Orang -orang yang berhasil menggapai mimpi, sebagian besar karena mampu memanage waktunya. Menyadari bahwa waktu adalah hal yang sangat berharga.
Pada setiap detik yang berjalan tak mungkin bisa diputar ulang.
Maka manfaatkanlah waktu kita dengan bijak, jangan disia-siakan.
---
Di bumi tempatku berpijak saat ini, waktu sedang mengunciku dalam pergulatan batin yang menyesakkan dada.
Teman suamiku yang mengajaknya untuk bisnis kayu katanya, ternyata itu perdagangan yang ilegal alias melanggar hukum. Dia terciduk oleh aparat. Sudah otomatis suamiku pun terbawa-bawa. Meski katanya tidak ikut andil modal.
Satu minggu dia ditahan di Polsek untuk dimintai keterangan.
Siang malam aku memutar otak, mencari cara mengeluarkannya. Tak urung uang juga yang harus bicara. Padahal itu uang belanja terakhir yang kupegang.
Niat serta tekadku untuk bertahan, memaksaku berpikir keras mencari jalan keluar dari masalah yang kami hadapi.Â
Apa yang sekiranya bisa kulakukan? Di tempat baru. Di desa kecil yang mayoritas penduduknya petani kopi. Pun adat istiadat yang berbeda dengan asalku.
Pastinya harus mengandalkan kemampuan sendiri.Jauh dari sanak saudara dan orang tua, serta para sahabat.
Terngiang ucapan bapakku saat melepas kepergian putri sulungnya."jangan pernah meninggalkan sholat lima waktu. Cobaan dan ujian yang diberikan Tuhan tidak akan melampaui batas kekuatan manusia itu sendiri, yakinlah!"
Jadi inilah artinya.Msalah sebelumnya belum tuntas teratasi, sekarang malasah baru harus ku hadapi. Apakah itu artinya Tuhan menilai aku masih akan kuat menghadapi ujian-Nya?Â
---
"Maafkan aku.." kata suamiku dalam nada sesal. Awan berkabut di wajahnya  ketika akhirnya Ia dipulangkan.
Bagiku itu sudah cukup untuk mengerti.
" Aku belum berterus terang tentang pekerjaan di sini. Maksudku tadinya, aku sedang mencari modal dan ingin membuka usaha sendiri." sambungnya.
"Semua sudah terjadi, kata maaf saja belum akan menyelesaikan masalah kita."Â
Waktu tidak bisa diputar mundur.
"Membuka usaha sendiri apa yang kau maksud?"tanyaku.
Tatapnya tajam, seakan ragu bicara.
"Aku ingin jadi pengepul, membeli kopi dari petani, lalu menjualnya lagi ke bos besar di Kotabumi atau di Tanjung Karang, begitulah pergerakan hasil bumi di sini," jawabnya bersungguh -sungguh.
"Nah, ayo kita lakukan itu!"spontan saja respon ku.
"Jangan terburu -buru." jawabnya ragu.
"Tidak! ini bukan terburu-buru tetapi tentang waktu, jangan buang waktu sia-sia.Bukankah katamu sekarang sedang musim? Dan menjelang panen raya kopi.? Ini waktu yang tepat untuk kita memulai. Ini peluang yang harus kita manfaatkan!" aku menjadi antusias. Ada harapan yang tergambar.
Hendar, masih belum yakin tampaknya.
"Ooh, tentang modalnya? kita pakai uang tabunganku, kalau kurang, jual juga  perhiasan emasku."aku berusaha menepis keraguannya.
Suamiku seakan tidak percaya apa yang kukatakan.Yang ada dalam pikiran ku saat itu, bahwa kami harus menyambung hidup.Â
"Tapi itu milikmu, uang itu juga mahar yang kuberikan padamu ."alasannya.
"Naah, jangan bertele-tele, kita ini suami istri, bagiku tidak ada kata milikmu dan milikku, mulailah berkata 'kita' dari sekarang, dalam segala hal!"nada suara ku agak kesal.
--
Hari itu pas hari kalangan, maksudnya hari pasaran seperti di Jawa. Ada satu hari dalam seminggu para pedagang banyak berdatangan dari luar daerah. Pasar menjadi lebih ramai.
Aku bersama Malini ke pasar. Kebetulan dia membawa beberapa kg kopi yang hendak dijual lalu uangnya buat belanja bahan makanan yang akan dibawa ke kebun. Memetik kopi lagi lalu dijual lagi . Begitulah siklusnya petani kopi, kata Malini.
