Ninung menarik nafas dalam-dalam. Sekarang dia harus berkemas, keretanya sudah menunggu kedatangannya. Juga Fadli. Besok kuliahnya libur, dia ingin melepas penat seharian bersama Fadli.
*
Di stasiun Malang, Ninung bergegas keluar bersama penumpang kereta yang lain. Hari beranjak siang, matahari bersinar cerah. Hangat dirasakan Ninung saat bahunya disentuh. Ninung menoleh ke kanan, lalu ke kiri dan tersenyum.
"Kalau disentuh bahu kanan, nolehnya ke kiri, Non!" kikik tawa Fadli terdengar. Ninung ikut tertawa. Binar mata itu menyiratkan ... bahagia.Â
Andai Fadli tau Ninung mendua, tiba-tiba Ninung nelangsa, membayangkan Fadli yang terluka.
Sepanjang jalan Fadli bercerita tentang kuliah, teman-teman dan kegiatannya. Fadli memberi bimbingan belajar privat dan menjadi asisten dosen untuk mendapatkan uang tambahan. Ninung hanya mendengarkan semuanya, sesekali menjawab pertanyaan Fadli dengan jawaban pendek.
Beberapa saat kemudian sampai lah di kosan Fadli. Fadli mengajak Ninung duduk di teras. Kos Fadli terdiri dari kamar-kamar yang berderet membentuk huruf U. Di depan kamar terdapat teras yang dilengkapi dengan kursi dan meja. Kamar pemilik kos di tengah, berdekatan dengan dapur. Fadli ke dapur untuk membuatkan minum.
Di halaman kosan ada pohon mangga yang mulai berbunga. Udara segar dan sejuk dirasakan Ninung. Suasana sore masih ramai. Beberapa penghuni kos yang lain sedang duduk dan bermain gitar. Sesekali Ninung mengangguk dan tersenyum saat ada anak kos yang melintas dan menyapanya.Â
"Nanti setelah aku lulus, aku pengen ke Kalimantan. Ada teman yang sudah nawarin kerja di sana. Lalu kita menikah, punya anak yang lucu-lucu." Fadli berkata setelah meletakkan dua gelas berisi teh hangat di meja. Mata Fadli berbinar saat bicara. Ninung diam mendengarkan.
"Nanti kalau tiba-tiba kamu kangen rumah dan pengen pulang. Wah, bisa repot, karena ongkos pulang tidak sedikit," ucap Fadli lagi, kemudian tertawa.Â
"Ish, enak aja. Aku kan juga bisa bekerja di sana. Aku nggak mau ah, kalau cuma minta uang dari suami," protes Ninung. Dia merasa menjadi perempuan seharusnya mandiri secara finansial, agar tidak mudah dipermainkan.