Penjual kopi cukup ramai berdatangan bila bertepatan dengan hari kalangan. Orang-orang yang datang memang belum membawa banyak kopi. Karena belum musim panen raya.Tapi berapa pun orang menjual tetap kami  beli,  1 kg, atau 2 kg, kami terima semua. Ada yang setengah kering, ada yang sudah kering.Pokoknya, kami tidak pernah menolak walaupun cuma sedikit.
Aku tahu, ibu-ibu yang menjual kopi sedikit itu, mereka membutuhkan uang untuk membeli beras dan bahan makanan lalu  dibawa ke kebunnya. Nanti  kalau sudah memetik kopi lagi, suamiku sudah berpesan agar dijual kepada kami lagi.
Begitulah hari -hari berjalan. Kami selalu bangun dini hari, ada mesjid terdekat terdengar mengumandangkan adzan subuh. Setelah sholat subuh, aku memasak sebisaku, yang penting ada nasi. Sayur dan lauk mateng dibeli di warung.
Seumur-umur aku belum pernah masak sendiri.Di rumah ibukku, ada Bu Lek yang masak. Di rumah bapakku ada pembantu, karena ibu tiriku juga bekerja. Praktis aku tinggal makan.
Apalagi mencuci, jarang sekali. Di rumah ibuku, ada tukang cuci yang datang setiap pagi. Di rumah bapak, malah sudah ada mesin cuci. Seolah aku dimanjakan oleh keadaan. Sekarang harus mulai belajar menjadi ibu rumah tangga.
Tidak terasa waktu seakan cepat bergulir, Alhamdulillah, walaupun kami belum mendapatkan banyak keuntungan, setidaknya ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari -hari.
Bersyukur, biaya hidup di desa tidaklah semahal di kota besar. Ditambah lagi, aku sering mendapat kiriman sayur mayur dari Malini dan kerabat Hendar yang lain. Katanya itu tanaman tumpang sari di kebun kopinya.Â
---
Jika kita lebih cermat menelaah masalah, sebenarnya, pada setiap masalah yang datang, ada hikmah yang tersembunyi.
Kita hanya perlu menghadapi dengan sabar sambil mencari jalan keluar.
Seperti yang ku alami. Karena suamiku terlibat hal ilegal, lalu kehilangan pekerjaan otomatis kehilangan penghasilan.