Mohon tunggu...
Umbu Tagela
Umbu Tagela Mohon Tunggu... Guru - guru

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quo Vadis Kemahirwacanaan dalam Pendidikan

19 Agustus 2024   06:12 Diperbarui: 19 Agustus 2024   06:13 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

QUO VADIS KEMAHIRWACANAN  DALAM  PENDIDIKAN 

 

Oleh: Umbu Tagela

 Pengajar di  FKIP UKSW Salatiga

  • Secara global dapat di saksikan sejumlah fenomena. Perubahan cara kerja dan gaya hidup pada umumnya yang semakin  pesat kelajuannya akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merebak sangat cepat kesegenap permukaan bumi melalui teknologi telekomunikasi yang semakin canggih. Tata nilai yang mapan dilanda oleh nilai-nilai yang baru yang mengiringi perubahan cara bekerja. Disamping membantu masalah serta teknologi yang berkembang pesat juga menimbulkan permasalahan baru yang tidak kalah rumitnya, mulai dari penggerogotan lapisan ozon sampai dengan pergulatan etis yang menyertai kemampuan rekayasa genetik baik yang di terapkan kepada tanaman dan hewan, apalagi kepada sistem ragawi manusia.
  •              Penting untuk disimak dalam hubungan ini adalah bahwa perbuatan perorangan ternyata berdampak global. Gejala dan peristiwa yang berdampak global bermula dari perbuatan individu. Peristiwa-peristiwa besar (seperti pendekatan Amerika, Cina  dan Rusia) dimulai dengan visi dan gagasan serta prakarsa  dan keuletan individual, sementara dengan teknologi embaran (information), gagasan serta peristiwa dapat dengan sangat cepat menyebar luas sehingga memengaruhi lebih banyak individu-individu lain dengan dampak yang fenomena. Ditinggalkannya sistem pemerintahan komunis di negara-negara Eropah Timur merupakan contoh yang mutakhir. Penggerogotan ozon terjadi akibat pemanfaatan teknolgi pendinginan dan aerosol yang menyajikan kenyamanan hidup sementara pengotoran lingkungan, di samping oleh industri, juga terjadi di banyak bagian dunia oleh individu-individu yang belum memiliki sistem pembuangan yang memadai di samping terpaksa menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk keperluan sehari-hari. Oleh karena itu mereka yang lebih pesimis bahkan secara lugas menyatakan bahwa "people polute"-lebih banyak manusia bearti lebih banyak polusi yang memerosotkan mutu lingkungan.
  •             Oleh karena itu, penanganan masalah-masalah yang bersifat global itu  pada dasarnya memsyaratkan perubahan acuan didalam pengambilan keputusan dan tindakan oleh setiap individu di dalam arti yang sebenar-benarnya. Artinya, pemecahan permasalahan yang bersifat global itu harus di mulai penanganannya dari tingkat individual, yang mengisyaratkan pentingnya peranan potensial, dan sekaligus tanggung jawab, pendidikan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang di tandai oleh partisipasi yang di galakkan oleh kepedulian yang dibangkitkan oleh sensivitas serta persetujuan yang bertolak dari pemahaman ("informed consent") yang di berikan berdasarkan kemampuan berpikir mandiri dan perasaan tanggung jawab oleh segenap individu warganegara. Dengan perkataan lain, salah satu ciri khas abad embaran ( informasi ) erat dengan individualisasi yaitu dengan keberjayaan".... individual (awareness and responsibility against the anonymity (and indifference) of the collective" (Naisbitt dan Aburdene, 1990. Kesadaran individual bahwa umat manusia adalah "penumpang senasib" pesawat ruang angkasa maha besar yang bernama bumi itu telah semakin meningkat. Oleh karena itu, pendidikan ditantang untuk memberikan urunan di dalam mere - ka masa depan.
  • Merujuk uraian di atas dapat di angkat 2 karakteristik khas yang dapat di gunakan untuk melukiskan manusia indonesia masa depan yang di kehendaki yaitu kepekaan, kemandirian, dan tanggung jawab, yang tentu saja penjabaran, pengembangan serta penerapannya selalu berpijak pada landasan pandangan hidup bangsa, yaitu pancasila. Kepekaan berarti kemampuan yang tajam-dalam dalam arti kemampuan berpikir maupun kemudahtersentuhan hati nurani-didalam melihat atau merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain, termasuk mereka yang akan di lahirkan, sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan gubahan Sang Maha Pencipta (Cf. Emil Salim, 1981). Kemandirian  berarti kemampuan menilai hasil dan proses berpikir sendiri di samping menilai hasil dan proses berpikir orang lain serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang dianggap benar dan perlu. Sedangkan tanggung jawab berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri.
  • Ketiga ciri operasional tersebut merupakan persyaratan setiap individu warga masyarakat, untuk mampu bertahan-baik sebagai individu, maupun bersama dengan individu-individu lain, sebagai masyarakat-didalam badai perubahan yang, di negara kita, secara serempak dibawa oleh revolusi industri dan revolusi embaran lain. Oleh karenanya, maka ketiga sasaran operasional tersebut harus terjadi sebagai salah satu acuan dasar penting didalam  merancang serta melaksanakan program pendidikan nasional, yang tidak semata-mata merupakan penerusan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, melainkan penerjemahan nilai-nilai tersebut kedalam latar masa kini dengan antisipasi masa depan secara bermakna bagi setiap peserta didik. Dari sudut pandangan ini, upaya mencerdaskan kehidupan bangsahanya mungkin membuahkan hasil yang di kehendaki, apabila pendidikan terhayati oleh peserta didik sebagai kesempatan untuk "....answering questions, questioning answers, and questioning questions" (Hutson, dkk. 1988) sehingga kelas terwujud sebagai "a vigorous community of learners where intellectual authority derives from evidence and argument and not from assertion" (White, 1987). Oleh karena itu maka apabila di simpulkan, ciri utama dari manusia dan masyarakat masa depan yang di maksud dapat di rumuskan sebagai (a) manusia yang mendidik diri sendiri sepanjang hayat, dan (b) masyarakat belajar yang terbuka terhadap perubahan, namun memiliki pandangan hidup yang mantap sehingga tidak kehilangan jati dirinya di dalam mengarungi badai perubahan yang semakin melaju.

KEMAHIRWACANAAN SEBAGAI TUNTUNAN ABAD EMBARAN

Salah satu kemampuan penting yang di perlukan untuk mengelola embaran (information) bagi penetapan pendirian serta pengambilan keputusan dan tindakan oleh individu adalah kemahirwacanaan atau kemampuan "literate thinking" (Wells, 1990). Dikaitkan dengan bidang wacana, Gordon Wells mendefinisikan "literacy"menggunakan simbol-simbol pesan dalam bentuk tulisan. Sebaliknya, ia mengartikannya sebagai kemampuan bergaul dengan wacana sebagai representasi pengalaman, pikiran perasaan dan gagasan secara tepat sesuai tujuannya. Demikinlah, ia memilah niat penciptaan wacana itu menjadi 3 kelompok yaitu sebagai (a) alat untuk memengaruhi tindakan secara langsung, yang dapat mengambil rentangan wujud dari pesan tertulis dari seorang ibu rumah tangga yang terpaksa meninggalkan rumah untuk sesuatu keperluan sehingga rumah menjadi kosong kepada putera/i nya yang belum pulang dari sekolah ("Kunci di Bu Don" sekarang via whatshap) sampai dengan paduan pengoperasian perangkat lunak yang rumit ("3.30 MS-DOS Manual"), (b) sedia informasi yang dapat dirujuk sewaktu-waktu sesuai keperluan, juga dengan rentangan ragam yang luas dengan resep pembuatan rendang didalam majalah khas untuk khalayak wanita sampai dengan "Encyclopedia Britanica", dan (c) hasil kajian ("considered interpretation") penulis tentang aspek tertentu, baik riil maupun imajiner, yang berkenaan dengan pemikiran, perasaan, pilihan nilai serta pergaulatan batin lain juga di tampilkan dalam aneka wujud-paparan teoritik, sejarah, biografi, novel, puisi, dan drama.

