Mohon tunggu...
Umi Laila Sari
Umi Laila Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Istana Biru itu Berwujud Taman Bacaan Al-Ghazi

10 Mei 2016   20:06 Diperbarui: 10 Mei 2016   20:17 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nobar KMGP di Palembang (instidy.com)

Saya pecinta biru. Semua hal tentang biru. Laut dan langit diantaranya. Mimpi saya memiliki istana biru. Sebuah ruang yang membuat saya bahagia, yang nyatanya hanya ada di imejinasi. Di buku, di tas, di biodata, di disket, di lemari, di setiap sudut kamar, di semua barang-barang saya tertulis ‘istana biru’, pun password email pertama saya.  Saya menampung semua tawa, pilu, cemburu, marah, harapan, keinginan, obsesi, dan semua rasa pada ruang itu. Istana biru hidup saya, seorang remaja SMA dengan sederet kisahnya.

***

“Ni cocok untukmu!” Mata saya yang terkantuk-kantuk tiba-tiba diajak awas. Mendongakkan kepala kearah suara. Mengenali sosok itu. Ia kakak tingkat saya yang tengah menyodorkan sebuah buku. “Dari pada ngantuk nungguin dosen, mending baca buku,” katanya lagi. 

Penghujung Agustus 2002, saya berstatus mahasiswi semester 3 IAIN Raden Fatah. Sejak pagi menyingsing, saya telah ikut riuh di ruang dosen guna mengurus kartu rencana studi (KRS). Sayangnya, dosen pembimbing yang akan menandatangai persetujuan KRS hingga hari telah terik belum juga datang.

“Ketika Mas Gagah Pergi,” lamat saya membaca judul yang tertulis di cover depan buku.  Selanjutnya sayapun tenggelam di arus kisahnya. Satu… dua… tiga… empat… dan terus dengan begitu saja bulir-bulir bening meluncur deras dari kedua mata saya. Hingga saya tak kuasa menahan untuk tidak menangkupkan tangan ke muka. Lamat-lamat, isakan membuat bahu saya berguncang. Entahlah, ada sebuah sesal yang seketika menggelayuti  jiwa.

Ini bukan tentang Gita. Adik manis yang akhirnya memahami perubahan sang kakak. Bukan itu yang menyesakkan dada saya. Saya sadar ini hanya fiksi. Hanya rekayasa sang pengarang. Sesal itu milik saya. Saya yang baru tersadar setelah sekian lama Bapak mengajarkan kehormatan perempuan dengan berhijab. Bapak yang sedari saya gadis kecil telah membiasakan saya menutup aurat. Tapi, semua yang diupayakan Bapak saya nilai sebagai keegoisan orang tua.

Sungguh, Gita telah menjadi cermin buat saya. Meski terkadang kesadaran itu terlambat, namun sejatinya hidayah Allah punya cara sendiri menemukan hati kita.

Ujung jilbab yang saya kenakanlah yang menjadi penyeka agar tangis ini tak menjadi sedih berhari-hari. Sejenak, nafas saya tertahan. Mencoba menerima semua dengan lebih bijaksana. Harusnya saya bersyukur memiliki orang tua yang peduli terhadap akhlaq putrinya. Maka, sebelum semua terlambat, harus ada yang saya perbuat.

Adzan dzhuhur memenuhi langit di siang itu. Tatapan saya terpaku pada hamparan rumput lapangan bola di depan gedung fakultas. Buku pinjaman tadi tergeletak di samping saya duduk. “KeberIslaman saya masih tertatih-tatih. Ibadah saya jauh dari sempurna. Tapi kini, saya ingin berjilbab dengan sebuah kebanggaan. Bahwa saya seorang muslimah. Dan semoga jilbab ini yang menuntun saya menjadi perempuan sholehah. Anak berbakti yang begitu diharapkan orang tua,” lirih saya berucap janji untuk diri sendiri.    

Masjid kampus yang hanya berkelang dua bangunan dari tempat saya duduk, dengan mudah terlihat.  Di masa aktif kuliah, masjid menjadi tempat yang selalu ramai. Selekasnya, sayapun melangkah menuju ke sana.

“Ini Kak bukunya. Makasih.”  Kami bertemu di teras masjid.

“Sudah bacanya?”

“Sudah.” Jawab saya cepat, khawatir ia bertanya lebih lanjut.

