Mohon tunggu...
Umi Sahaja
Umi Sahaja Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Ibu bekerja yang ingin sukses dunia akhirat

Selalu berusaha membuat segalanya menjadi mudah, meski kadang sulit. 😄

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semua Akan Baik-baik Saja

7 September 2024   20:45 Diperbarui: 7 September 2024   20:56 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anisa membuka mata perlahan. Raga yang lelah memaksanya menggeliat, merenggangkan tangan ke atas lalu menoleh ke samping kirinya. Dia mendapati Mbak Siti yang sedang duduk di kasur yang sama, tersenyum kepadanya, hingga terlihat gigi putihnya yang rapi. Mbak Siti hanya tersenyum kepadanya, hening, tanpa suara, tetapi Anisa tidak merasa takut sedikitpun. Meskipun ia sadar, tempat Mbak Siti bukan di sini lagi. Namun sosok di depannya nampak begitu nyata. Anisa merasakan ketenangan, seperti dahulu saat Mbak Siti masih ada. 

Masih dalam posisi tidur, Anisa menutup matanya kuat-kuat, ia ingin meyakinkan dirinya kalau ini bukan mimpi. Ketika ia membuka mata kembali, seketika pemandangan di depan matanya berubah. Suaminya tidur dengan tenang di sebelahnya, jam dinding menunjukkan pukul 03.00 WIB. Jendela di sisi kanan, pintu yang setengah terbuka. Ah iya benar, ini adalah kamarnya. Lalu ... Mbak Siti? Kenapa?

Sesaat kemudian Anisa berdoa, membaca surat Al-Fatihah khusus untuk almarhum. Masih terbayang di benak Anisa, wajah yang begitu tenang, senyumnya yang menyejukkan. Tiba-tiba Anisa merindukan sosok Mbak Siti, pengasuh anaknya yang sudah menghadap Allah. Kembali diucapkannya surat Al-Fatihah, berharap Mbak Siti tenang di tempatnya yang baru.

Suami Anisa terbangun saat Anisa memeluknya erat. Anisa menceritakan mimpinya, ah bukan, pengalamannya tadi seperti kenyataan.

"Kita doakan saja yang terbaik untuk beliau," saran Bayu, suaminya. 

"Mungkin Mbak Siti tau, kalau aku lagi banyak pikiran. Dulu, beliau selalu ada untuk membantu semua kesulitanku. Dan, sekarang saat aku mengalami hal yang sama, alam bawah sadarku mengirimnya kembali untukku. Sekedar memberi pesan dengan senyumnya, 'Semua akan baik-baik saja'." 

"Lagian mikirin apa, sih? Kalau masalah reuni keluarga minggu depan, kita sudah bicarakan bersama, bukan?" Suami Anisa melingkarkan tangannya ke tubuh Anisa. Memeluknya lebih erat. 

Anisa hanya mengangguk lemah, laki-laki mana tau urusan perempuan. Biarpun hanya beberapa keluarga yang akan datang, tentu saja urusannya tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak hal yang harus disiapkan, dan Anisa butuh sosok Mbak Siti di sisinya, membantu memasak, membersihkan rumah, menata perabotan dan tetek bengek keperluan lainnya. 

*

Beberapa hari kemudian, sedikit demi sedikit tetek bengek yang berhubungan dengan reuni keluarga yang akan berlangsung di rumah Anisa, sudah mulai mendapatkan titik cerah. Anisa sudah meminta tolong tetangga untuk membantu memasak, memesan kue untuk cemilan, mempersiapkan hadiah untuk door prize, bahkan Anisa juga sudah membersihkan rumah dan kebun belakang yang penuh rumput liar. Sesuatu yang hanya ada di angan-angan semakin menambah beban pikiran, tetapi begitu dikerjakan dengan aksi nyata, ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. 

Siang hari di bulan September, matahari bersinar terik, terasa membakar saat menerpa kulit, debu beterbangan tertiup angin. Beruntung tempat kerja Anisa di dalam ruangan yang sejuk. Anisa masih berkutat dengan pekerjaannya saat rekan kerjanya datang dan mengajaknya ke laboratorium untuk screening. Instansi tempat Anisa bekerja akan mengadakan vaksinasi Hepatitis, langkah awalnya adalah screening untuk memastikan kegiatan vaksinasi itu tepat sasaran.