Sampai di pasar, ku amati lebih detail tentang jual beli kopi itu.
Oh, berarti kami harus memiliki tempat kalau begitu. Saat itu juga sambil belanja kami juga mencari info sekiranya ada tempat atau kios kecil yang disewakan. Kupikir uang yang ada harus dibagi untuk modal juga.
Berjalan- jalan sambil pulang, belum ada harga yang cocok sesuai budget yang ada. Sulit juga ternyata.
Besoknya lagi, aku dan suamiku menjelajah sekitar pasar. Belum dapat, belum dapat harga yang terjangkau.
Besoknya lagi, begitu lagi. Setiap hari kami mencari dan terus mencari.
Bukan perkara mudah mencari harga sewa sesuai dengan rencana anggaran. Tapi bukan berarti tidak ada. Aku yakin pasti ada. Hanya belum ketemu sajaÂ
Untungnya suamiku bukan orang asing di desa ini. Bertanya-tanya kepada kenalan dan kerabatnya barulah mulai ada titik terang.
Ada tempat bekas garasi yang kosong, karena mobilnya sudah dijual, agak jauh dari pasar tapi kata suamiku itu tidak masalah.Katanya kami tidak harus duduk di situ menunggu orang datang menjual kopinya tetapi dia akan jemput bola ke kebun-kebun saudara atau kenalannya. Nah, ok, aku setuju.
Bismillah, setelah dibersihkan, besoknya kami mulai buka usaha ha kecil-kecilan, jual beli kopi.
 Bekas garasi yang kami sewa sekaligus sebagai tempat tinggal. Setelah disekat dengan triplek dibagi menjadi 2 ruangan. Untuk dapurnya , boleh memakai ruang di belakangnya. Alhamdulillah.
Penjual kopi cukup ramai berdatangan bila bertepatan dengan hari kalangan. Orang-orang yang datang memang belum membawa banyak kopi. Karena belum musim panen raya.Tapi berapa pun orang menjual tetap kami  beli,  1 kg, atau 2 kg, kami terima semua. Ada yang setengah kering, ada yang sudah kering.Pokoknya, kami tidak pernah menolak walaupun cuma sedikit.
Aku tahu, ibu-ibu yang menjual kopi sedikit itu, mereka membutuhkan uang untuk membeli beras dan bahan makanan lalu  dibawa ke kebunnya. Nanti  kalau sudah memetik kopi lagi, suamiku sudah berpesan agar dijual kepada kami lagi.
Begitulah hari -hari berjalan. Kami selalu bangun dini hari, ada mesjid terdekat terdengar mengumandangkan adzan subuh. Setelah sholat subuh, aku memasak sebisaku, yang penting ada nasi. Sayur dan lauk mateng dibeli di warung.
Seumur-umur aku belum pernah masak sendiri.Di rumah ibukku, ada Bu Lek yang masak. Di rumah bapakku ada pembantu, karena ibu tiriku juga bekerja. Praktis aku tinggal makan.
Apalagi mencuci, jarang sekali. Di rumah ibuku, ada tukang cuci yang datang setiap pagi. Di rumah bapak, malah sudah ada mesin cuci. Seolah aku dimanjakan oleh keadaan. Sekarang harus mulai belajar menjadi ibu rumah tangga.
Tidak terasa waktu seakan cepat bergulir, Alhamdulillah, walaupun kami belum mendapatkan banyak keuntungan, setidaknya ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari -hari.
Bersyukur, biaya hidup di desa tidaklah semahal di kota besar. Ditambah lagi, aku sering mendapat kiriman sayur mayur dari Malini dan kerabat Hendar yang lain. Katanya itu tanaman tumpang sari di kebun kopinya.Â
---
Jika kita lebih cermat menelaah masalah, sebenarnya, pada setiap masalah yang datang, ada hikmah yang tersembunyi.
Kita hanya perlu menghadapi dengan sabar sambil mencari jalan keluar.
Seperti yang ku alami. Karena suamiku terlibat hal ilegal, lalu kehilangan pekerjaan otomatis kehilangan penghasilan.
Hikmahnya kemudian, anak dan istrinya tidak mendapat nafkah dari uang haram.
Dan dalam perjalanan pernikahan, mungkin kita tidak mendapatkan pasangan yang sempurna. Namun jika kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan bahagia bersama, itu berarti kita mampu mencegah diri dari kejatuhan.
Pasangan yang saling mengisi, saling melengkapi, akhirnya menjadi kuat bersama.
Sekian.
Sampai jumpa pada cerita kehidupan selanjutnya, insyaallah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H