Nyatanya ia tak segera menerima buku yang saya sodorkan. “Nangis ya?” Tanyanya lagi. Sungguh, saya tak ingin ia tahu.

Sekali lagi saya acungkan buku itu.  “Nggak!” Langkah cepat saya ambil sesaat buku tersebut berpindah tangan. Sejuknya air wudhu telah menanti. Panggilan cinta dari sang Pencipta harus segera dijumpai.

***

Keluarga kecil saya tinggal di sebuah desa yang berjarak sekitar 5 KM dari jalan raya. Hanya separuh jalan yang sudah diaspal. Selebihnya berupa jalan tanah. Jika di musim hujan maka jalan berlumpur. Jika di musim panas maka jalan berdebu. Di awal menikah, saya sempat protes dengan suami.

“Kenapa kita tidak tinggal di kota saja?” tanya saya di antara deru motor sepulang kami dari aktifitas organisasi.

“Kalau semua orang berpikir tinggal di kota. Siapa yang akan membangun desa? Orang berpendidikan tinggi sudah banyak di kota. Justru kita yang sarjana ini yang dibutuhkan di desa. Ilmu yang kita punya akan sangat berarti bagi mereka.” Jelasnya mematahkan keinginan saya. Sejujurnya saya masih shock.Tinggal dan besar di kota membuat saya dengan mudah menikmati semua fasilitas dengan mudah. Tapi jalan hidup telah mengantarkan saya pada titik ini.

“Dek, mbak belum bisa transfer uangnya. Jadi mbak kirim foto uangnya aja ya.” Pesan WA yang saya kirim ke Ida, ketua FLP Sumsel yang mengurusin nobar KMGP The Movie. ATM terdekat baru bisa ditemui saat jalan keluar ke arah kota.

“Oke. Sudah didata dua kursi punya mbak,” jawabnya.

Meski dulu tinggal di pusat kota, saya terhitung yang tidak terlalu suka jalan-jalan ke bioskop. Lebih memilih dua minggu sekali ke toko buku dan seminggu sekali ke perpustakaan daerah. Hanya beberapa film saja yang tonton. Itupun diajak teman, bukan inisiatif sendiri. Apalagi setelah menikah dan punya anak. Selain karena jarak bioskop yang jauh juga repot membawa bayi.

Duo bocil memang selalu saya ajak kemanapun aktifitas saya. Suami tidak mengizinkan saya bekerja tapi mendukung semua kegiatan saya. Hingga tak jarang saya keluar rumah seharian. Ikut seminar, organisasi, kajian agama sampai rajin mendatangi berbagai festival dan expo. Tapi sikap saya berbeda dengan KMGP The Movie. Bukan hanya menonton di hari dan jam pertama tayang, saya juga mempromosikan filmya lewat medsos, menjual bukunya hingga ikut menjadi panitia temu penulisnya, Helvy Tiana Rosa di Palembang.

Mush’ab (3,10 th.) dan Raihan (10 bln.) akhirnya akan punya pengalaman pertama ikut menonton ke bioskop.  Kami tiba beberapa menit lagi sebelum film diputar. Dari mulai pintu masuk cinema sudah dipenuhi berbagai rombongan. Santri pesantren, siswa-siswi SMA, murid SMP, anak kuliahan, pasangan suami-istri, keluarga kecil seperti kami, temenan kerja hingga yang sengaja reunian. Tidak hanya karena contens filmnya tapi juga perjuangan segenap kru film yang membuat saya angkat jempol.    

***

“Bang…,” saya menggeser posisi duduk.

“Iya,” jawab suami sambil terus menatap layar handphone. Karena yang ingin saya katakan cukup serius, saya tidak langsung menjawab. Menunggu sampai ia menyelesaikan bacaannya.

“Mau ngomong apa?” tanyanya lagi. Hp sudah di-cas.

“Umi mau buat gerakan literasi di sini.”

“Mi, di sini desa. Gak banyak yang sekolah. Tradisi menulis di sini masih sulit.”

“Justru itu, kita yang memulai. Gak harus langsung nulis, Bang. Kita kenalkan dulu dengan buku. Caranya bisa lewat bermain, mendongeng, membacakan kisah, pokoknnya apa saja. Menulisnya bisa nanti setelah mereka akrab dengan buku.

