1/
Desember ini, dua puluh empat purnama sudah, dia di sana.
Bagiku tidaklah mudah meniti  hari tanpa hadirnya.
Betapa segala rasa ini senantiasa mengikuti kemana arah ku melangkah.
Rindu membelenggu kalbu kala  melintas seraut wajah.
Semesta pun seakan bersekutu bersama malam, bulan dan bintang menggoda, hadirkan mimpi sesaat jelang fajar merekah.
Pernah ku menggugat Tuhan.
Mengapa orang baik cepat berpulang.
Sementara si jahat berumur panjang.
2/
Ada saat  resah gelisahku kian membuncah, kala hidup mengempas tiada kira.
Aku serupa si buta, meraba-raba tanda hendak kemana.
Seperti kehilangan payung, ketika tanpa mendung hujan turun tiba-tiba.
Inginku berlindung, Â bersandar di bahunya seperti dulu kala. Atau membenamkan kepala dalam bidang dadanya.
Dengan sepenuh cinta Ia kan merengkuhku. Dengan lembut membelai hitam rambutku.
Meskipun aku salah, dengan bijak Ia berpetuah tanpa amarah.
Jernih berpikir menelaah setiap masalah.
Di akhir kata Ia kan berucap,"belajarlah dari kesalahan lalu  berbenah!"
Rasanya seketika resah gelisahku musnah, seakan semua kan menjadi mudah.
3/
Desember ini  dua puluh empat purnama sudah, kucoba berdamai dengan waktu.
Harus  kusadari, hidup kan terus berlanjut seperti apapun itu.Â
Karena  ku meyakini kepergiannya adalah bagian takdirnya dan takdirku.Â
4/
Serumpun mawar sedang berkembang di halaman.
Membangkitkan indah kenangan.
 Dia, lelaki penyuka bunga, gemar bertanam selayak merawat kehidupan.
Mawar merah, Â bunga kesayangan.
Dan esok hari, Â kan kubawa seikat mawar merah ke pusara. Sebagai pengingat dua tahun kepergiannya.
Kepada Tuhan  ku kan bermohon, tenangkanlah  ayahku di sisi-Nya.
***
Jakarta 08122017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H