Pergaulan ragam pertama dengan wacana menuntut modus fungsional, yang kedua mempersyaratkan modus informasional, dan yang ketiga di tandai pemikiran kritikal dan imajinatif yang dinamakan "literate thinking" sebagaimana dikemukakan sebelumnya  dengan istilah kemahirwacanaan. Baik menulis maupun membaca yang di lakukan dalam modus  kemahirwacanaan ditandai oleh kegiatan berpikir yang intens-penciptaan makna yang sangat mempribadi dengan mengarahkan segenap khasanah pengalaman menggauli gagasan melalui analisis dan sintesis, proses membandingkan dan mempertentangkan, serta pengakomodasian dan pengasimilasian. Membaca yang dilakukan didalam modus kemahirwacanaan ditandai oleh kemampuan menilai makna yang diberikan kepada wacana yang dibaca, sedangkan menulis yang dilakukan didalam modus kemahirwacanaan ditandai oleh kemampuan memanfaatkan wacana yang diciptakan untuk membaca dan menjernihkan makna berkenaan dengan permasalahan yang ditulis. Perwujudan kemampuan menilai proses serta hasil berpikir sendiri selain menilai proses serta hasil pikir orang lain yang merupakan karakteristik penting kemahirwacanaan didalam membaca maupun menulis inilah yang menandai kemandirian berpikir. Tanpa kemampuan berpikir secara mandiri tidak akan pernah ada kemerdekaan yang sebenarnya, sedangkan tanpa kemerdekaan, masyarakat yang demokratis tidak mungkin berfungsi.

Rasanya, pembentukan kemampuan serta kebiasaan berpikir kritikal dan imajinatif baik yang di terapkan di dalam modus "menulis" maupun "membaca" yang dinamakan kemahirwacanaan inilah yang diamanatkan sebagai salah satu perwujudan penting upaya "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan bukan kegesitan mengingat potongan-potongan informasi miskin makna sebagaimana dituntut didalam acara "cerdas cermat" dan sejenisnya. Kemampuan dan kebiasaan mengelola embaran yang bertumpu pada kemahirwacanaan inilah yang akhirnya merupakan "cutting edge" yang akan sangat menentukan "survival" kita sebagai bangsa, baik di dalam menangkal kemungkinan ancaman yang akan datang dari luar, maupun yang justru berada di tengah-tengah kita, bahkan yang bersembunyi didalam diri kita sendiri dalam bentuk kebodohan dan keterbelakangan akibat keenggaan belajar didalam wabah ledakan embaran. Dengan perkataan kata lain, sebagaimana disyaratkan didalam, pembentukan kemahirwacanaan juga bertolak dari pilihan nilai.

