“Lagi pula, mau tidak mau anak-anak harus bersosialisasi dengan lingkungan. Sementara lingkungan di sini mengkhawatirkan.”
Sebagian penduduk desa kami bermata pencarian sebagai buruh di perusahaan sawit milik swasta. Sebagian lagi bekerja tidak tetap. Hanya sebagian kecil yang bekerja di kebun milik sendiri atau perkantoran. Masih bisa dihitung dengan jari yang menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMA apalagi perguruan tinggi. Pendidikan bukan hal yang penting terlebih pendidikan agama. Tindak kriminal karena tuntutan ekonomi cukup tinggi. Meski rasa kekeluargaan dan gotong royong masih terjaga, namun moral generasi mudanya menyedihkan. Penyalahgunaan narkoba dan pergaulan bebas hingga perilaku seks di luar nikah adalah kasus yang biasa terjadi di kalangan remaja.
“Setidaknya dengan kita mendirikan sebuah tempat, yang apalah namanya nanti, kita bisa mengontrol pergaulan anak-anak. Undang teman-temannya main ke sini. Perlahan kita ajarkan perilaku yang baik. Syukur-syukur nantinya orang tuanya juga bisa kita rangkul. Kita harus berbuat untuk desa ini.” Kalimat terakhir saya ucapkan dengan intonasi berbeda, ada emosi di dalamnya.
Cukup lama kami terdiam. Saya tahu, suami bukan mempertimbangkan memberikan izin tapi yang ia pikirkan adalah bagaimana keinginan istrinya terwujud. Tetapi mungkin ia tidak tahu bahwa apa yang saya paparkan adalah membangkitkan mimpi lama. Mimpi saya tentang istana biru. Kegilaan saya terhadap buku. Dan puncaknya selepas melihat tekad mas Gagah mendirikan Rumah Cinta. Ya… melakukan sesuatu untuk kemanusiaan. Itu yang ingin saya lakukan kini, di sini, di desa yang akhirnya harus saya cintai. Sebab tempat inilah Tuhan pilihkan sebagai lahan ibadah sosial saya.
“Abang akan coba buatkan proposal,” kata suami menghentikan dialog hati saya. Demi mendengar kalimatnya, mata saya langsung berbinar, bening air siap meluncur. “Bismillah… semoga berkah!” bisik hati saya. Istana biru yang belasan tahun lalu menjadi imajenasi saya tanpa bentuk akan menjadi nyata. Sebuah ruang yang bukan hanya saya tapi anak-anak desa ini akan bebas mengekspresikan diri.
Dengan semangat saya mengetik email ke sebuah lembaga. Mengajukan bantuan buku untuk koleksi perpustakaan. Ada satu lemari lebih koleksi buku kami. Namun rata-rata konsumsi dewasa. Sementara kami akan fokus dulu membuat taman bacaan untuk anak-anak jadi butuh banyak tambahan buku khusus anak.
“Bang, jadi sudah resmi, sejak hari ini kita mendirikan Taman Bacaan Al-Ghazi, nanti menyusul Taman Bermain Al-Ghaza.” Kata saya sembari menekan tombol ‘enter’ untuk mengirim surat elektronik.
“Yang juga harus kita pikirkan adalah pengelolaannya agar mandiri,” ujarnya.
“Siap bos!”
Akhirnya saya berani bilang bahwa semangat KMGP bukan hanya mengajarkan makna keindahan sejati dengan berIslam. Lebih dalam, ruh KMGP bagi saya membimbing agar menjadi manusia yang memberi sebanyak-banyak manfaat untuk orang lain. Khairunnas anfauliinnas. Bahwa keshalehan pribadi terus diperjuangkan seiring dengan kesalehan sosial yang kita ikhtiarkan. Terimakasih sudah menjadi bagian dari perjalanan saya menemukan kebahagiaan dunia yang semoga juga menjadi jalan menuju kebahagiaan akhirat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H