"Aku kok males banget, ya, ke laboratorium. Pekerjaanku belum selesai, mana belum sarapan lagi. Boleh, nggak, sih, kalau aku makan dulu." Anisa menatap mata Ayu dengan memelas.

"Ya udah, buruan makan. Habis itu segera berangkat!" Ayu memasang wajah jutek, dia sedikit kesal karena Anisa selalu mementingkan pekerjaan dibanding urusan perutnya.

"Hepatitis itu sakit liver, kan?" Sambil makan Anisa mengajak Ayu ngobrol, demi menghilangkan jutek di wajah Ayu. 

Ayu mengangguk, lalu mengambil kerupuk di dekat Anisa, mengunyahnya perlahan.

Sambil mengunyah, Ayu berkata :"Kalau aku, sih, lebih percaya kalau hasilmu nanti negatif. Hepatitis, kan, kulitnya kuning, lha, kamu?" Ayu terkekeh, sementara Anisa manyun. Kulit Anisa memang tidak putih, sawo matang, atau malah sawo busuk, tetapi itu yang menjadikan Anisa unik, eksotis.

"Kali ini, bully-anmu aku anggap suatu doa. Meskipun agak kurang enak didengar. Negatif Hepatitis adalah kabar positif yang harus disyukuri ." Anisa menyudahi acara makannya, kemudian bergegas mencuci tangan dan beranjak ke laboratorium bersama Ayu.

*

"Eh, kasihan rekan kita, dia sedang hamil, hasil screeningnya kemarin ternyata positif." Ayu datang pagi-pagi membawa kabar buruk. Anisa menarik nafas, seakan ikut merasakan resahnya saat dinyatakan positif.

"Hepatitis apa dulu? Kan ada banyak, eh tiga, ding.A, B dan C." Anisa menghentikan aktifitasnya mengetik, menoleh Ayu yang sedang memeriksa laporan.

"Entahlah. Belum tau juga. Kira-kira dapetnya darimana, ya?"

"Dari makanan yang kurang bersih bisa. Tuh, makanya jangan suka jajan sembarangan." Kali ini Anisa yang bersuara. Ayu mencibir, selama ini yang sering mengajak makan di luar dan jajan adalah Anisa.

Tiba-tiba telpon berdering, ternyata dari laboratorium. Petugas laboratorium meminta Anisa untuk ke laboratorium untuk diambil sampel darah ulang. Alasannya dari tiga alat tes, ada satu yang menunjukkan hasil positif. Ayu terkejut, yang harus diambil sampel ulang adalah rekan kerjanya yang hamil tadi dan Anisa. Namun, Anisa tidak merasa ada yang salah. Toh selama ini dia merasa sehat walafiat. Karena itulah dengan percaya diri dia memenuhi panggilan petugas ke laboratorium untuk diambil darahnya lagi.

"Untuk memastikan hasilnya positif atau negatif, kita lakukan pemeriksaan ulang. Hasilnya bisa diketahui satu jam lagi, Mbak Anisa ke laboratorium, ya, atau WA admin kita saja," ucap petugas laboratorium ramah. Anisa mengiyakan lalu kembali ke ruangannya.

Satu jam kemudian, begitu selesai menunaikan sholat Dhuhur Anisa berniat untuk menelpon ruang laboratorium. Namun belum juga selesai melipat mukenanya, terdengar dering telepon. Buru-buru Anisa mengangkatnya. Dan benar, ternyata dari kepala ruang laboratorium.

"Maaf, Dek, setelah diperiksa ulang ternyata hasilnya positif." Anisa terkejut, detak jantungnya berdegup semakin cepat.

"Kalau boleh tau, itu Hepatitis apa ya , Bu?" tanya Anisa dengan suara bergetar. Tak bisa disembunyikan lagi, luapan perasaan antara sedih, bingung dan takut.

"Hepatitis B," jawab Bu Liana, diseberang. Pelan diucapkan tetapi membekas begitu dalam di dalam pikiran Anisa. 

"Saranku, lakukan pemeriksaan ulang dengan metode lain. Tapi dilakukan di laboratorium lain yang lebih lengkap. Kalau berkenan, nanti sampelnya bisa diambil di laboratorium."

"Maaf Ibu, sampel yang ada bisa bertahan sampai kapan?"

"Tiga hari saja." Setelah mengatakan akan menghubungi suaminya berlebih dulu, Anisa menutup telepon dari Bu Liana. 