IMPLIKASI BAGI PENDIDIKAN

Acuan Konseptual Sistem Persekolahan

Penyelenggaraan pendidikan sebagai pemberian embaran (informasi) dengan sistem tagihan yang terlalu mementingkan pencapaian belajar jangka pendek dalam bentuk potongan-potongan embaran yang nyaris hampa makna yang menggejala di lingkungan sekolah kita dapat di lacak pada kesenjangan yang terdapat antara rumusan tujuan utuh pendidikan dengan jabaran operasionalnya yang merupakan upaya pencapaiannya melalui program pengajaran yang dilaksanakan dari hari ke hari di sekolah. Jelasnya, meskipun tujuan rumusan utuh pendidikan itu telah benar-benar secara lengkap merangkum ciri-ciri individu-warganegara yang dikehendaki-bahkan ada yang secara bergurau mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang di cantumkan dalam UUSPN  sebenarnya melukiskan malaikat, bukan manusia yang hidup di alam fana ini-akan tetapi penerjemahannya ke dalam program pengajaran yang operasional cenderung disertai oleh pengebirian-pengeberian. Di samping faktor-faktor lain yang saling berhubungan secara rumit, pendekatan Pengembangan Program Sistem Instruksional, yang sangat kuat dipengaruhi oleh penekanan berlebihan kepada tujuan berbentuk perilaku yang di cetuskan oleh Robert Mager (Mager 1975) agaknya ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya pengebirian-pengebirian pesan kependidikan yang utuh menjadi serentetan pemberian informasi miskin makna, termasuk bagi mata pelajaran yang kehadirannya bertolak dari niat pembentukan afektik.

Akan tetapi faktor lebih mendasar yang "mengizinkan" pengebirian tujuan utuh pendidikan, adalah ketiadaan acuan konseptional yang mantap bagi pendidikan umumnya, sistem persekolahan khususnya, yang dapat digunakan sebagai panduan didalam menjabarkan program-program pendidikan maupun sebagai batu ujian bagi sistem tagihannya. Sebaliknya, setelah 79 tahun merdeka, sistem persekolahan kita masih mengacu kepada warisan zaman penjajahan yang menyelenggarakan pendidikan melalui sistem persekolahan untuk memilih atau memilah calon pegawai, dan bukan untuk mencerdaskan segenap putra-putri republik. Sementara itu masing-masing pihak yang berkepentingan atau terkait, mulai dari orang tua dan pemuka masyarakat sampai dengan para ahli dan pengelola serta pejabat, menggunakan visi masing-masing untuk mengambarkan harapannya terhadap pendidikan melalui sistem persekolahan (tenaga kerja siap pakai, perebut ilmu dan teknologi, pembawa nilai tambah, dan sebagainya) sehingga terciptalah kehiruk-pikukan konseptual yang tidak membantu kita menata prioritas serta memuaskan perhatian kepada upaya yang diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan (menyongsong era digital!). Akibatnya adalah kesimpangsiuran harapan, penerjemahan program yang kurang setia kepada rumusan formal tujuan utuh pendidikan serta sistem tagihan yang di dominasi oleh tuntunan kemampuan menghafal informasi. Oleh karena itu, salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan sebelum kita ada pada posisi untuk menambahkan dan mengurangi mata pelajaran dalam rangka penyempurnaan kurikulum sekolah, terlebih dahulu disepakati karakteristik lulusan yang di kehendaki berdasarkan kesepakatan tentang harapan yang di tumpukan kepada sistem persekolahan, dengan tekanan pada unsur-unsur yang diharapkan akan terbentuk, secara langsung dan tidak langsung, sebagai dampak berbagai kegiatan pendidikan yang di programkan di sekolah .

Pemetaan taxanomi sasaran pembentukan pendidikan yang komprehensif yang di pelopori oleh Benyamin Bloom (Bloom dkk., 1956; dan Kranthwohl dkk,. 1964) nampaknya tidak banyak membantu didalam upaya ini terutama karena pemetaan sasaran pembentukan ini tidak secara taut  dikaitkan dengan proses serta pertanggungjawaban keterbentukannya. Dengan perkataan lain, peta taksonomis yang diajukan oleh Bloom dkk itu bermanfaat untuk memahami sasaran pembentukan, akan tetapi tidak eksplisit kaitannya dengan pemrograman berbagai kegiatan belajar bagi keterbentukannya. Oleh karena itu dengan memanfaatkan, tidak sepenuhnya mengikuti, taksonomi pencapaian pendidikan yang diharapkan terjadi melalui sistem persekolahan yang dikemukakan oleh Bloom dan kawan-kawannya sekitar 4 dekade yang lalu itu, salah satu cara memetakkan sasaran pembentukan pendidikan yang mengaitkan ranah sasaran dengan proses  keterbentukannya adalah dengan memilahkannya menjadi pengetahuan-pemahaman yang terbentuknya melalui berbagai modus pengkajian, ketrampilan (kognitif dan personal-sosial disamping psikomotorik) yang mempersyaratkan latihan, serta sikap-nilai yang hanya mungkin ditumbuhkan melalui penghayatan berbagai kegiatan dan peristiwa sarat-nilai (Raka Joni, 1983).

