Mohon tunggu...
Umi Maslakhah
Umi Maslakhah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Kisahnya

31 Oktober 2023   12:10 Diperbarui: 4 November 2023   08:03 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Di Balik Kisahnya

Karya Umi Maslakhah

Seperti halnya tanaman, manusia tidak matang dan dewasa di usia yang sama. Begitulah yang dirasakan oleh Bu Tatik, seorang guru Bahasa Indonesia yang sudah sembilan tahun mengabdi di sebuah sekolah swasta tingkat SMP di Kota Samarinda. Bu Tatik termenung ketika melihat hasil latihan soal siswanya yang beraneka ragam. Dahinya mengerut. Tangannya terhenti ketika ia mengoreksi tugas siswa bernama Andira, seorang siswi Kelas IX D yang terkenal pemalas. Selain pemalas, hal aneh juga sering dialami oleh Andira. Andira kerap mimisan saat pembelajaran. Hal itu menyebabkan ia menjadi jarang masuk sekolah. 

Selain guru Bahasa Indonesia, Bu Tatik juga wali kelas Andira. Jika sedang tidak mengajar, ia selalu mengamati keseharian siswanya di kelas. Ada saja tingkah yang membuat dirinya harus beristighfar setiap hari. Tidak sedikit laporan tentang tingkah laku  muridnya yang disampaikan oleh rekan gurunya setelah mengajar di kelasnya. Hal itu selalu membuatnya mengelus dada. 

“Aduh, Bu Tatik. Saya titip pesan untuk Bayu ya, Bu. Tadi di pelajaran saya tidur sampai pelajaran habis, Bu.” keluh Pak Dayat, guru PKN di kelasnya. 

“Oh, Baik, Pak. Nanti saya nasihatin Bayu. Terima kasih informasinya.” jawab Bu Tatik menahan amarah. Wajahnya seketika memerah seperti ingin menerkam mangsa. 

“Nah, si Bayu ini kebiasaan tidur di kelas, Pak. Di pelajaran saya juga sering begitu. Makanya nilainya juga selalu rendah,” timpal Bu Reno, guru Pendidikan Agama Islam, guru yang paling sepuh di sekolah. 

Tak hanya itu, beberapa guru juga mengeluhkan tentang kondisi kelasnya Bu Tatik. Terlebih lagi jika mengajar pada siang hari, kelasnya terasa sangat panas dan pengap. Hal itu membuat para siswa menjadi kurang kondusif belajar. Beberapa siswa juga pernah dilaporkan membolos karena kurang nyaman dengan kelasnya. 

Bu Tatik merenungi segala hal yang dilaporkan oleh rekan kerjanya tentang kondisi kelas dan tingkah laku siswanya yang beragam. Dalam benaknya, ia memikirkan berbagai macam cara agar siswanya dapat belajar dengan tenang tanpa ada keluhan dari para guru. 

Dalam lamunannya, Bu Tatik teringat kepada seorang siswi bernama Andira, siswi yang selalu menjadi buah bibir di ruang guru. Bu Tatik mengingat-ingat apa yang telah dilaporkan oleh rekan-rekan guru tentangnya. Ya, tentang Andira yang pemalas dengan kondisinya yang sering mimisan saat mengikuti pembelajaran. 

Siang itu, tepat pukul 13.00, Bu Tatik mengajar di kelasnya.  Saat itu, ia mengajarkan materi Teks Pidato Persuasif. Seluruh siswa yang telah menyelesaikan naskah pidatonya akan bersiap maju berpidato di depan kelas, kemudian siswa lain bertugas memberikan penilaian terhadap penampilan temannya. Supaya adil, Bu Tatik mulai melakukan undian untuk mengurutkan siapa yang akan maju untuk berpidato.

Setelah mengurutkan sampai akhir, Bu Tatik mulai menyimak pembacaan pidato yang disampaikan oleh siswanya. Secara bergantian, mereka terlihat menampilkan pidato terbaiknya agar mendapat pujian darinya. Dalam benak Bu Tatik, ia teringat oleh perkataan rekan gurunya tentang tingkah laku siswanya yang beraneka ragam. Benar. Beberapa nama siswa yang sering disebut-sebut oleh rekan kerjanya terlihat kurang semangat dan kurang antusias dalam belajar.

“Mungkin saja si anak ini memiliki minat belajar pada pelajaran lain, bukan di pelajaran Bahasa Indonesia,” batin Bu Tatik sambil mengamati satu per satu siswanya.

Tepat pada urutan terakhir, nama Andira terpanggil untuk maju menampilkan pidatonya. Bu Tatik mulai mengamati tingkah lakunya, akankah Andira mimisan saat belajar, ataukah tidak? Selama ini, Bu Tatik belum pernah mendapati Andira mimisan saat pelajarannya. 

“Ayo, Andira. Silakan maju,” ucap Bu Tatik sambil duduk di deretan belakang. Beberapa siswa terlihat memberikan isyarat kepada Bu Tatik tentang keadaan Andira, namun Bu Tatik tak mengindahkan isyarat mereka. Ada yang menggelengkan kepala, menyilangkan kedua tangannya, seakan teman-temannya mengetahui kondisi yang sedang dialami Andira. 

Dua menit berlalu, Andira belum juga maju berpidato. Dengan segera, Bu Tatik menghampiri Andira yang sedang asyik di depan laptopnya. Andira seperti tak mendengar jika namanya telah dipanggil. 

“Andira, saatnya maju. Giliran kamu berpidato di depan, Nak,” kata Bu Tatik berucap lembut seraya melirik ke arah laptop Andira yang masih menyala. Dalam layar laptopnya, terlihat naskah pidatonya yang bergerak ke atas dan ke bawah. Kedua jarinya terlihat tenang memencet tombol panah arah ke atas dan bawah di samping tombol ctrl. 

“Andira sepertinya belum siap berpidato, Bu,” kata Siska, teman sebangkunya yang sedari tadi juga mengamati tingkah Andira yang tak hentinya menekan tombol naik dan turun di laptopnya.

Andira masih terdiam. Tatapannya seakan mencermati isi naskah pidatonya. Bu Tatik yang sedari tadi juga mengamati tingkahnya mulai penasaran. Wajah Andira seketika memerah. Matanya perlahan berair. Semburat cahaya yang terpancar dari laptopnya menyinari kedua matanya yang perlahan terlihat butiran air mata yang mulai berjatuhan. 

“Andira belum siap maju berpidato?” tanya Bu Tatik sambil mengelus pundaknya. 

Andira tak menjawab sepatah kata pun. Bu Tatik semakin penasaran. Ia yakin bahwa ada beban yang sedang dirasakan oleh siswanya. Dengan segera, Bu Tatik menutup pembelajaran karena waktu menunjukkan pukul 14.30, tanda waktu pelajarannya sudah habis. Ia meminta seluruh siswa untuk segera meninggalkan kelas dan bersegera berwudu untuk bersiap melaksanakan salat Asar, kecuali Andira. 

“Apa yang sedang kamu rasakan, Nak?” Bu Tatik mulai membuka percakapan kembali setelah air mata Andira tertahan dan tak lagi membasahi pipinya. 

Tak ada kata atau kalimat yang keluar dari mulut Andira. Air matanya kembali berjatuhan membasahi lengan bajunya. Kali ini, air matanya diiringi dengan linangan darah segar yang mengalir dari hidungnya. Benar saja. Andira mimisan. Untuk pertama kalinya, Bu Tatik melihat kebenaran perkataan yang diucapkan oleh rekan kerjanya tentang Andira. 

Lima belas menit berlalu. Saat mentari tak lagi seterik siang, Bu Tatik mencoba menenangkan Andira. AKhirnya, Andira mulai bercerita tentang kesehariannya di rumah. Benar saja. Rupanya alasannya sering tidak sekolah karena tubuhnya sering sakit-sakitan. Andira mengaku bahwa jika kondisinya sedang stres, tubuhnya akan mudah sakit dan mimisan. Tak hanya itu, rupanya ada hal lain yang dialami oleh Andira. Ia mengaku bahwa orang tuanya selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya yang segudang prestasinya. Sedangkan dirinya merasa tidak mampu menguasai pelajaran apapun. Hal itu yang membuat orang tuanya selalu memaksanya untuk tidak melakukan kesalahan sejak duduk di bangku Kelas IV. Hal itu pula yang membuatnya merasa takut jika berbicara di depan umum. Andira selalu kehilangan kepercayaan dirinya ketika sudah tampil di depan umum. Selama ini, Andira mengaku tidak memiliki tempat curhat, sehingga semua bebannya disimpan sendiri rapat-rapat.

Setelah mendengar cerita dari Andira, Bu Tatik meyakinkan Andira agar tidak segan untuk bercerita ketika sedang ada masalah. Andira yang sedari tadi merasa diperhatikan oleh wali kelasnya, ia tak sanggup untuk menahan dirinya. Ia segera menghambur ke pelukan Bu Tatik. Keduanya saling berpelukan dan menangis hingga sesenggukan. 

“Sabar, Nak. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Ibu yakin kamu punya potensi. Ibu percaya bahwa suatu hari nanti, kamu akan menemukan potensimu,” ucap Bu Tatik yang tak kuasa menghentikan linangan air matanya sambil menepuk pundak kanan Andira. 

Keesokan harinya, Andira datang ke sekolah dengan wajah sumringah. Usai bersalaman di depan kelas dengan Bu Tatik, Andira segera masuk kelas dan mengeluarkan buku pelajarannya. Segala perlengkapan untuk praktik telah disiapkan semua dari rumah, tanda bahwa ia siap untuk belajar hari ini. 

Bu Tatik yang menyaksikan pemandangan luar biasa itu tak henti berucap syukur. Dari balik pintu kelas, saat hendak meninggalkan kelas, ia meninggalkan senyum bahagia kepada semua siswa di kelasnya dan memberi kalimat motivasi.

“Selamat belajar, anak-anak yang Ibu sayangi. Semangat kalian adalah milik kalian, maka bersemangatlah selalu memulai hari!” seru Bu Tatik seraya memberikan acungan jempol.

Setelah kejadian itu, Andira mulai bersemangat sekolah. Kali ini tidak seperti biasanya, rekan kerja Bu Tatik tak lagi menyebut nama Andira sebagai siswa yang pemalas dan penyakitan karena sering mimisan saat belajar. Bahkan sebaliknya, beberapa laporan yang diterimanya bukan tentang tingkah laku siswanya yang usil dan membuatnya harus beristighfar, melainkan peningkatan-peningkatan yang disampaikan. Hal itu tentu membuat Bu Tatik merasa senang. Terlebih ketika ada laporan bahwa kini Andira sudah berani maju, bahkan ada yang melapor jika sekarang Andira selalu menawarkan diri untuk maju presentasi pertama di kelas. Hal itu tentu membuatnya semakin lega. 

Bu Tatik kembali mengucap syukur. Ia merasa bahwa doanya terkabul. Dalam simpuhnya, ia selalu menyertakan nama mereka dalam sepertiga malam. Di atas sajadah kusam yang usianya lebih dari dua puluh tahun, ia sebut nama siswanya satu per satu, tanpa terkecuali. Ia laporkan segala keluh kesahnya dan meminta diberikan kesabaran dalam mendidik siswanya. Matanya berkaca. Ada haru yang ia rasakan. 

Seperti halnya tanaman, manusia tidak matang dan dewasa di usia yang sama. Bu Tatik tersadar setelah ia mengikuti pendidikan Program Guru Penggerak, ia terbiasa menerapkan budaya positif di kelas. Hal itu membuatnya bersyukur telah terpanggil dalam pendidikan Program Pendidikan  Guru Penggerak. Meski awalnya keinginannya untuk mengikuti program tersebut karena dipaksa oleh kepala sekolahnya, namun kini  ia sangat berterima kasih telah tunai mengikuti pendidikannya. 

Bu Tatik tak henti bersyukur. Semula perangainya yang tidak sabaran dan mudah marah kepada siswa hingga meledak-ledak, kini tingkah lakunya perlahan mulai diperbaiki. Ia sadar bahwa pendekatan sosial emosional sangat berpengaruh terhadap perkembangan siswanya. Seperti Andira, satu di antara puluhan siswa yang mampu ia tangani dengan hangat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun