Pepatah mengatakan mulutmu harimaumu, di saat berbicara untuk menyampaikan pendapat hendaklah mengerti bagaimana caranya agar pesan itu tersampaikan.Â
Jangan sampai membuat kegaduhan atau bahkan bisa mempersoalkan sesuatu hanya karena komunikasi tidak berjalan dengan lancar (kesalahpahaman). Baru saja tanggal 1 Juni 2022 lalu Indonesia memperingati hari lahirnya Pancasila, kembali publik dihebohkan oleh sebuah pernyataan agama rendang rawan menimbulkan perselisihan.Â
Pernyataan tersebut berasal dari Gus Miftah ketika beliau mencoba memberi penjelasan tentang rendang babi. Beliau menyertakan rendang dengan hidangan restoran padang Babiambo, restoran produk makanan babi. (Sumut Suara.com 24/06/2022) Sepengetahuan saya warga Minang termasuk Muslim beragama berpegang teguh pada keislaman. Kehidupannya saja sudah jelas terlihat sangat agamis dengan lahirnya tokoh-tokoh ulama besar dari tanah Minang.Â
Menurut ahli sejarah Sumatera lebih dulu menjadi pusat masuknya Islam. Maka, sepantasnya masyarakat lain memandang bahwa Minang memegang prinsip keagamaan sangat kental. Apalagi hanya urusan sesepele makanan, sudah pasti terjamin legalitas hukum halalnya. Alangkah baiknya kita jangan terlalu mudah terpengaruh oleh hal yang belum dipastikan kebenarannya.
Pendapat dari Gus Miftah tersebut mendatangkan banyak pendapat kontra terutama dari pendakwah Minang yang tidak terima dengan pernyataan beliau.Â
Dilansir dari kanal Youtube Tazkiyah Media Ustaz Jel Fathullah menjelaskan ini bukan perkara rendang yang memiliki agama tetapi sudah menyangkut soal restoran penjualan rendang babi dengan mengusung Babiambo pada daerah Minang.Â
Beliau mengkhawatirkan apabila nanti masyarakat lain akan memahami bahwa ada penjualan produk haram di tanah Minang yang notabenenya termasuk wilayah masuknya Islam pertama kali. Sejak dulu Minang menjadi rumah makan paling telaten soal kehalalan makanan.Â
Dari paparan Ustaz Jel ini dipahami kalau tidak sembarang makanan seperti produk rendang bisa dikatakan tidak beragama. Justru rendang dalam pandangan masyarakat Minang menjadi identitas kebudayaan kuliner mereka. Lebih-lebih lagi rendang telah menjadi warisan budaya masyarakat yang dihidangkan saat hari raya tiba atau saat upacara keagamaan.
Melansir dari kanal Youtube DH Entertainment News dipublikasikan pada 18 Juni 2022 Gus Miftah memberi klarifikasi bahwa dirinya tidak berniat menghina makanan rendang sebagai produk makanan khas Padang atau Minang.Â
Beliau menjelaskan bahwa rendang dapat diolah menjadi makanan halal maupun haram tergantung agama pengolahnya. Semisal rendang diolah secara Islami contohnya seperti rendang jengkol, rendang sapi, dan sebagainya.Â
Begitu pula sebaliknya apabila konsumen nonmuslim maka rendang bisa diolah menjadi rendang babi, dan sebagainya. Beliau kembali menegaskan bahwa makanan halal itu hanya untuk umat Islam.Â
Di akhir video beliau meminta maaf kepada publik apabila merasa tersinggung dengan pernyataan tersebut. (Sumut Suara.com 24/06/2022) Di dalam pemikiran sempit saya, ketika memahami sebuah maksud haruslah memandang bagaimana cara seseorang itu menyampaikan.Â
Dari awal pola penyampaian dari beliau dimulai dari kata-kata yang keluar saja membuat para pendengarnya geram, wabil khusus masyarakat Minangkabau.Â
Boleh saja memberikan pendapat lewat humor kalau rendang itu seperti memiliki agama bisa diolah sesuai ajaran pengolahnya. Tetapi ternyata pernyataan tersebut kurang berkesan sehingga pesan yang disampaikan malah menuai prasangka buruk. Alhasil pernyataan tersebut menyinggung masyarakat Minang.
Komentar dari Ustaz Adi Hidayat menimpali dengan tegas mempertanyakan mengenai mulai dari kapan rendang mempunyai agama? Jawabannya adalah sejak batik, calung, dan angklung diberikan kewarganegaraan.Â
Menurut pendapat beliau dalam kaidah Ushul Fiqih disebutkan "al adatu muhakkamah" jikalau sesuatu sudah melekat dan menjadi tradisi atau adat istiadat maka sudah sah menjadi hukum.Â
Apalagi rendang itu memiliki keterkaitan dengan falsafah budaya dari Minang bunyinya yakni adat bersanding dengan syariat, syariat bersanding kitabullah maka hal apa saja yang berhubungan dengan Minang pasti dikaitkan dengan syariat sekalipun hanya makanan. (Viva.co.id 24/6/2022) Saya menangkap maksud dari Ustaz Adi Hidayat yang menyatakan bahwa perbandingan antara rendang dengan batik dan sejenisnya itu termasuk dari ragam kebudayaan.Â
Oleh karena ragam kebudayaan maka budaya haruslah dihargai tidak boleh dinodai. Kalau sudah menjadi budaya di masyarakat artinya juga tidak perlu muluk-muluk dipermasalahkan. Tidak ada larangan barangkali Gus Miftah atau siapapun yang ingin mengumbar humor namun, perlu menggunakan bahan yang mengandung pesan moral. Untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H