Pembentukan pengetahuan-pemahaman merupakan sendi utama gejala belajar. Dari segi kognitif proses belajar di lihat bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh pembelajar kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dari akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya (Ausubel dkk, 1978),  sehingga lebih merupakan proses ".....constructing and retructuring of know ledge and skills (schemata) within the individual in complex network of increasing conceptual consistency......, "ketimbang proses perolehan fakta serta pembentukan ketrampilan yang terlepas-lepas yang terwujud melalui pangaturan pemberian ganjaran dari luar (Mashall, 1988). Oleh karena itu, pengelolaan proses belajar-mengajar pertama-tama terus berarti pengelolaan pemrosesan gagasan didalam interaksi belajar-mengajar yang terjadi dalam jaringan sosial yang unik yang terbentuk di dalam budaya kelas ("classroom culture") di sekolah (Collins dan Gren, 1990). Dan bukan semata-mata pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya (Shulman, 1987; Conny Semiawan dkk. 1985). Dengan perkataan lain, perhatian utama harus ditujukan kepada pemrosesan gagasan ("inner process") tersebut yang dilakukan oleh pembelajar sendiri  yang mengantarai ("mediate") terjadinya gejala belajar yang bermuara pada pengembangan diri-suatu ciri khas latar pendidikan, dan bukan kepada unjuk kerja atau prestasi belajar yang kemudian di kaitkan dengan sistem penghargaan dari luar ("external reward") seperti misalnya indeks prestasi, yudisium, ijasah dan yang sebangsanya-yang lebih merupakan ciri latar kerja (Marshall, 1988; 1990).

Dari segi pembentukan ketrampilan, proses belajar harus merupakan kesempatan untuk melakukan langsung berbagai kegiatan yang menuntut penggunaan berbagai ketampilan tersebut ("direct performance"), termasuk kesempatan untuk memperoleh serta mencerna balikan-balikannya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses berlatih, dengan atau tanpa bantuan guru atau sejawat, sebagai persyaratan mutlak dari pembentukan ketrampilan, baik ketrampilan psikomotorik maupun ketrampilan intelektual dan personal-sosial. Sedangkan bagi pembentukan sikap dan nilai, persyaratan yang di perlukan adalah penghayatan berbagai peristiwa dan kegiatan yang sarat-nilai, baik dalam arti pasif menyaksikan serta mendiskusikan berbagai peristiwa dan kejadian sarat-nilai maupun secara aktif berbentuk keterlibatan langsung dalam berbagai kegiatan sarat-nilai-memperlakukan dan diperlakukan orang lain secara santun dan demokratis didalam interaksi didalam maupun diluar kelas, atau mengumpulkan sumbangan bagi korban bencana alam, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sikap dan nilai terbentuk sebagai dampak akumulasi penghayatan terhadap pengalaman, bukan hasil pengalaman yang eksplisit terpisah-pisah. Terlebih-lebih, pembentukan sikap dan nilai juga memerlukan penguatan dilingkungan keluarga dan masyarakat sehingga di perlukan kesejajaran acauan nilai di antara 3 pusat pendidikan: sekolah, keluarga dan masyarakat.