Umi punya cita-cita mendirikan semacam perpustakaan untuk anak-anak dan remaja di sini. Mereka bebas membaca, bermain, bercerita, menggambar, menulis, berdiskusi dan apapun yang ingin mereka lakukan. Buku bisa membuka wawasan mereka. Mereka akan punya banyak mimpi, banyak cita-cita.” Saya berhenti sejenak. Memandang lekat laki-laki di hadapan saya. Memastikan bahwa saya akan berjuang untuk mewujudkan keinginan ini.

“Lagi pula, mau tidak mau anak-anak harus bersosialisasi dengan lingkungan. Sementara lingkungan di sini mengkhawatirkan.”

Sebagian penduduk desa kami bermata pencarian sebagai buruh  di perusahaan sawit milik swasta. Sebagian lagi bekerja tidak tetap. Hanya sebagian kecil yang bekerja di kebun milik sendiri atau perkantoran. Masih bisa dihitung dengan jari yang menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMA apalagi perguruan tinggi. Pendidikan bukan hal yang penting terlebih pendidikan agama. Tindak kriminal karena tuntutan ekonomi cukup tinggi. Meski rasa kekeluargaan dan gotong royong masih terjaga, namun moral generasi mudanya menyedihkan. Penyalahgunaan narkoba dan pergaulan bebas hingga perilaku seks di luar nikah adalah kasus yang biasa terjadi di kalangan remaja.

“Setidaknya dengan kita mendirikan sebuah tempat, yang apalah namanya nanti, kita bisa mengontrol pergaulan anak-anak. Undang teman-temannya main ke sini. Perlahan kita ajarkan perilaku yang baik. Syukur-syukur nantinya orang tuanya juga bisa kita rangkul. Kita harus berbuat untuk desa ini.” Kalimat terakhir saya ucapkan dengan intonasi berbeda, ada emosi di dalamnya.

Cukup lama kami terdiam. Saya tahu, suami bukan mempertimbangkan memberikan izin tapi yang ia pikirkan adalah bagaimana keinginan istrinya terwujud. Tetapi mungkin ia tidak tahu bahwa apa yang saya paparkan adalah membangkitkan mimpi lama. Mimpi saya tentang istana biru. Kegilaan saya terhadap buku. Dan puncaknya selepas melihat tekad mas Gagah mendirikan Rumah Cinta. Ya… melakukan sesuatu untuk kemanusiaan. Itu yang ingin saya lakukan kini, di sini, di desa yang akhirnya harus saya cintai. Sebab tempat inilah Tuhan pilihkan sebagai lahan ibadah sosial saya.

“Abang akan coba buatkan proposal,” kata suami menghentikan dialog hati saya. Demi mendengar kalimatnya, mata saya langsung berbinar, bening air siap meluncur. “Bismillah… semoga berkah!” bisik hati saya. Istana biru yang belasan tahun lalu menjadi imajenasi saya tanpa bentuk akan menjadi nyata. Sebuah ruang yang bukan hanya saya tapi anak-anak desa ini akan bebas mengekspresikan diri.  

Dengan semangat saya mengetik email ke sebuah lembaga. Mengajukan bantuan buku untuk koleksi perpustakaan. Ada satu lemari lebih koleksi buku kami. Namun rata-rata konsumsi dewasa. Sementara kami akan fokus dulu membuat taman bacaan untuk anak-anak jadi butuh banyak tambahan buku khusus anak.

“Bang, jadi sudah resmi, sejak hari ini kita mendirikan Taman Bacaan Al-Ghazi, nanti menyusul Taman Bermain Al-Ghaza.” Kata saya sembari  menekan tombol ‘enter’ untuk mengirim surat elektronik.

“Yang juga harus kita pikirkan adalah pengelolaannya agar mandiri,” ujarnya.

“Siap bos!”

Akhirnya saya berani bilang bahwa semangat KMGP bukan hanya mengajarkan makna keindahan sejati dengan berIslam. Lebih dalam, ruh KMGP bagi saya membimbing agar menjadi manusia yang memberi sebanyak-banyak manfaat untuk orang lain. Khairunnas anfauliinnas. Bahwa keshalehan pribadi terus diperjuangkan seiring dengan kesalehan sosial yang kita ikhtiarkan. Terimakasih sudah menjadi bagian dari perjalanan saya menemukan kebahagiaan dunia yang semoga juga menjadi jalan menuju kebahagiaan akhirat. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun