"Aku ingin jadi pengepul, membeli kopi dari petani, lalu menjualnya lagi ke bos besar di Kotabumi atau di Tanjung Karang, begitulah pergerakan hasil bumi di sini," jawabnya bersungguh -sungguh.
"Nah, ayo kita lakukan itu!"spontan saja respon ku.
"Jangan terburu -buru." jawabnya ragu.
"Tidak! ini bukan terburu-buru tetapi tentang waktu, jangan buang waktu sia-sia.Bukankah katamu sekarang sedang musim? Dan menjelang panen raya kopi.? Ini waktu yang tepat untuk kita memulai. Ini peluang yang harus kita manfaatkan!" aku menjadi antusias. Ada harapan yang tergambar.
Hendar, masih belum yakin tampaknya.
"Ooh, tentang modalnya? kita pakai uang tabunganku, kalau kurang, jual juga  perhiasan emasku."aku berusaha menepis keraguannya.
Suamiku seakan tidak percaya apa yang kukatakan.Yang ada dalam pikiran ku saat itu, bahwa kami harus menyambung hidup.Â
"Tapi itu milikmu, uang itu juga mahar yang kuberikan padamu ."alasannya.
"Naah, jangan bertele-tele, kita ini suami istri, bagiku tidak ada kata milikmu dan milikku, mulailah berkata 'kita' dari sekarang, dalam segala hal!"nada suara ku agak kesal.
--
Hari itu pas hari kalangan, maksudnya hari pasaran seperti di Jawa. Ada satu hari dalam seminggu para pedagang banyak berdatangan dari luar daerah. Pasar menjadi lebih ramai.