Muslimah di Ujung Senja
Alya adalah sosok perempuan yang menjadi panutan di kampung kecil di pinggir desa Azhariyah. Ia bukan ulama besar, bukan pula tokoh masyarakat yang dikenal seantero negeri. Namun, namanya harum karena keikhlasannya membantu orang-orang di sekitarnya. Dalam balutan kerudung panjang dan senyum yang tak pernah pudar, Alya membawa ketenangan bagi siapa pun yang bertemu dengannya.
Di usia 30 tahun, Alya sudah menjalani banyak peran. Ia adalah seorang guru di madrasah kecil, pengrajin kain bordir yang menjadi mata pencaharian tambahan, dan sukarelawan yang mendampingi para janda dan yatim piatu. Setiap harinya, Alya tak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa manfaat.
Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, Alya berjalan menuju rumah Fatimah, seorang janda tua yang hidup sendirian di gubuk kecil. Fatimah baru saja kehilangan suaminya beberapa bulan lalu, dan semenjak itu ia jatuh sakit. Alya datang dengan membawa semangkuk sup hangat dan beberapa roti yang ia buat sendiri.
"Assalamu'alaikum, Ibu Fatimah," sapa Alya lembut sambil mengetuk pintu kayu yang hampir rapuh.
"Wa'alaikumsalam, Nak Alya. Masuklah, pintunya tidak terkunci," sahut Fatimah dengan suara serak.
Alya masuk dan segera menghampiri Fatimah yang sedang duduk di tikar lusuh. Ia meletakkan sup dan roti di hadapan Fatimah, lalu duduk di sampingnya.
"Bagaimana kabar Ibu hari ini?" tanya Alya penuh perhatian.
"Alhamdulillah, masih diberi hidup oleh Allah. Tapi tubuh ini semakin lemah, Nak," jawab Fatimah sambil tersenyum tipis.
Alya menggenggam tangan Fatimah yang keriput. "Allah selalu punya rencana terbaik untuk hamba-Nya, Bu. Insya Allah, Alya akan terus menemani Ibu."
Setelah membantu Fatimah makan, Alya membaca Al-Qur'an di sampingnya. Suaranya yang merdu dan pelan membuat hati Fatimah tenang. Seperti itulah Alya, selalu membawa keberkahan di mana pun ia berada.
Namun, di balik kepribadiannya yang kuat, Alya menyimpan rahasia besar. Sepuluh tahun lalu, ia pernah mengalami masa kelam yang hampir menghancurkan hidupnya.
Masa Lalu yang Menyayat
Alya lahir di keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani, sementara ibunya menjahit untuk membantu kebutuhan rumah tangga. Sejak kecil, Alya dikenal sebagai anak yang ceria dan rajin belajar agama. Namun, kebahagiaannya terhenti ketika ibunya meninggal dunia karena sakit keras. Saat itu Alya baru berusia 15 tahun.
Ayahnya, yang tak mampu menghadapi kesedihan, berubah menjadi pemarah dan suka minum-minuman keras. Alya sering dipukul tanpa alasan, bahkan dilarang keluar rumah. Meski begitu, ia tetap sabar dan terus berdoa agar Allah memberikan jalan keluar.
Hingga suatu malam, Alya memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ia pergi ke rumah bibinya yang tinggal di kota. Dengan modal keberanian dan doa, Alya mulai membangun hidupnya dari nol. Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran kecil sambil melanjutkan pendidikan agama di madrasah setempat.
Alya percaya, jika ia tetap berpegang pada Allah, semua penderitaan akan menjadi pelajaran yang berharga. Benar saja, perlahan-lahan ia menemukan ketenangan.
Kembali ke Desa
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Alya memutuskan kembali ke desanya. Banyak yang menyambutnya dengan hangat, tetapi ada juga yang mencibir. Mereka menganggap Alya takkan mampu mengubah keadaan desa yang penuh dengan kemiskinan. Namun, Alya tidak menyerah.
Ia memulai langkahnya dengan mengajar anak-anak mengaji di surau kecil. Awalnya hanya ada lima murid, tetapi seiring waktu jumlahnya bertambah. Para orang tua mulai mempercayai Alya sebagai guru yang penuh kasih sayang.
Selain mengajar, Alya juga mengajak para perempuan di desa untuk membuat kerajinan tangan. Ia mengajari mereka membuat kain bordir, lalu menjualnya ke kota. Hasilnya digunakan untuk membantu keluarga-keluarga miskin.
"Alya, kamu ini seperti cahaya di tengah kegelapan," kata Ustaz Haris, seorang tokoh agama di desa itu.
"Semua ini hanya karena rahmat Allah, Ustaz. Saya hanya ingin bermanfaat untuk orang lain," jawab Alya dengan rendah hati.
Ujian Terbesar
Suatu hari, desa Alya dilanda banjir besar. Banyak rumah yang rusak, termasuk madrasah tempat Alya mengajar. Penduduk desa panik, dan beberapa di antaranya kehilangan harapan.
Namun, Alya tetap berdiri tegak. Ia mengajak para pemuda untuk membantu menyelamatkan barang-barang yang masih bisa digunakan. Ia juga menggalang dana dari kota untuk membangun kembali madrasah dan rumah-rumah yang hancur.
"Alya, bagaimana kamu bisa tetap kuat di tengah bencana seperti ini?" tanya Laila, salah satu warga.
"Kita harus percaya bahwa Allah tidak pernah memberi ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Selama kita berusaha dan berdoa, insya Allah selalu ada jalan," jawab Alya sambil tersenyum.
Perlahan-lahan, desa itu bangkit kembali. Madrasah yang baru dibangun menjadi lebih besar dan nyaman. Penduduk desa semakin menyadari pentingnya kerja sama dan saling tolong-menolong.
Penghujung Cerita
Alya tidak pernah menganggap dirinya istimewa. Baginya, semua yang ia lakukan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah. Namun, tanpa disadari, ia telah menjadi teladan bagi banyak orang.
Di suatu senja, ketika Alya sedang duduk di teras rumahnya, seorang gadis kecil bernama Zahra mendekatinya.
"Kak Alya, aku ingin menjadi seperti Kakak. Selalu menolong orang dan membuat semua orang bahagia," katanya dengan mata berbinar.
Alya tersenyum dan mengelus kepala Zahra. "Jadilah dirimu sendiri, Zahra. Allah menciptakan kita dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang penting, selalu ikhlas dalam berbuat kebaikan."
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Zahra, juga di hati siapa pun yang pernah mengenal Alya. Hingga kini, sosok Alya tetap dikenang sebagai muslimah terbaik yang membawa cahaya di ujung senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H