“Ini Kak bukunya. Makasih.” Kami bertemu di teras masjid.
“Sudah bacanya?”
“Sudah.” Jawab saya cepat, khawatir ia bertanya lebih lanjut.
Nyatanya ia tak segera menerima buku yang saya sodorkan. “Nangis ya?” Tanyanya lagi. Sungguh, saya tak ingin ia tahu.
Sekali lagi saya acungkan buku itu. “Nggak!” Langkah cepat saya ambil sesaat buku tersebut berpindah tangan. Sejuknya air wudhu telah menanti. Panggilan cinta dari sang Pencipta harus segera dijumpai.
***
Keluarga kecil saya tinggal di sebuah desa yang berjarak sekitar 5 KM dari jalan raya. Hanya separuh jalan yang sudah diaspal. Selebihnya berupa jalan tanah. Jika di musim hujan maka jalan berlumpur. Jika di musim panas maka jalan berdebu. Di awal menikah, saya sempat protes dengan suami.
“Kenapa kita tidak tinggal di kota saja?” tanya saya di antara deru motor sepulang kami dari aktifitas organisasi.
“Kalau semua orang berpikir tinggal di kota. Siapa yang akan membangun desa? Orang berpendidikan tinggi sudah banyak di kota. Justru kita yang sarjana ini yang dibutuhkan di desa. Ilmu yang kita punya akan sangat berarti bagi mereka.” Jelasnya mematahkan keinginan saya. Sejujurnya saya masih shock.Tinggal dan besar di kota membuat saya dengan mudah menikmati semua fasilitas dengan mudah. Tapi jalan hidup telah mengantarkan saya pada titik ini.
“Dek, mbak belum bisa transfer uangnya. Jadi mbak kirim foto uangnya aja ya.” Pesan WA yang saya kirim ke Ida, ketua FLP Sumsel yang mengurusin nobar KMGP The Movie. ATM terdekat baru bisa ditemui saat jalan keluar ke arah kota.
“Oke. Sudah didata dua kursi punya mbak,” jawabnya.