:
"Ibu, ayo kita sarapan."
Aku menuntun tubuh Ibu yang cantik dan pucat ke kursi makannya di sebelah kanan Ayah. Lalu setelah Ayah mencium kening dan tangannya kami pun mulai makan. Ibu hanya duduk, tersenyum, mengucapkan selamat pagi dan menemani kami makan. Ibu tak lagi terlihat menikmati sarapan bersama kami. Kata Ayah, jadwal makan Ibu berbeda dengan kami. Mungkin karena Ibu masih sakit.
Setelah itu Ayah dan Ibu akan duduk di teras, mengobrol, lebih tepatnya Ibu mendengarkan Ayah bicara, sampai aku berangkat sekolah dan Ayah akan menggendong Ibu ke tempat tidurnya di kamar kerja Ayah. Ya, semenjak kecelakaan setahun yang lalu, Ibu selalu tidur di ranjang yang ada di kamar kerja Ayah.
Saat malam tiba, setelah makan malam Ayah akan mendudukkan Ibu di sofa ruang keluarga. Ayah akan mengobrol dengan Ibu sedangkan aku belajar di meja makan sampai waktu tidur tiba dan Ayah akan kembali menggendong Ibu ke kamar untuk beristirahat. Seperti itulah rutinitas kami selama setahun ini.
Sebenarnya aku sangat merindukan Ibu yang dulu. Ibu yang hangat, cerewet, pandai memasak dan suka mengomel. Ibu juga selalu mengajari aku apa saja, dari mengerjakan PR sampai memanjat pohon. Oya, Ibu juga selalu membacakan aku buku cerita menjelang tidur malam dan menyiapkan bekal sekolah spesial setiap pagi. Kata Ayah, sekarang segalanya tak akan pernah sama lagi.
Suatu malam, aku bermimpi Ibu memelukku dan menangis. Ibu bilang ia lelah dan ingin pulang. Tapi, bukankah di sini rumah Ibu? Waktu aku tanyakan hal itu kepada Ayah, ia marah dan menutup ruang kerjanya dengan keras dan tak keluar kamar sampai waktu makan malam tiba.
Aku juga heran kenapa sekarang tangan Ibu menjadi dingin, dan ia hanya bisa tersenyum sedih. Ibu juga tak bisa melompat atau tertawa dan mengomel lagi seperti dulu. Kata Ayah, Ibu sakit dan harus banyak berisitirahat. Jadi aku tak boleh mengganggunya sampai kondisinya kembali normal.
Hari ini Ibu banyak berubah. Ia sudah bisa tersenyum lebih lebar dan menjawab pertanyaan-pertanyaanku, tapi suara Ibu jadi aneh, tak semerdu dulu. Kata Ayah, tenggorokan Ibu dioperasi saat kecelakaan jadi suaranya berubah menjadi kaku seperti robot. Aku tak berani bertanya lagi. Aku sudah cukup bahagia sekarang Ibu sudah bisa menjawab jika aku bertanya apa saja. Bahkan menjadi lebih pintar. Mungkin selama sakit Ibu banyak belajar.
Aku tak pernah melihat Ibu makan. Ia hanya menatap kami dan menjelaskan berbagai macam kandungan masakan dan manfaatnya bagi tubuh kecilku setiap kali aku makan apa saja. Kata Ayah, Ibu makannya lewat suntikan. Mungkin Ibu harus diinfus seperti waktu di rumah sakit dulu.
Aku kangen sekali pelukan Ibu. Sekarang, setiap kali aku memeluk Ibu hanya menepuk-nepuk kepalaku dengan sedikit kasar. Tapi tak apa, ini sudah jauh lebih lumayan. Kata Ayah, Ibu sudah semakin membaik dan sebentar lagi sembuh total.
Anehnya, aku semakin sering bermimpi Ibu memelukku, menangis dan ingin pulang. Entahlah, aku bingung sekali. Mungkin Ibu sudah tak sayang lagi padaku. Waktu aku tanyakan hal itu, Ibu hanya menangis. Sebaiknya besok aku tanyakan hal ini kepada Ayah.
***
"Ayah, tiap malam aku mimpi aneh. Ibu selalu memelukku, menangis dan bilang kalau dia lelah dan ingin pulang. Apa Ibu ingin ke rumah Nenek?" Aku bertanya pelan-pelan sambil memegang tangan Ayah. Aku takut ia akan marah lagi seperti biasanya.
Anehnya, kali ini Ayah memelukku dan menangis. Persis seperti Ibu di dalam mimpi.
"Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah ikutan menangis seperti Ibu?"
Ayah hanya diam dan menuntunku menuju ruang kerjanya. Di sana terlihat Ibu sedang berbaring di ranjang dengan beberapa kabel yang menempel di tubuhnya. Dadanya terbuka seperti patung yang ada ruang kerja Ayah. Anehnya, tak ada jantung, paru-paru atau yang lain di sana.
Hanya ada beberapa alat yang berkelip-kelip, kabel warna-warni, dan ... dan ... Ibu terhubung ke dinding dengan sebuah kabel! Aku menjerit ketakutan.
"Ayah! Ibu kesetrum!"
"Tidak, Nak. Inilah cara Ayah menghidupkan kembali ibumu. Ayah tak sanggup melihatmu hidup tanpa Ibu."
Ayah memelukku dan aku menangis. "Jadi ... jadi ... sebenarnya Ibu sudah meninggal?"
Ayah mengangguk dan kembali memelukku erat. "Ayah mengubah jasad ibumu menjadi cyborg setelah ibumu dinyatakan meninggal oleh dokter, setahun yang lalu. Maafkan, Ayah. Ayah tak sanggup berpisah dengan ibumu. Ayah juga tak sanggup membayangkanmu menangis kehilangan Ibu."
"Ayah, kata Bu Guru, orang meninggal tempatnya di alam barzakh. Apakah itu sebabnya Ibu selalu menangis dan minta pulang di mimpiku? Ayo kita antarkan Ibu pulang, Ayah."
"Sebenarnya program tiruan ibumu sudah selesai, sudah sempurna. Ayah menanamkan program kecerdasan buatan yang meniru sosok ibumu. Demikian juga suara ibumu sudah berhasil diprogram dan dibuat persis seperti Ibu yang asli. Tapi, kalau kau dan Ibu tak menginginkannya, apa boleh buat."
Dengan berat hati, Ayah melepaskan semua kabel dan peralatan yang menempel di tubuh dan kepala Ibu. Terakhir, Ayah melepaskan batere dan sebuah chip yang tertanam di dadanya, yang berdenyut seperti jantung.
"Ayo kita antarkan ibumu pulang," ujar ayah lembut. Kami pun mencium dan memeluk tubuh Ibu untuk terakhir kalinya. Kali ini, aku melihat wajah Ibu tersenyum manis sekali.Â
Â
(Tamat)
#sciencefiction
Sumber gambar: 1
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI