja aku mendukung dengan segenap jiwa ragaku." kata lelakiku merespon.
Alhamdulillah, puji syukur, Tuhan akan selalu membuka pintu rezeki jika kita bekerja keras dan ikhlas.
Sebagaimana pepatah berkata 'ada batang cendawan tumbuh'
Di mana hidup kita, di situ rezeki ada.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H