Anisa termangu sendirian, Ayu sedang berada di ruangan yang lain. Berulangkali kali Anisa memegang dadanya yang berdebar cepat. Keningnya berkerut menandakan kalau sedang berpikir keras. Perlahan diteguknya satu gelas air untuk meredakan gemuruh rasa dalam dadanya.

Kembali telepon berdering, Bu Liana menghubungi Anisa kembali, kali ini memberitahukan kalau ada petugas dari laboratorium P yang akan mengambil sampel rujukan. Jika berkenan, sampel Anisa dan rekannya yang juga positif bisa dititipkan sekalian dengan membayar biaya pemeriksaan sendiri. Anisa setuju. Dia bergegas ke laboratorium untuk membayar biaya pemeriksaan. 

Sesampainya di sana, petugas laboratorium menyambutnya dengan tatapan prihatin. Beberapa diantaranya adalah teman seangkatan saat sekolah dulu.

"Kadang memang didapati hasil positif palsu, beberapa waktu yang lalu juga ada, tapi untuk pemeriksaan yang lain. Itulah kelemahan metode rapid test. Semoga dengan metode pengenceran nanti, hasilnya lebih akurat." Ucapan Bu Liana hanya dijawab Anisa dengan anggukan lemah.

"Pernah dapat transfusi?" tanya petugas yang lain, Anisa menggeleng.

"Atau donor darah?" Kembali Anisa menggeleng.

"Mungkin dari makanan yang kadang kita beli di luar," kali ini Bella, teman SMU-nya dulu.

"Tapi ini Hepatitis B, Bella," ucap Anisa penuh rasa, matanya berkaca-kaca, sesak di dadanya seakan ingin meluap keluar. 

Setelah menyerahkan sejumlah uang, Anisa berusaha tersenyum, memegang tangan Bella sekilas, untuk kemudian bergegas pergi. Anisa takut tidak mampu menahan sesak dan gejolak yang menghimpit dadanya. Dan benar saja, sebentar kemudian air mata perlahan mulai keluar di sudut matanya. 

Sesampainya di ruang kerja, Anisa segera minum air putih, lalu duduk menenangkan diri, sementara Ayu sedang menerima telepon dari HP.

Begitu Ayu menutup teleponnya, Anisa berkata," A ku ma u cerita ... a ku ... positif, Ayu ..." Dengan terbata-bata Anisa memberi tahu Ayu. 

Ayu terperanjat, terkejut dengan perkataan Anisa, lalu perlahan dia menggeser tubuhnya lebih dekat untuk memeluk Anisa. Air mata Anisa kembali tumpah. Dia benar-benar tidak menyangka, kalau hasilnya akan seperti ini.

"Sudah, tidak apa-apa. Penyakit apapun pasti ada obatnya," hibur Ayu di sela isak tangis Anisa.

*

Anisa menunggu kedatangan suaminya di rumah. Dia akan memberitahu perihal hasil screeningnya yang ternyata positif. 

"Kira-kira darimana datangnya ya, Yu. Selama ini aku merasa tidak pernah neko-neko. Sakit pun, hanya batuk pilek, demam biasa." 

"Apa ada riwayat keluarga?" tanya Ayu. Setelah menumpahkan air mata dalam pelukan Ayu, Anisa bisa kembali berpikir jernih.

"Seingatku, dulu kakak pernah sakit agak parah. Aku curiga liver, sih. Sekarang sudah sembuh. Tapi itu kan sudah bertahun-tahun yang lalu. Kok, bisa positif nya sekarang? Lagi pula, aku jarang ketemu. Masak salaman doang, bisa tertular?" Ayu terdiam, ikut berpikir.

"Ini Hepatitis B, Ayu. Penularannya lewat cairan tubuh, bisa darah, cairan sperma, cairan vagina." Anisa memijat keningnya frustasi. 

"Dan lagi, Mas Bayu, suamiku, rutin donor. Bagaimana mungkin, kalau aku positif, Mas Bayu enggak. Kalau positif, mana mungkin darahnya bisa digunakan."

"Jangan lupa, virus Hepatitis ini amat kuat. Virus yang menempel pada alat makan, bisa saja jadi sumber penularan." Ayu memberi alternatif pemikiran lain.

"Maksudmu, virus itu tidak mati meskipun alat makan kita sudah dicuci bersih?" tanya Anisa, Ayu mengangguk.

