Mohon tunggu...
Umi Saputri
Umi Saputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Motivator

Mahasiswi Tadris Biologi, IAIN Metro Lampung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jadi Guru dan Dosen, Jangan Galak-Galak Iya

20 Februari 2024   23:02 Diperbarui: 20 Februari 2024   23:50 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti judul yang sudah ditulis, tentu saja tulisan ini, di tulis bukan sekadar menulis. Akan tetapi juga ditulis melalui pengalaman penulis.

Orang bilang, pengalaman adalah pembelajaran, karena dengan adanya pengalaman, kita akan banyak belajar.

Peran guru dan juga dosen bagi siswa maupun mahasiswa ternyata sangat penting dalam dunia pendidikan.

Karena kita mendidik mereka layaknya anak-anak kita, bahkan kita seperti orang tua baginya. Bukankah seperti itu?

Namun yang terjadi di era sekarang ini, banyak guru dan dosen ingin dihargai dan dihormati tapi ia lupa menghargai dan menghormati siswa dan mahasiswanya.

Atau kebalikannya? siswa dan mahasiswa lupa menghargai dan menghormati gurunya.

Atau bahkan, ada guru dan dosen yang mengajar beranggapan bahwa "mereka anak orang lain, terserah mau paham atau tidak lagian bukan anak kita"

Kalau niat awal aja sudah begitu, bagaimana ilmunya akan meresap ke mereka? Lebih parahnya lagi, kalau ada guru atau dosen yang super-duper galaknya.

Jangankan untuk memahami materinya, ngeliat guru atau dosennya aja udah ngebleng duluan otaknya.

Katanya sih "cintai dulu guru atau dosennya barusan mencintai ilmunya"

Btw kalau gurunya udah galak duluan, gimana mau mulai mencintai? Padahal konsep cinta itu tumbuh dari kasih sayang bukan kemarahan?

Semasa saya menjadi siswa atau mahasiswa, saya lebih menyukai guru yang tidak galak tapi bisa sama-sama menghargai dan menghormati.


Seperti  menghargai dan menghormati usahanya ketimbang nilainya. Kenapa? karena sejauh ini sesuatu yang berkaitan dengan nilai masih bisa dimanipulasi.

Namun kalau usaha, sejauh apapun angka mau memanipulasinya, tidak akan bisa karena usaha terlahir dari kerja kerasnya.

Karena ukuran dari usaha bukan menggunakan tolak ukur penilaian, akan tetapi menggunakan sebuah ketulusan.

Kalau dipikir-pikir manusia itu cerdas semua. Memang betul, tapi ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan.

Apa tuh? yaitu tingkat pemahaman setiap orang beda-beda. Tentu saja hal ini terjadi bukan karena dia males belajar tapi bisa jadi karena faktor pendidikannya, ekonominya, orang tuannya.

1. Faktor pendidikan: mungkin murid itu jauh tertinggal dibelakang karena latarbelakang sekolahnya. Contohnya: sekolah digunung, tentu kualitasnya beda dengan siswa di Kota.

2. Faktor ekonomi: mungkin orang tuanya tidak memberikan les untuknya berbeda dengan orang kaya, yang memberikan fasilitas untuk anak-anaknya.

3. Faktor keluarga: mungkin ada anak yang belajar mandiri tanpa didampingi orang tua, bahkan tidak diberikan motivasi pasti beda dengan anak yang di dampingi belajar dengan anak yang belajar mandiri, ditambah tidak diberi motivasi.

Jadi sebelum menjudge kita bisa melihat terlebih dulu faktor tersebut, dan juga lihat dulu anaknya bagaimana?

Lalu terkait dengan penilaian, saya lebih suka menilai sesuatu bukan dari angka saja, namun juga usahanya.

Saya apresiasi betul dengan guru atau dosen yang memiliki pengukuran seperti ini.

Jadi ceritanya, dulu saya pernah mengumpulkan tugas kuliah saya, yang mana tugas tersebut adalah tugas kelompok.

Tau sendiri namanya tugas kelompok gimana? Pasti ada yang kerja dan ada yang tidak.

Kebetulan saya mengcover hampir 80% tugas tersebut, namun saya salah dalam memahami perintahnya, bukan berarti tugasnya salah sepenuhnya, hanya saja kurang tepat jawabannya.

Alhasil, dosen itu tetap memberikan nilai 100% sesuai usaha saya dan memaklumi tingkat pemahaman saya. Lagi-lagi, ini bukan tentang nilainya tapi tentang usahanya.

Karena sebelumnya saya selalu mengerjakan tugas dengan baik, hanya pada saat melakukan tugas ini, saya gagal memahami apa perintahnya.

Saya sangat berharap, semoga guru dan dosen di seluruh Indonesia, selalu menghargai dan saling menghormati anak didiknya dengan dosis yang sedang tapi juga tidak berlebihan.

Jangan sampe siswa ataupun mahasiswa merasa sudah bekerja keras tapi usahanya tidak di hargai.

Contohnya saat skripsi: ada mahasiswa yang mungkin jauh-jauh datang untuk menemui ke kampus tapi dipersulit sana-sini.

Padahal di Luar Negeri pendidikannya itu luar biasa. Bukan hanya mahasiswa yang butuh dosen, tapi dosen juga merasa butuh mahasiswa.

Karena kalau dipikir-pikir, dosen dapet gaji juga karena mahasiswa bukan? Kalaupun mahasiswanya tidak ada? Lalu bagaimana mendapatkan gajinya?

Percayalah, enggak ada ruginya kok menerapkan prinsip kesadaran diri untuk saling menghargai dan menghormati.

Kalau mahasiswa-mahasiswi nyaman dengan orang-orangnya, pasti mereka akan betah tinggal didalamnya.

Jadilah kampus dan sekolah layaknya rumah yang nyaman untuk siswa dan mahasiswa bukan justru rumah yang kelam untuknya.

Tidak ada cahaya, yang ada kegelapan menyelimutinya. Kan serem, kayak horor.!!!

Jika salah tegur dengan cara yang baik-baik, jika memang melakukan kebenaran, berikan teguran yang baik-baik.

Tidak ada pembeda dari seorang manusia, namun mereka tetap memiliki perbedaan antara 1 dan yang lainnya. Bahkan anak yang dilahirkan dari rahim ibu yang sama, belum tentu akan menghasilkan anak yang sama.

Referensi: Isi semua tulisan hasil pemikiran penulis


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun