Begitu pula sebaliknya apabila konsumen nonmuslim maka rendang bisa diolah menjadi rendang babi, dan sebagainya. Beliau kembali menegaskan bahwa makanan halal itu hanya untuk umat Islam.Â
Di akhir video beliau meminta maaf kepada publik apabila merasa tersinggung dengan pernyataan tersebut. (Sumut Suara.com 24/06/2022) Di dalam pemikiran sempit saya, ketika memahami sebuah maksud haruslah memandang bagaimana cara seseorang itu menyampaikan.Â
Dari awal pola penyampaian dari beliau dimulai dari kata-kata yang keluar saja membuat para pendengarnya geram, wabil khusus masyarakat Minangkabau.Â
Boleh saja memberikan pendapat lewat humor kalau rendang itu seperti memiliki agama bisa diolah sesuai ajaran pengolahnya. Tetapi ternyata pernyataan tersebut kurang berkesan sehingga pesan yang disampaikan malah menuai prasangka buruk. Alhasil pernyataan tersebut menyinggung masyarakat Minang.
Komentar dari Ustaz Adi Hidayat menimpali dengan tegas mempertanyakan mengenai mulai dari kapan rendang mempunyai agama? Jawabannya adalah sejak batik, calung, dan angklung diberikan kewarganegaraan.Â
Menurut pendapat beliau dalam kaidah Ushul Fiqih disebutkan "al adatu muhakkamah" jikalau sesuatu sudah melekat dan menjadi tradisi atau adat istiadat maka sudah sah menjadi hukum.Â
Apalagi rendang itu memiliki keterkaitan dengan falsafah budaya dari Minang bunyinya yakni adat bersanding dengan syariat, syariat bersanding kitabullah maka hal apa saja yang berhubungan dengan Minang pasti dikaitkan dengan syariat sekalipun hanya makanan. (Viva.co.id 24/6/2022) Saya menangkap maksud dari Ustaz Adi Hidayat yang menyatakan bahwa perbandingan antara rendang dengan batik dan sejenisnya itu termasuk dari ragam kebudayaan.Â
Oleh karena ragam kebudayaan maka budaya haruslah dihargai tidak boleh dinodai. Kalau sudah menjadi budaya di masyarakat artinya juga tidak perlu muluk-muluk dipermasalahkan. Tidak ada larangan barangkali Gus Miftah atau siapapun yang ingin mengumbar humor namun, perlu menggunakan bahan yang mengandung pesan moral. Untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H