Merujuk paparan di atas, jelas kiranya bahwa didalam proses interaksi belajar-mengajar yang merupakan perwujudan program belajar-mengajar yang di rencanakan untuk mengupayakan pencapaian tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan, perlu secara sadar diantisipasi peluang-peluang untuk menyampaikan atau menekankan kembali, secara langsung atau tidak langsung, pesan-pesan kependidikan penting lainnya dalam rangka pencapaian tujuan utuh pendidikan, mulai dari kebiasaan bekerja secara cermat dan tepat waktu sampai dengan rasa kebanggaan bernegara sebagai bangsa indonesia. Terwujudnya sasaran pendidikan yang mediasi oleh tindakan langsung guru dinamakan dampak pengiring ("nurturant effects", Joyce dan Weil 1980). Sebaliknya pengamatan terhadap praktek yang umum berlaku, perhatian nampaknya hanya ditujukan terhadap upaya penyampaian pesan kependidikan melalui tindakan langsung guru, itupun didalam bentuk yang paling sederhana yaitu pemberian informasi. Pandangan yang melihat pelaksanaan setiap kegiatan belajar-mengajar setiap keputusan dan tindakan seorang guru didalam kegiatan belajar-mengajar, itu sebagai bahagian tidak terpisahkan  dari upaya pencapaian tujuan utuh pendidikan inilah yang di namakan "Wawasan Kependidikan", yang dasar-dasarnya secara mantap sudah harus di letakkan di dalam pendidikan pra-jabatan profesional tenaga kependidikan (Raka Joni,1983).

           

  •  Pembentukan Kemahirwacanaan di sekolah

Sebagai kemampuan yang dapat mempribadi menjadi kebiasaan, kemahirwacanaan yang mencerminkan penyatu ragaan kegiatan berpikir, membaca dan menulis hanya dapat di tumbuhsuburkan didalam didalam latar sosial yang kondusif. Artinya, selain pemrograman secara teknis-edukatif, pembentukan kemahirwacanaan mempersyaratkan 2 kondisi penting. Kondisi pertama yaitu adanya pesan yang ingin disampaikan melalui tulisan atau adanya kebutuhan untuk memperoleh embaran melalui bacaan. Sedangkan kondisi kedua adalah terdapatnya kesempatan untuk menulis  dan kemudahan untuk membaca sebagaimana diisyaratkan diawal, kedua kondisi yang sepintas kedengarannya sangat sederhana itu pada dasarnya mengandung makna latariah yang sangat dalam,  sehingga perwujudannya memerlukan komitmen nasional yang tidak setengah-setengah. Keinginan menyampaikan pesan melalui tulisan-mulai dari pengalaman darmawisata sangat berkesan seorang siswa SD kelas III sampai dengan pendedahan temuan seorang pakar ilmu dan teknologi serta pencetusan para hati nurani seorang pengarang-menunjuk kepada kebermaknaan tulisan itu bagi si penulis yang merupakan persyaratan bagi pelibatan diri secara total di dalam penggarapannya (saya jadi teringat tugas"mengarang bebas" yang saya terima di sekolah dasar yang hasilnya di kumpulkan dan kemudian kami terima kembali setelah di nilai guru). Sementara kebutuhan untuk memperoleh informasi bacaan menunjuk kepada intensitas keterlibatan pelaku baca di dalam kegiatannya yang dapat dipicu oleh berbagai keperluan yang bermakna-mulai pelacakan informasi berkenaan dengan suatu pokok yang di diskusikan di kelas sampai dengan penelaahan hasil-hasil penelitian yang relevan dalam rangka penulisan karya ilmiah serta penjelajahan kedalam dunia gagasan yang di ciptakan seorang pengarang. Selanjutnya, kesempatan menulis berarti kebebasan menyatakan diri melalui tulisan sedangkan kesempatan membaca berarti terjangkaunya ("accessibility") berbagai bacaan baik terbitan dosmetik maupun keluaran mancanegara bagi segenap pelaku baca.

Apabila kedua kriteria tersebut di atas dikenakan, pelajaran mengarang dan membaca di kebanyakan sekolah kita akan nampak kedodoran sementara budaya baca tulis lingkungan masyarakat luas masih lebih merupakan angan-angan daripada kenyataan. Dengan perkataan lain, kesempatan untuk menulis dan membaca yang bermuara kepada pembentukan kemahirwacanaan di sekolah masih nyaris belum terjamah sehingga mengisyaratkan pentingnya pembenahan penyelenggaraan program pelajaran membaca dan menulis dalam bidang studi yang khas yaitu bahasa indonesia maupun dalam penskenarioan kebutuhan, kesempatan dan pembinaan kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis yang menuju kepada pembentukan kemahirwacanaan bagi semua mata pelajaran, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Dan sebagaimana di kemukakan sebelumnya, kemampuan dan kegemaran berpikir sebagai unsur penting kemahirwacanaan harus di bentuk dalam arti menemukan dan memecahkan masalah maupun yang berkenaan dengan kemampuan berpikir epistimologis yang bukan saja kritis terhadap pikiran orang lain, akan tetapi kritis terhadap pendapat diri sendiri-mempertanyakan kesahihan pengetahuan yang di peroleh dengan menilai bukti-bukti ("evidence") beserta proses pembuktian dan penarikan kesimpulan yang di gunakan (White, 1987). Secara lebih lugas, bahkan ada yang menamakan kemampuan berpikir kritis ini sebagai ".....built-in, shock-proof crap detector" (Postman dan Weingartner, 1969).

Sebagaimana dikemukakan di depan, dengan mengaitkannya dengan modus membaca dan menulis yang merupakan salah satu ciri khas abad informasi, Wells menamakan kemampuan berpikir kritis ini kemampuan "literate thinking" yang, pada gilirannya, merupakan urutan potensial penting pendidikan melalui sistem persekolahan (Wells, 1990). Dengan perkataan lain sistem persekolahan dapat berperan strategis  di dalam membentuk kemampuan berpikir mandiri melalui pembentukan kemahirwacanaan yang, seperti telah di kemukakan sebelumnya, Merupakan salah satu sendi utama kemerdekaan serta merupakan persyaratan mutlak bagi berfungsinya masyarakat yang demokratis. Kemumgkinan urunan sistem persekolahan untuk meletakkan dasar bagi perubahan-perubahan berdampak jangka panjang seperti pembentukan kemahirwacanaan inilah yang seyogyanya tidak boleh di desak keluar kawasan misi layanan ahli kependidikan (Cf. Cole, 1990) oleh kesibukan mengurus ketercapain hasil jangka pendek dalam bentuk tingkah laku yang dapat di amati pada akhir setiap pertemuan tatap muka seperti yang antara lain di galakkan melalui  pendekatan pengembangan Program Sistem Instrusional atau sebagai peningkatan daya serap yang di cerminkan dalam bentuk skor-skor berbagai ujian.

Sebagai karakteristik yang kompleks, kemampuan dan kebiasaan yang mencerminkan kemahirwacanaan tentu saja tidak mungkin  ditagih keterbentukannya pada setiap akhir sesuatu perangkat sesi pengajaran sesuai strategi "pretest, post-test" Sebaliknya meskipun pengajaran yang eksplisit tentang teknik membaca dan menulis lanjut itu memang perlu, pembentukan kemahirwacanaan pada dasarnya lebih tepat apabila dilihat sebagai dampak pengiring ("nurturant effects") yang terwujud secara setapak-demi setapak sebagai akumulasi pengalaman yang dirancang secara sistematis ke dalam semua mata pelajaran, bahkan melalui semua pengalaman belajar yang diprogramkan sekolah termasuk yang bersifat kurikuler dan ekstra-kulikuler, bukan hanya semata-mata tergantung pada pelajaran bahasa indonesia. Oleh karena itu, disamping peningkatan mutu pelajaran menulis adan membaca yang menjadi tanggung jawab mata pelajaran bahasa indonesia sehingga mengarah kepada pembentukan kemahirwacanaan, tidak kalah pentingnya adalah penskenarioan kegiatan belajar-mengajar semua mata pelajaran lainnya yang juga harus mempersyaratkan kegiatan menulis dan membaca dengan sistem tagihan yang sejalan. Tidak perlu rasanya secara lebih eksplisit di kemukakan bahwa buku-buku perpustakaan tidak dibaca oleh para siswa karena sistem penyampaian tidak mempersyaratkannya dan sistem tagihan tidak menggubrisnya..