Bayu sudah selesai mandi dan berganti pakaian, saat Anisa mengajaknya duduk di ruang keluarga. Secangkir teh hangat dan pisang goreng hangat tersaji di meja. Kenzo, anak semata wayang mereka sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya.

"Jadi, kalau aku positif, kemungkinan besar Mas Bayu juga positif. Mas Bayu harus diperiksa juga, untuk memastikannya." Keduanya terdiam. 

Bayu menanyakan kemungkinan asal muasal virus tersebut. Gejala apa yang dialami jika benar terjangkit virus itu, dan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi jika hasilnya positif.

"Paling penting adalah Mas harus periksa, mau, ya?" Anisa sadar, Bayu termasuk satu dari sekian banyak orang yang memilih menghindar dari rumah sakit dan jarum suntik. 

"Ini penting untuk langkah kita ke depan, Mas. Setelah kita tau hasilnya, kita harus konsul dokter. Kemungkinan minum obat seumur hidup. Dan memastikan anak-anak bebas dari virus itu dengan cara vaksinasi." 

Membayangkan hal terburuk dari komplikasi Hepatitis B yang bisa menjadi sirosis, yang hanya bisa ditolong dengan transplantasi, Anisa bergidik ngeri. Ingatannya tiba-tiba kembali kepada Mbak Siti. Sakit yang dideritanya mengarah ke sirosis, karena kondisi tubuh yang terus melemah dari hari ke hari. 

Apa ini arti dari mimpinya, arti dari senyum Mbak Siti, apa ini pertanda kalau Anisa akan segera bertemu dengan beliau.

Lalu bagaimana dengan Kenzo? Seharusnya masa depannya masih panjang, dia berhak hidup bahagia didampingi kedua orang tuanya.

Malam itu, Anisa tidak bisa memejamkan mata, pikirannya penuh dengan ketakutan akan masa depan. Bayu berusaha menghiburnya, menyatakan kalau Anisa tidak sendiri, Bayu akan selalu ada untuknya. Setelah Bayu mengajaknya untuk beristighfar, barulah Anisa merasa lebih tenang.

"Pokoknya, Mas, kita harus berbenah, kita manfaatkan waktu sebaik mungkin. Ini mungkin jalan dari Allah agar kita semakin mendekat kepadaNya." 

"Makan makanan yang sehat, ya, Mas. Dan tolong, berhenti merokok!" Bayu menarik nafas berat, tetapi kemudian mengangguk. Sepanjang malam itu, keduanya hanya tidur beberapa jam, sisanya diisi dengan percakapan yang mengharu biru diselingi isak tangis.

*

"Kenapa matamu bengkak begitu?" tanya Ayu keesokan harinya selesai apel pagi.

Anisa hanya tersenyum.

"Aku baik-baik saja," jawab Anisa.

"Sudah, nggak papa. Pasti ada jalan keluarnya." Ayu berkata seakan-akan dia pernah mengalami.

"Iya, aku tau. Ini juga sedang dalam proses menerima. Kalau hasilnya mata bengkak karena kebanyakan nangis, wajar, kan. Nangis adalah bentuk ekspresi." Anisa membela diri.

"Aku hanya heran, kira-kira darimana, ya?"

"Sudah, nggak usah dipikirin. Nanti malah saling menyalahkan. Anggap saja ini dari Allah, ya kita terima aja," nasehat Ayu.

"Iya, ini juga berusaha legowo. Wes aku manut, Gusti Allah sing ngatur dalane." Anisa mengangkat kedua tangannya. Ayu tersenyum.

"Thanks, ya, Ayu. Sekarang mungkin aku lebih siap menerima apapun hasil pemeriksaanku nanti." Anisa tersenyum, memegang tangan sahabatnya. Ayu membalas senyum Anisa dan mengangguk. 

Hari ini hasil pemeriksaan Anisa keluar. Dengan ditemani Ayu, Anisa mengambil hasil itu di laboratorium. Dan alangkah senangnya hati Anisa, ternyata hasilnya adalah non reaktif, yang berarti negatif Hepatitis. Anisa dan Ayu berpelukan penuh rasa syukur. 

Kembali Anisa teringat senyum Mbak Siti dalam mimpinya yang seakan-akan kembali berkata, "Semua akan baik-baik saja."

Blt, 7 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun