Tak ada kata atau kalimat yang keluar dari mulut Andira. Air matanya kembali berjatuhan membasahi lengan bajunya. Kali ini, air matanya diiringi dengan linangan darah segar yang mengalir dari hidungnya. Benar saja. Andira mimisan. Untuk pertama kalinya, Bu Tatik melihat kebenaran perkataan yang diucapkan oleh rekan kerjanya tentang Andira.
Lima belas menit berlalu. Saat mentari tak lagi seterik siang, Bu Tatik mencoba menenangkan Andira. AKhirnya, Andira mulai bercerita tentang kesehariannya di rumah. Benar saja. Rupanya alasannya sering tidak sekolah karena tubuhnya sering sakit-sakitan. Andira mengaku bahwa jika kondisinya sedang stres, tubuhnya akan mudah sakit dan mimisan. Tak hanya itu, rupanya ada hal lain yang dialami oleh Andira. Ia mengaku bahwa orang tuanya selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya yang segudang prestasinya. Sedangkan dirinya merasa tidak mampu menguasai pelajaran apapun. Hal itu yang membuat orang tuanya selalu memaksanya untuk tidak melakukan kesalahan sejak duduk di bangku Kelas IV. Hal itu pula yang membuatnya merasa takut jika berbicara di depan umum. Andira selalu kehilangan kepercayaan dirinya ketika sudah tampil di depan umum. Selama ini, Andira mengaku tidak memiliki tempat curhat, sehingga semua bebannya disimpan sendiri rapat-rapat.
Setelah mendengar cerita dari Andira, Bu Tatik meyakinkan Andira agar tidak segan untuk bercerita ketika sedang ada masalah. Andira yang sedari tadi merasa diperhatikan oleh wali kelasnya, ia tak sanggup untuk menahan dirinya. Ia segera menghambur ke pelukan Bu Tatik. Keduanya saling berpelukan dan menangis hingga sesenggukan.
“Sabar, Nak. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Ibu yakin kamu punya potensi. Ibu percaya bahwa suatu hari nanti, kamu akan menemukan potensimu,” ucap Bu Tatik yang tak kuasa menghentikan linangan air matanya sambil menepuk pundak kanan Andira.
Keesokan harinya, Andira datang ke sekolah dengan wajah sumringah. Usai bersalaman di depan kelas dengan Bu Tatik, Andira segera masuk kelas dan mengeluarkan buku pelajarannya. Segala perlengkapan untuk praktik telah disiapkan semua dari rumah, tanda bahwa ia siap untuk belajar hari ini.
Bu Tatik yang menyaksikan pemandangan luar biasa itu tak henti berucap syukur. Dari balik pintu kelas, saat hendak meninggalkan kelas, ia meninggalkan senyum bahagia kepada semua siswa di kelasnya dan memberi kalimat motivasi.
“Selamat belajar, anak-anak yang Ibu sayangi. Semangat kalian adalah milik kalian, maka bersemangatlah selalu memulai hari!” seru Bu Tatik seraya memberikan acungan jempol.
Setelah kejadian itu, Andira mulai bersemangat sekolah. Kali ini tidak seperti biasanya, rekan kerja Bu Tatik tak lagi menyebut nama Andira sebagai siswa yang pemalas dan penyakitan karena sering mimisan saat belajar. Bahkan sebaliknya, beberapa laporan yang diterimanya bukan tentang tingkah laku siswanya yang usil dan membuatnya harus beristighfar, melainkan peningkatan-peningkatan yang disampaikan. Hal itu tentu membuat Bu Tatik merasa senang. Terlebih ketika ada laporan bahwa kini Andira sudah berani maju, bahkan ada yang melapor jika sekarang Andira selalu menawarkan diri untuk maju presentasi pertama di kelas. Hal itu tentu membuatnya semakin lega.
Bu Tatik kembali mengucap syukur. Ia merasa bahwa doanya terkabul. Dalam simpuhnya, ia selalu menyertakan nama mereka dalam sepertiga malam. Di atas sajadah kusam yang usianya lebih dari dua puluh tahun, ia sebut nama siswanya satu per satu, tanpa terkecuali. Ia laporkan segala keluh kesahnya dan meminta diberikan kesabaran dalam mendidik siswanya. Matanya berkaca. Ada haru yang ia rasakan.
Seperti halnya tanaman, manusia tidak matang dan dewasa di usia yang sama. Bu Tatik tersadar setelah ia mengikuti pendidikan Program Guru Penggerak, ia terbiasa menerapkan budaya positif di kelas. Hal itu membuatnya bersyukur telah terpanggil dalam pendidikan Program Pendidikan Guru Penggerak. Meski awalnya keinginannya untuk mengikuti program tersebut karena dipaksa oleh kepala sekolahnya, namun kini ia sangat berterima kasih telah tunai mengikuti pendidikannya.
Bu Tatik tak henti bersyukur. Semula perangainya yang tidak sabaran dan mudah marah kepada siswa hingga meledak-ledak, kini tingkah lakunya perlahan mulai diperbaiki. Ia sadar bahwa pendekatan sosial emosional sangat berpengaruh terhadap perkembangan siswanya. Seperti Andira, satu di antara puluhan siswa yang mampu ia tangani dengan hangat.