Sebagaimana disinyalir. Samsuri 1999), di kalangan masyarakat luas keadaan budaya baca-tulis tidak lebih baik, kalau tidak mau dikatakan sangat memprihatinkan. Dari segi kebiasaan membaca, baik kebutuhan maupun kemudahannya masih memerlukan sangat banyak peningkatan apalagi kalau dikaitkan demgan ciri khas serta tuntunan abad informasi. Prakarsa untuk mencari informasi melalui bacaan sangat rendah, ditambah pula oleh kecenderungan untuk menggunakan sistem penyampaian pesan secara lisan, syukur-syukur kalau bisa secara tatap muka, oleh kebanyakan sumber informasi (dalam bentuk penjelasan, pengarahan dan petunjuk!). Sementara berkenaan dengan kebiasaan menulis, di samping kekuatan dari segi teknis, "budaya bisu" juga sangat mewarnai keadaan --isi hati cenderung di pendam di hati saja. Kalau toh dorongan untuk mengemukakannya telah mendesak lebih kuat, tulisan sering di sampaikan dengan "nama dan alamat pada redaksi" atau cara-cara lain serupa, akibat rasa kurang aman-yang di tumbuhkan oleh budaya bisu itu! Oleh karena itulah di muka ditandaskan bahwa pembentukan kemahirwacanaan yang merupakan salah satu bentuk pencerdasan kehidupan bangsa memerlukan komitmen nasional yang  tidak setengah-setengah. Peningkatan mutu pendidikan yang mengacu pada pencerdasan kehidupan bangsa tidak dapat di lakukan secara terlepas dari tatanilai yang di anut masyarakat, apalagi kalau hanya dilakukan dengan kemampuan para guru dan menyediakan lebih banyak fasilitas belajar saja. Sebab apabila dibuat pengandaian, kelengkapan piranti penyelenggaraan pendidikan adalah ibarat kendaraan, sedangkan "penumpang" yang harus diangkutnya adalah pesan dasar kependidikan yang di tuangkan ke dalam suatu acuan konseptual yang di angkat dari pendapat ahli dan hasil kajian di samping pilihan nilai .

PENUTUP

Kesimpangsiuran harapan yang ditumpukan kepada sistem persekolahan umumnya, sekolah dasar khususnya, mengisyaratkan sangat jelas ketiadaan acuan konseptual yang di perlukan ke dalam mengupayakan penerjemahan secara setia tujuan utuh pendidikan yang telah di rumuskan secara formal menjadi berbagai program pengajaran yang mendidik. Setelah 79 tahun merdeka, sistem persekolahan kita masih menggunakan acuan pegawai yang di wariskan pemerintah penjajahan, dan bukan yang telah menjadi teramat banyak jumlah dan sangat heterogen latar belakangnya. Oleh karena itu, pembenahan kurikulum pendidikan dasar yang sekarang ini tengah digarap oleh instansi yang berkewenangan akan menghasilkan pengulangan kisah bongkar-pasang mata pelajaran apabila tidak didahului oleh perumusan mantap karateristik lulusan persekolahan umumnya, sekolah dasar khususnya, yang bertolak dari kesepakatan tentang peranan yang diharapkan di mainkan oleh sistem persekolahan.

Sementara dari segi pengungkapan berbagai masalah yang dapat menghasilkan bahan-bahan dasar termasuk penyelenggaraan pengajaran membaca dan menulis permulaan yang merupakan titik-titik berangkat menentukan bagi pembentukan kemahirwacanaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun